Kumpulan Artikel
Mengenai Peristiwa Ambon

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

Kampanye di Inggris

Meski tidak sepenuhnya benar, Eropa dikenal sebagai gerbang HAM dunia. Sebab banyak instrumen HAM lahir di sana, seperti Magna Charta (1215) di Inggris dan Revolusi Prancis (1789). Dalam rangka memanfaatkan klaim sepihak itu, kami bertiga, Muhammad Hafidz (KOMPAK-DDII), Joserizal Jurnalis (Mer-C) dan saya, Heru Susetyo (PAHAM) berkampanye soal Maluku di Eropa pada 18 April-27 Mei 2000 lalu.

Tujuannya, sosialiasi sekaligus menyeimbangkan informasi tentang kasus Maluku. Selama ini informasi Maluku sangat bias dan sepihak. Misalnya, massa Islam selalu dituduh sebagai penyerang pertama. Mereka membakar gereja, rumah-rumah dan memperkosa para wanitanya. Tujuan kedua, menjalin kerjasama dengan publik dan lembaga internasional di Eropa. Bukan hanya untuk kasus Maluku. Sebab banyak masalah HAM di Indonesia yang perlu dukungan masyarakat internasional.

Kampanye yang diberi nama Europe Road Show on Crime Against Humanity in Molucca diawali di Inggris karena dianggap strategis untuk kampanye isu HAM.

Konflik Chechnya, Bosnia, Kosovo, Ethiopia, Holocaust, sampai East Timor, memperoleh eskalasi isunya di sini. Pertama kami memilih Manchester, kampungnya David Beckham. Sebab mahasiswa muslim Indonesia di Inggris yang berhimpun dalam Keluarga Indonesia Britania Raya (Kibar) menggelar pertemuan setengah tahunan, Spring Gathering 2000 di masjid Woodland-Cheetham Hill, Manchester. Mahasiswa asal Malaysia juga melakukan hal yang sama di sini sehingga kami bertemu mereka.

Ketika kami sampaikan soal Maluku, respon mahasiswa asal Malaysia ini luar biasa. Selain menerjunkan relawan, mereka juga menggalang dana untuk Maluku.

Sebuah pertanyaan yang disampaikan, "Bagaimana bisa di negara muslim terbesar dan presidennya seorang kiai, seperti Indonesia, kaum muslimin banyak dibantai?" Brother Husni, pimpinan mereka yang berdarah Tionghoa, berjanji membantu kasus Maluku.

Berikutnya adalah Birmingham, yang terkenal dengan kesebelasan Aston Villanya. Ada pertemuan Young Muslim in UK, ormas pemuda Islam yang cukup besar di Inggris. Pertemuan yang berlokasi di Aston Villa Sport Center ini sangat meriah, ada bazar-nya segala. Berpuluh Non Governmental Organization (NGO/LSM) Charity Muslim seperti Human Relief International, Family Relief, dan Islamic Relief aktif mengkampanyekan solidaritas dunia Islam dalam pelbagai atribut jualan. Seperti Ethiopia Appeal, Bosnia Appeal, Kosovo Appeal, Chechnya Appeal, Palestine Appeal tapi belum ada Maluku appeal. Kesempatan bazzar ini saya gunakan untuk kampanye Maluku. Umumnya mereka tahu Indonesia namun tidak tahu dimana Maluku. Untung rekan Budi Yulianto mahasiswa Indonesia di Birmingham telah menyiapkan pamflet ringkas tentang tragedi Maluku. Dibantu Muhammad Karami, mahasiswa asal Lampung, saya membagikan pamflet Maluku ke setiap orang. Kami berhenti setelah panitia menegur menjelang maghrib. Mereka pikir kami sedang menyebarkan brosur barang dagangan.

Singgah dua hari di Bristol, kami ditemani Tommy Firmansyah, kandidat doktor bidang aerospace asal Jakarta dan Wisnu Pramudya, wartawan Hidayatullah serta istrinya menuju London, menumpang BMW 520 merah yang disopiri Ibu Nizma, Muslimah Indonesia yang mukim di London. Kami menuju Muslim Council in Britain (MCB) di Kilburn Lane London bertemu dengan Dr. Kamal Helbawy, mantan presiden MCB asal Mesir yang mempunyai banyak akses ke lembaga-lembaga Islam di Inggris. Responnya bagus, mungkin karena ia telah berkali-kali datang ke Indonesia. Kami meminta beliau ikut berbicara pada public expose Maluku yang akan digelar di School of Oriental and African Studies (SOAS). "Insya Allah, Harun!" Dr. Kamal mengganti nama saya menjadi Harun.

