Kumpulan Artikel
Mengenai Peristiwa Ambon

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

'Volkskrant' Gegerkan Orang Indonesia di Belanda Kumpulkan
Dana Buat Beli Senjata?
 
Koresponden Khusus: Eddi Santoso
 
detikcom - Den Haag, Harian Volkskrant Belanda, edisi Rabu
(12/1/2000) menggegerkan orang Indonesia di negeri kincir
angin itu. Terutama berkaitan dengan pernyataan terbuka agar
orang Maluku di Belanda mengumpulkan uang untuk membeli
senjata lalu dikirim ke Maluku. Pernyataan terbuka yang
dikutip harian Volkskrant itu antara lain bernada provokasi,
"Orang-orang Maluku di Belanda serentak mengumpulkan dana
untuk membeli senjata yang siap dikirim ke Maluku untuk
membantu 'christian brothers en sisters' dalam pertempurannya
melawan muslim."
 
Desakan untuk mengirim senjata itu diperuntukkan ke daerah-
daerah yang mereka sebut sebagai "benteng-benteng Kristen yang
terancam".
 
Daerah-daerah dimaksud adalah Ambon, Seram, Haruku, dan
Saparua. Kalimat "Beri kami senjata, sehingga kami setidaknya
bisa mati secara terhormat" adalah pesan yang diterima seorang
Maluku asal Bovensmile dari kerabatnya di Ambon.
 
Seorang Maluku asal Moordrecht mengatakan, bahwa dirinya tidak
bisa membiarkan orang-orang Kristen di Maluku dibantai begitu
saja oleh muslim.Maka, bila mereka tidak membantu supaya
pertempuran berimbang, maka kelak orang Kristen Maluku tak
tersisa. Hal ini tentu bertolak belakang dengan informasi yang
terjadi sebenarnya di Ambon, juga Maluku Utara selama ini, di
mana justru ratusan nyawa yang tewas sebagian besar muslim.
 
Berita yang diterima orang Maluku di Belanda dari rekannya di
Ambon justru mengatakan bahwa pihak "merah" Maluku diserbu
oleh pihak "putih" dengan senjata-senjata otomatis di mana
mereka terpaksa harus menandinginya dengan senjata parang,
kelewang, senjata rakitan buatan sendiri, bahkan ada juga yang
menggunakan senjata tua peninggalan kolonial Belanda. Mereka
mengklaim pula bahwa banyak korban di pihak kristen dengan
luka tembak, terutama korban pertempuran setelah Agustus 1999,
yang semuanya mengindikasikan bahwa pihak muslim memiliki
senjata modern dari TNI.
 
Pada alinea penutup berita di Volkskrant, pihak Maluku di
Belanda mengaku mempunyai channel internasional di mana
bantuan keuangan itu ditukar dengan senjata di Filipina.
Sejumlah kecil pengiriman senjata telah dikirim melalui
Filipina Selatan ke Maluku Tengah dengan kapal laut. Perang
Kemerdekaan RMS Sementara itu direktur Delft Information
Society (DIS) menolak setiap analisis yang mengabaikan peran
RMS dalam krisis di Maluku. "Anggapan bahwa RMS sudah tidak
ada, seperti dikatakan Thamrin Tamagola, adalah sangat ngawur
dan miskin data. Pemerintah pengasingan RMS masih tetap eksis,
punya struktur pemerintahan dan rakyat. You mau tahu siapa
presiden RMS sekarang? F.L.J. Tutuhatunewa! Hanya dua syarat
yang perlu dipenuhi: pengakuan internasional dan teritorial.
Syarat terakhir inilah yang sedang diwujudkan. Pengakuan
internasional gampang, Belanda yang dulu menjanjikan tanah air
itu siap menjadi lokomotifnya." katanya.
 
Ia, yang keberatan dikutip namanya karena alasan keamanan,
menyimpulkan bahwa krisis di Maluku sekarang pada hakikatnya
adalah perang kemerdekaan, revolusi bagi RMS, untuk mewujudkan
kembali negara Republik Maluku Selatan. "Mumpung Indonesia
sedang sangat lemah dan konstelasi politik dunia berubah.
Kapan lagi kalau bukan sekarang?" "Karena itu berapa kali
perjanjian damai diteken, tetap saja akan dilanggar dan
pembunuhan akan terus berlangsung. Targetnya: melakukan
perimbangan etnik, sambil menarik campur tangan internasional.
Makin banyak manusia yang mati, cepat atau lambat dunia
internasional pasti akan campur tangan" tuturnya.
 
Ia lantas menunjukkan kliping harian Haagsche Courant, edisi
Rabu 16/12/1998. Kutipan kliping itu berbunyi, "Pemerintah
Republik Maluku Selatan (RMS) yang berbasis di Belanda kini
tengah mematangkan persiapan untuk mengambil alih kekuasaan di
Maluku Selatan" Menurut presiden RMS, F.L.J. Tutuhatunewa,
saat ini di kepulauan Maluku Selatan sudah dibentuk struktur
organisasi yang sewaktu-waktu siap mengambil alih kekuasaan
Jakarta.
 
Kepada harian Haagsche Courant, Tutuhatunewa mengatakan bahwa
beberapa kader RMS dari Belanda saat ini sedang berada di
Maluku untuk melakukan misi "memperkuat semangat di kalangan
penduduk" dan menyempurnakan persiapan kemerdekaan Maluku
Selatan. Tutuhatunewa memperhitungkan bahwa krisis ekonomi
yang kini menerpa Indonesia dan kekacauan massa yang telah
berlangsung berbulan-bulan, suatu saat akan memporak-
porandakan Indonesia sebagai negara kesatuan.
 
"Pada saat itu kami harus sudah siap. Tentu saja situasi chaos
seperti di Jakarta tidak boleh terjadi di Ambon. Kami harus
menjaga supaya kehidupan rakyat di kepulauan Maluku tetap
berjalan normal seperti biasa pada saat pemerintah pusat di
Jakarta jatuh." Tahun 1998 situasi di Indonesia memang sedang
genting dan ekonomi terpuruk. Negara dalam keadaan lemah dan
rapuh. Satu bulan setelah berita itu dilansir oleh Haagsche
Courant, kerusuhan di Maluku pecah. Diawali di Ambon pada
tanggal 18 Januari 1999.
 
Akankah semua ini benar?

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team