Kumpulan Artikel
Mengenai Peristiwa Ambon

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

RIBUAN WARGA TERPAKSA MENGUNGSI DARI AMBON
 
UJUNGPANDANG -- Suasana Ambon yang masih mencekam memaksa
ribuan warga Sulawesi Selatan mengungsi ke Ujungpandang.
Selain dari Ambon, mereka berdatangan dari pulau-pulau lain di
Maluku. Mereka tiba di Pelabuhan Soekarno Hatta sekitar pukul
05.00 Wita menggunakan KM Bukit Siguntang, Rabu (11/8) dini
hari kemarin. Di antara mereka terdapat 97 anak usia di bawah
lima tahun dan 65 anak usianya belasan tahun.
 
Dari data yang diperoleh Republika, para pengungsi ini umumnya
berasal dari pedalaman di sejumlah kabupaten di Sulsel,
seperti Kabupaten Barru, Pinrang, Sinjai, Kabupaten Polmas,
Tator, Luwu, dan Mamuju. Daeng Japar (50), salah seorang
pengungsi bercerita, kota Ambon sudah tidak aman lagi. Bahkan
sampai naik ke kapal ia melihat kota yang dulunya indah itu
tak akan kembali normal. "Yang terdengar tiap saat adalah
letusan senjata api, baik milik petugas maupun kelompok yang
bertikai," kata Daeng.
 
Ia juga bercerita, di sekitar Ambon tempat yang masih aman
untuk mengungsi hanya Pangkalan TNI Angkatan Laut dan Zipur
Ambon. "Selain itu sudah tidak aman lagi," ujarnya. Ini pula
yang membuat kapal-kapal Pelni pengangkut pengungsi hanya bisa
berlabuh di Pangkalan TNI AL.
 
Pada hari yang sama, gelombang pengungsi juga tiba di
Pelabuhan Murhum Bau-bau, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Mereka datang diangkut KM Bukit Siguntang dan saat turun ke
pelabuhan sebagian di antaranya tampak terluka sehingga
langsung dibawa ke RSU Bau-bau.
 
Kepada Antara, Kabag Humas Pemda Buton Drs Syamsuddin Kasim,
menjelaskan para pengungsi itu sebagian langsung mencari rumah
sanak saudaranya. Namun sebagian besar yang lain harus dibawa
ke penampungan karena tidak memiliki kerabat di Buton.
 
Sejak meletusnya kembali aksi kerusuhan di Ambon akhir Juli
1999, warga Ambon yang eksodus ke Buton mencapai 6.000 jiwa
lebih. Ini belum termasuk yang eksodus pada kerusuhan pertama
Januari 1999 sebanyak 58.000 jiwa.
 
Kondisi para pengungsi itu tampak mengenaskan. Banyak yang
datang dalam keadaan luka sehingga harus dirawat atas biaya
Pemda Buton. Sebagian besar dari mereka mengungsi dengan
pakaian dan barang-barang seadanya.
 
Kondisi yang sama menyedihkannya juga terjadi di kalangan
pengungsi yang berlabuh di Ujungpandang. Mardi (25), pengungsi
di Pelabuhan Soekarno-Hatta menuturkan keadaan mereka sangat
memprihatinkan. "Bahaya kelaparan dan wabah penyakit bisa
menimpa setiap saat kalau tidak ditolong," ungkap Mardi. Ia
menambahkan banyak pengungsi hanya makan nasi tanpa lauk.
"Minum juga begitu, kalau sudah sangat haus biar tidak dimasak
airnya kami minum juga," paparnya.
 
Kemarin, Kapolres Ambon dan Pulau-pulau Lease, Letkol Pol Drs
Ghufron, membantah berita bahwa aparat Brigade Mobil menembaki
massa Desa Batumerah dan kawasan permukiman Aster Hative
Kecil, Kecamatan Sirimau, Kodya Ambon. "Sangat mustahil jika
Brimob menembak massa, karena tidak ada aparat Brimob
ditempatkan untuk bertugas melakukan pengamanan di dua lokasi
tersebut," katanya kepada wartawan di Ambon.
 
Bantahan itu disampaikan Kapolres sehubungan pernyataan dari
sejumlah pelajar dan mahasiswa yang mengantarkan korban ke RS
Al-Fatah Ambon, bahwa mereka terkena tembakan aparat Brimob.
"Tudingan ini bisa menimbulkan opini negatif di masyarakat
terhadap kesatuan tertentu," kata Ghufron.
 
Meski demikian, ia berjanji akan melakukan pengecekan dan
identifikasi terhadap proyektil yang bersarang di tubuh korban
untuk mengetahui peluru itu dari senjata kesatuan mana saja.
Hingga kemarin, belum bisa dipastikan berapa korban tewas
dalam bentrok yang terjadi sejak Senin. Sampai Selasa lalu,
korban tewas tercatat sedikitnya 16 orang dan ratusan lainnya
luka-luka. Jumlah ini dipastikan terus bertambah mengingat
banyaknya korban yang belum bisa didata.
 
Sementara itu, Republika kemarin menerima faksimile surat dari
Tim Pengacara Gereja yang dikoordinir Semmy Waileruny. Surat
ini ditujukan kepada Menhankam/Panglima TNI, Kapolri, Kapuspom
TNI, Ketua Umum PDI-P, Ketua Umum PGI, Ketua Umum PB NU, Ketua
Umum Muhammadiyah, Komnas HAM, Pangdam Pattimura, dan Kapolda
Maluku. Tim Pengacara Gereja ini dibentuk oleh Badan Pekerja
Harian Sinode Gereja Protestan Maluku dan Keuskupan Gereja
Roma Katolik Amboina.
 