Pukul 16.00 kami ke markas Muslim Aid, NGO besar yang memiliki cabang di banyak negara. Dari luar tak nampak ada aktivitas, tapi di dalamnya banyak kesibukan. Kami diterima oleh Brother Ibrahimsya Muhammad, direktur Muslim Aid asal Malaysia. Kami obrolkan soal Maluku dalam dua bahasa, Melayu dan Inggris. Ia menawarkan relawan asal Indonesia untuk bekerja di Muslim Aid, supaya isu-isu HAM Indonesia cepat tertangani.

Di London kami juga bertemu dengan Rashad Yakub, pengacara asal Pakistan yang menjadi campaign manager isu Chechnya. Rashad mengajari kami berkampanye yang baik, teknik presentasi, teknik mengelola isu, mengundang media, dan lain-lain. Pengalamannya memang tak diragukan. Kampanye Chechnya-nya dibilang berhasil. Buktinya, Presiden Rusia Vladimir Putin banyak mendapat kecaman dari publik Inggris atas aneksasinya terhadap Chechnya.

Esoknya saya menuju Sheffield. Di kota yang beken dengan teknologi logamnya ini saya bicara di Muslim Welfare House, rumah tinggal yang disulap menjadi masjid. Acara berlangsung seru karena ada pemutaran film Maluku. Respon mereka luar biasa. Nampak kesedihan di wajah mereka. Pertanyaan itu muncul lagi, "Bagaimana bisa di negara Muslim terbesar kaum Muslim-nya terbantai?"

Dari Sheffield saya kembali ke Bristol. Dokter Joserizal memberikan kesaksian tragedi Tobelo di Euston Community Center. Saya menguatkan dari perspektif hukum dan HAM. Audience yang mayoritas brother asal Somalia nampak sangat antusias. "Tragedi Maluku juga tragedi dunia Islam yang menuntut perhatian kita semua" kata brother Mahmoud. Saya terharu, Somalia tak lebih baik, sebab sudah empat tahun tidak turun hujan, masih sempat memikirkan Maluku.

Esok harinya kami menuju London. Mahasiswa Indonesia mengadakan public expose Maluku di SOAS, even terbesar kami di Inggris. Dr Kamal Helbawy menandaskan bahwa Maluku adalah masalah umat manusia, bukan hanya umat Islam saja. Semua harus bekerjasama untuk menuntaskan masalah Maluku. Karena masalah HAM adalah universal, tidak dibatasi agama, bangsa, suku, dan ras. Hari terakhir di London, kami datang ke Amnesty Internasional di Easton Street London. Mark Allison dan Lucia Winters dari Amnesty seksi Indonesia menerima kami. Kami ceritakan tragedi Maluku dan memperlihatkan foto-foto pembantaian massal di Tobelo. Allison dan Winters tampak antusias dan siap menampung kasus ini. "Masalah Maluku merupakan konflik horizontal antar rakyat belum menjadi concern Amnesty," kata Miss Winters. Mereka menyarankan mendatangi Human Rights Watch yang memiliki concern lebih luas dari Amnesty.

Kampanye di Jerman

Nurenberg, kota kecil sebelah tenggara Frankfurt yang kesohor sebagai markasnya Hitler pada era Perang Dunia II mendapat kesempatan pertama kampanye Maluku. Kampanye dilangsungkan di ruang seminar Fachoschule (semacam politeknik) George Ohm. Seperti yang sudah-sudah, begitu Dr Joserizal mengisahkan tragedi Tobelo dengan visualisasi CD Mer-C, mendadak ruang sunyi senyap. Airmata tidak terbendung lagi. Malamnya, dengan menggunakan Taksi Mercedes E-320 New Eyes (mobil mewah ini di Nurnberg hanya dijadikan taksi) kami menuju Verein Medina, NGO Turki yang bergerak di bidang da'wah bagi orang-orang non Muslim. Sepuluh orang brothers Turki dipimpin Secmin Yalcin menyambut kami. Sayang, hanya sedikit yang bisa bahasa Inggris sehingga rekan Agus dan Arief menjadi translator dadakan. Kami memutar CD Mer-C dan slide tentang konflik Maluku. Responnya luar biasa. What do you need? We have some computer stuff, do you want it? Do you have a list of food? How to send them to Indonesia? Dan masih banyak lagi. Awalnya kami menganggap basa-basi. Ternyata esoknya mereka mengantarkan seperangkat elektronik ke flat kami dan meminta list harga sembako di Indonesia. Subhanallah!

Esoknya, atas lobi intensif rekan Ratiko dkk, kami diberi waktu presentasi di Islamische Zentrum Nurnberg (Islamic Center). Didampingi dua translator, Dr. Ali Mahgery (ke bahasa Jerman) dan Abdul Jalil (ke bahasa Arab) kami kisahkan Maluku. Banyak pertanyaan kritis. Mengapa negara Islam terbesar seperti Indonesia bisa mengalami musibah seperti ini? Apa peran dari Presiden Gus Dur yang pernah mengepalai Ormas Islam terbesar? Mengapa Indonesia masih minta bantuan IMF? Ada beberapa lagi pertanyaan kritis, namun saya tak tega menuliskannya di sini.

Ditemani rekan Hafit, Tri, dan sister Dani, pada 8 Mei 2000 kami menuju Munchen, yang terkenal dengan klub sepakbola Bayern Munchen dan pabrik BMW-nya. Pagi, kami bertemu Ahmed Von Denffer, muslim Jerman yang menikahi muslimah Malaysia. Beliau pimpinan Islamische Zentrum Munchen dan perwakilan Muslim Aid di Munchen. Posturnya tinggi besar dengan janggut putih menghiasi wajahnya. Ia mengajukan beberapa pertanyaan kritis untuk kami. Apakah Anda datang dengan informasi yang akurat? Apakah Anda bisa membuktikan pernyataan Anda? You've to talk precisely and accurately! Awalnya kami terhenyak dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tempaan Von Denfer membuat kami lebih matang dalam menyajikan Maluku di hadapan publik internasional.

Pada 9 Mei 2000 kami bertandang ke Feuer Der Welt (Jendela Dunia), NGO Katolik yang bermarkas di jantung kota Nurnberg. Kami diterima oleh seorang suster tua berjubah hitam dan salib besar di dadanya. Suster bercerita tentang proyeknya di Sumba dan Irian. Kesempatan bagus, segera saya masukkan soal Maluku. "Masalah Maluku adalah masalah dunia yang harus diatasi bersama." Sang susterpun mengangguk-angguk.

Lewat tengah malam 10 Mei 2000 kami tiba di Berlin. Sore harinya kami menuju ke Masjid Al Falah di Melonchthonstrasse. Masjid ini dikenal sebagai masjid Indonesia, karena didirikan dan digunakan oleh jamaah Indonesia. Secara bergantian student asal Indonesia bergantian merawatnya sejak tahun 1982. 'Kuncen'-nya adalah Mas Pandit Nehru. Pria asal Palembang yang menikah dengan wanita Mongolia dan tinggal di Berlin sejak 1976. Kami putar CD soal Maluku. Usai itu, Nia Sutiara, reporter Deutsche Welle (RRI-nya Jerman) seksi Indonesia mewawancarai kami.

Sore hari yang cerah kami mengadakan public expose Maluku di ruang seminar Technische Universiteit Berlin. Inilah even terbesar kami di Jerman. Penerjemah kami pun spesial. Bruder Malik Sezgin, pengacara muslim asal Turki yang hadir khusus untuk acara ini. Acara ini berlangsung semarak. Khalayak yang kritis, di antaranya ada perwakilan Amnesty International di Berlin menghujani kami dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. "Anda berdua datang dari lembaga Islam, apakah anda sanggup berlaku netral?" Dokter Joserizal menandaskan "Mer-C dan PAHAM bekerja untuk kemanusiaan, kendati yang terjadi di lapangan adalah konflik agama, namun kami bekerja untuk semua pihak, itu sudah kami buktikan."