Isi surat adalah melaporkan keterlibatan HR Hasanusi (Ketua
MUI Maluku), Tamrin Elly (Sekertaris MUI Maluku), dan Abdul
Aziz Abide (Ikatan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan)
sebagai penghasut dan penggerak massa melakukan kerusuhan di
Maluku. Mereka, menurut Tim Pengacara, telah membantu
memasukkan kembali orang-orang dari Sulawesi Selatan ke Ambon
dengan menumpang KM Lambelu pada 28 Juli lalu.
 
Pada saat di atas dek kapal, demikian tulis Tim Pengacara
Gereja, Hasanusi, Tamrin, dan Abide tampak membagi-bagikan
uang pecahan Rp 50 ribu. Rombongan dari Sulsel ini, lanjut
surat pernyataan tersebut, kemudian menuju Masjid Al-Fatah.
"Ternyata pada saat bersamaan pecahlah kerusuhan SARA di Ambon
tersebut," tulis surat pernyataan tersebut.
 
Menanggapi tuduhan ini, Tamrin dengan tegas-tegas membantah
dan menyebut itu sebagai fitnah. Ia menjelaskan sejak 23 Juli
bersama Hasanusi telah ada di Jakarta menghadiri Takernas
Majelis Ulama Indonesia. Lalu, tambah Tamrin, selanjutnya
mengikuti Rapat Pleno PAN. "Ini fitnah. Sudah berulang kali
Tim Pengacara Gereja mengeluarkan surat pernyataan tidak
benar," ujarnya.
 
Menyusulnya besarnya jumlah korban, kemarin sekitar 50
mahasiswa Universitas Pattimura Ambon yang mengungsi ke
Ujungpandang menggelar aksi protes di kantor Gubernur Sulsel.
Mereka menuntut Mendikbud Prof Juwono Sudarsono segera
membekukan sementara Universitas Pattimura dari segala
aktivitas. Mereka menilai perguruan tinggi tersebut sudah
menjadi tempat para provokator yang menyulut kerusuhan dan
perpecahan, khususnya di kalangan mahasiswa.
 
Di depan Asisten Administrasi Pemda Sulsel Abbas Sabbi SH,
yang menerima mahasiswa tersebut, mereka dengan tegas menuding
pimpinan universitas, dosen, dan staf akademik telah bertindak
diskriminatif dan melecehkan mahasiswa dari kelompok agama
Islam. "Ini jelas-jelas diskriminatif dan menyulut kerusuhan
jadi lebih baik universitas itu dibekukan saja," tegas
koordinator aksi mahasiswa asal Ambon yang kesemuanya
mengenakan jaket almamater berwarna hijau.
 
Sementara itu, Sekretaris Majelis Ulama Maluku Tamrin Elly
menilai kerusuhan babak kedua Ambon ini lebih disebabkan
ketidakberhasilan aparat keamanan menuntaskan tindakan
kriminal yang terjadi di lapangan. Akibat ketidakpastian ini,
lanjutnya, kerusuhan yang sebenarnya perkara kriminal biasa,
membesar menjadi kerusuhan bermotif sentimen agama. "Jika ini
bisa diselesaian antarindividu, kerusuhan tak akan kembali
meledak seperti sekarang. Jangan tiap terjadi insiden, selalu
ditarik jadi persoalan merah dan putih," ujar ketua
Muhammadiyah Maluku ketika mengunjungi Republika kemarin.
 
Berbagai kerusuhan, ungkap Tamrin, biasanya bermula dari
insiden kecil, misalnya didahului penjarahan atau perusakan
harta benda milik masyarakat. Kejadian ini, menurut Tamrin
sebenarnya telah diketahui aparat keamanan. Namun, aparat
terlambat bereaksi dan cenderung toleran sehingga kejadian
kecil terus membesar. "Jadi, untuk meredam kerusuhan, aparat
dan KODAM harus proaktif. Mereka jangan ragu-ragu menindak
pelaku kriminal termasuk yang jadi provokator baik dari
kelompok Islam atau Kristen," tegas Tamrin yang juga Ketua DPW
Partai Amanat Nasional Maluku ini.
 
Tamrin mengungkapkan kerusuhan kali ini cukup serius. Jika
kerusuhan pertama, tambahnya, ditandai pengusiran penduduk
pendatang khususnya dari Bugis-Buton-Makasar, maka pada
kerusuhan kedua diwarnai mengungsinya penduduk keturunan Cina.
"Memang, banyak kejanggalan terjadi sejak kerusuhan kembali
meledak di Ambon. Karena itu, saya bahkan berpikir apakah
sebaiknya harus diberlakukan keadaan darurat sipil?" tanyanya.
 
Ia menilai, pangkal kerusuhan Ambon selain kecemburuan
ekonomi, juga adanya proses kristenisasi dan skenario lainnya.
"Tetapi rasanya saya tidak yakin pihak RMS ikut terlibat,"
kata Elly, di Jakarta tadi malam. Nampaknya skenario tersebut,
kata Elly, berasal dari Jakarta. "Yang mengherankan, kenapa
kerusuhan terjadi kembali menjelang rencana kunjungan Habibie
ke Ambon. Mungkin ini setting lawan-lawan politik Habibie,"
tambahnya.
 
Sedangkan Ketua Gerakan Ukhuwah Islamiyah Maluku (GUIM) Faisal
Salampessy meminta seluruh aparat militer di Ambon ditarik,
seperti tuntutan rakyat Aceh. "Saya yakin jika militer
ditarik, kerusuhan di kota Ambon akan mereda dengan
sendirinya," katanya. Pasalnya, menurut dia, kekuatan Islam
dan Kristen yang saling bertikai tidak imbang. "Orang-orang
Islam lebih militan dan orang Kristen takut akan hal
tersebut," tambahnya.
 
http://www.republika.co.id/9908/12/21570.htm


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team