Selepas dari Technische Universiteit Berlin, rekan Dody Hardiman menghantar kami ke Studio TFY, televisi Turki yang bermarkas di Berlin dan memiliki daya pancar di seputar Eropa dan Turki. Acara rekaman untuk siaran tentang Maluku di kanal 7. Bruder Ridwan, direktur TV tersebut mewawancarai kami, sementara Bruder Ali mengambil gambar. Kami menyaksikan kebaikan hati brothers Turki.

Pada 13 Mei 2000, menumpang kereta super cepat ICE 944 Karl Friedrich Schinkel berkecepatan 250 km/jam kami tiba di Hannover. Rekan Agus asli Surabaya dan Johar menjemput. Kampanye Maluku diselenggarakan oleh Keluarga Muslim Hannover bertempat di lantai 10 asrama mahasiswa Hannover. Acara dipandu oleh rekan Yaser Kosasih, asli Bandung yang menikah dengan wanita Turki dan fasih bicara bahasa Jerman, Turki, Arab, Inggris. Bahasa Sundanya lebih halus dari saya. Selain dihadiri mahasiswa Indonesia banyak pula yang dari Jerman, Turki, dan Yordania. Belanda dan Belgia Meski sempat nyasar di stasiun Amsterdam, sampai juga kami di negeri kincir angin itu. Menginap di kediaman rekan Hasyim, mahasiswa Ph.D asli Jember, di Delft, paginya kami meluncur lagi ke Amsterdam bertemu dengan Pak Abdul Aziz Balbaid, blasteran Arab asal Surabaya. Bersama beliau kami menuju Sekolah Maroko di Amsterdam. Setiap Ahad ada pengajian dan sekolah bagi anak muslim Indonesia. Ba'da Dzuhur, Mas Budi, kepala sekolah Indonesia, mempersilahkan kami mempresentasikan Maluku.

Kami juga mengunjungi komunitas muslim asal Maluku di Masjid Ridderkerk-Oost, Rotterdam. Ada 80 kepala keluarga Muslim Maluku di Ridderkerk. Mereka telah tinggal di sana sejak tahun 1950-an. Ikut orangtuanya yang mantan prajurit KNIL. Mereka adalah generasi ketiga. Hebatnya, kultur Ambon muslim tidak hilang, yang pria mengenakan peci dan wanitanya berkerudung. Bicarapun sesekali menggunakan beta dan dorang. Begitu CD Mer-C diputar, wajah sedih dan sumpah serapah serentak bermunculan. Haji Sofyan Ollong, sesepuh keluarga muslim Maluku di Ridderkerk, mengungkapkan rasa prihatinnya akan tragedi Maluku. Ia berjanji akan menyebarkan informasi Maluku ini ke semua pihak yang dianggap perlu. Hujan es dan halilintar pada malam 16 Mei 2000 menyambut kami di Brussels, jantung negeri Belgia. "Ini tak pernah terjadi dalam setahun terakhir," ujar Kang Ade, Dosen ITB yang kami tumpangi di Leuven. Buruknya cuaca tak membuat langkah panitia di Belgia surut. Dipelopori rekan Gandjar Kiswanto, kami datang ke Parlemen Belgia di Brussels dan beraudiensi dengan tiga anggota parlemen Belgia pimpinan Mrs. Leenen. Tanpa dinyana, hadir perwakilan dari Human Rights Watch Belgia, perwakilan International NGO Forum for Indonesian Development (INFID) Belgia, dan NGO ADIL dari Perancis. Diskusi berlangsung panas. Kami hampir terpeleset pertanyaan mereka. Syukurlah, rekan Gandjar, Romi, Sandy, Yuki, dan Kang Ade dari Leuven aktif membantu kami. Di akhir acara, Mrs. Leenen menanyakan tentang bentuk bantuan apa yang bisa parlemen Belgia berikan. Kami menjawab, tolong tunjukkan keprihatinan Anda akan tragedi Maluku dalam bentuk surat tertulis ke pemerintah Indonesia. So, we don't have to do the embargo of weapon to Indonesia? No, you don't, Mrs. Leenen!

Sorenya kami nyambangi redaksi De Morgen, koran Belgia berbahasa Belanda yang bermarkas di Brussels. Kathleen, redaktur De Morgen mewawancarai dokter Joserizal saya. Kami 'setengah memaksa' Kathleen untuk mau menonton CD 'Pasir Hitam Teluk Galela'-nya Mer-C. Dengan sesekali menunduk, Kathleen-pun menonton dengan narasi langsung dari dokter Joserizal. Selepas Brussels, kami merambah Antwerpen. Di kota cantik yang banyak penduduk Yahudi-nya ini kami ke UMIVA di Hoboken-Antwerpen. UMIVA ini semacam Dewan Masjid Indonesia, merupakan asosiasi dari sekitar 24 masjid di seantero Antwerpen.

Apabila di Jerman, mayoritas muslim berasal dari Turki, maka di Antwerpen (dan juga kebanyakan kota di Belgia) mayoritasnya orang Maroko. Sambutan juga sangat luar biasa. Mereka berjanji akan meneruskan informasi ini ke semua masjid di Antwerpen, juga akan menghubungkan kami dengan stasiun TV di jazirah Arab. Mereka juga meminta proposal Maluku dalam bahasa Arab. Leuven adalah giliran berikutnya. Ba'da Ashar kami berdialog dengan Muslim mancanegara di Student Mosque. Berpuluh muslim, dari Mesir, Aljazair, Palestina, dan Maroko berbincang hangat dengan kami. Khalid, Brother Palestina veteran Intifadah menegaskan bahwa kita semua harus kembali pada Al Qur'an dan Sunnah guna mengakhiri semua kemelut kaum Muslimin ini. Tanpa diduga saya didaulat menjadi khotib Jum'at esok harinya dengan topik yang Khalid pesankan. Diantar rekan Syahril, Agung, dan Azwar, pada 21 Mei 2000 kami menemui Dr. Shalahuddin Al Ghafrawy di Bad Vibel, satu jam perjalanan dari Frankfurt ke timur laut. Dr. Shalahuddin adalah mantan Presiden Asosiasi muslim di Jerman. Ia sendiri berasal dari Mesir. Malam harinya di Darmstadt, kami diwawancarai oleh Naime Cakir, wartawati Freitagsblatt, koran Islam berbahasa Jerman yang diterbitkan Muslimin Turki.

Tiga jam menyusuri sungai Rhein, kamipun balik ke Koln pada 22 Mei 2000. Diantar rekan Abdul Munif, dosen IPB program Ph.Dnya di Bonn, dan beberapa mahasiswa Indonesia, kami menuju Islamic Relief di Koln dan Islamische Gemeinschaft Milli Gorus, NGO besar Turki yang berafiliasi ke partai Refah. Syukur Milli Gorus memiliki divisi HAM, hingga dengan lancar kami menginformasikan situasi HAM di Maluku kepada mereka. Hal yang sama terjadi di Aachen esok harinya. Di kota tempat studi mantan Presiden Habibie ini kami disambut baik Dr. Shalahuddin An Nakdaly direktur Islamische Zentrum Aachen dan mahasiswa Indonesia yang menggelar expose Maluku tepat di belakang gedung tempat studi Habibie.

Hari-hari terakhir di Jerman, rekan-rekan muslim Indonesia masih bersemangat menggelar acara Maluku. Atas inisiatif rekan Alexandra Chandrasakti, mukimin Indonesia kelahiran Frankfurt, kami diundang menjadi dosen tamu di Institut Filologi dan Asia Timur di Frankfurt. Dosen di institut ini sungguh luar biasa. Rata-rata bisa berbahasa Indonesia. Begitupun mahasiswanya. Beberapa di antaranya bahkan bicara dengan dialek Jakarta. Dr. Matthew Diederich, menyisihkan waktu mengajarnya untuk kami. Dua jam kami gunakan untuk berdialog dengan mahasiswa Frankfurt. Ternyata, bagi sebagian orang, Maluku bukanlah daerah yang terlalu asing.

Tigapuluh tujuh hari kami berada di Eropa mungkin tidak sebanding dengan satu setengah tahun rakyat Maluku mengalami penderitaan. Mudah-mudahan saja aktivitas yang lima pekan ini membawa kemanfaatan bagi warga Maluku. (Heru Susetyo)

(di cuplik dari www.hidayatullah.com)


ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team