Kumpulan Artikel
Mengenai Peristiwa Ambon

ISNET Homepage | MEDIA Homepage
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

 

Subject: [is-lam] Kesaksian Imam Masjid Al fatah
Date: Thu, 4 Mar 1999 19:10:12 +0100 (MET)
From: "M. Nurhuda" <mnurhuda@post.uni-bielefeld.de>
 
05 Mar 1999
 
Kesaksian Imam Masjid Al Fatah Ambon
Setelah 1,5 bulan berlangsung, kerusuhan di
Ambon hingga kini belum juga padam. Banyak
pihak yang menganggap kecil kerusuhan yang
menurut versi ABRI telah menelan korban 159
jiwa -- versi Posko Partai Keadilan lebih dari
seribu jiwa. Cerita penderitaan rakyat Maluku
itu pun masih simpang siur. Bahkan, menurut
Imam Besar Masjid Al-Fatah Ambon H Abdul Azis
Arby, banyak cerita yang ditutup-tutupi. Untuk
memperjelas pemahaman tentang kasus Ambon, di
bawah ini penurutan Abdul Azis seperti yang ia
kemukakan kepada pers di masjid Al-Azhar,
Jakarta, Kamis (4/3). Kisah ini hanyalah
sepenggal kisah yang ada di pulau Maluku. Masih
banyak kisah lain yang belum terungkap.
 
"Kejadian Ambon membuat kita sangat-sangat
terpojok. Kita berada di pihak yang selalu
diserang. Umat Islam tak pernah memulai
peperangan itu dari mulai terjadinya
penyerangan pertama di Desa Wailette, di Desa
Paimiri, dan di Desa Airbah sebelum Ramadhan.
Tiga desa ini merupakan test case. Mereka
menyerang umat Islam dan membakar
perkampungannya, tapi umat Islam tidak
bereaksi.
 
Bukan umat Islam tidak sanggup menyerangnya,
tapi selalu para pejabat dan arapat di sana
menyatakan tidak usah dibalas diserang biar
mereka yang menanganinya. Tapi karena tidak ada
pembalasan dari umat Islam, maka terjadilah
tragedi Idul Fitri berdarah 1 Syawal 1409 H (19
Januari 1999) di mana umat Islam sedang
merayakan Idul Fitri. Jadi kita tidak tahu sama
sekali. Tiba-tiba kita dikejutkan dengan
serangan mereka.
 
Namun opini diputarbalikkan. Seakan umat Islam
yang memeras sopir angkot bernama Yopie. Justru
Yopie itulah yang menyewa angkot orang Islam
dari orang Bugis dengan harga dan waktu yang
telah disepakati. Tetapi ketika tiba waktunya,
dia mengingkari untuk membayar. Akhirnya, Usman
kernet yang ditugaskan untuk meminta uang,
marah. Kemudian kernet itu diserang dan lari ke
Batu Merah minta pertolongan. Dua pemuda
kampung keluar menolong Usman. Tetapi tiba-tiba
pemuda-pemuda lawan dari Kampung Mardika
menyerang pemuda-pemuda Islam dengan panah
beracun, tombak beracun, dan parang.
 
Pemuda-pemuda Islam keluar dengan tangan kosong
karena tidak punya persiapan apa-apa. Setelah
itu kita pun melihat serangan bertubi-tubi
membabi-buta. Akhirnya bambu di rumah kita
runcingkan, kayu pun kita runcingkan dan batu
pun kita gunakan sebagai alat untuk membela
diri.
 
Pada saat yang sama, itu terjadi pukul 16.00
sore, perkampungan Islam Gang Diponegoro
diserang. Kemudian di Jalan Baru di depan
Masjid Agung Al-Fatah juga diserang, Waihong
diserang, Cilale diserang, tanah lapang kecil
diserang pada jam yang sama. Begitu juga Desa
Batugantung. Mereka semuanya menyerang rumah
umat Islam. Berarti mereka sudah mempunyai
rencana betul-betul matang, sedangkan umat
Islam tidak mempunyai persiapan apa-apa. Itulah
yang terjadi di Ambon. Sedangkan aparat yang
ada itu kebanyakan bukan orang Islam, di mana
mereka menyerang kita. Kita diperintahkan untuk
mundur dan masuk saja ke dalam mempertahankan
kampung. Begitu kita masuk ke dalam, mereka pun
kembali menyerang. Aparat-aparat membiarkan
mereka menyerang kita seenaknya. Kita balas
menyerang untuk membela diri, kemudian
aparat-aparat itu menembaki kita. Jadi kita
sekarang berhadapan dengan aparat. Kalau kita
diserang dan balik menyerang, kita berhadapan
dengan senjata-senjata sedangkan kita tidak
mempunyai apa-apa.
 
Begitu juga kejadian terakhir di Amuru, Desa
Rejani. Umat Islam betul-betul sedang
melaksanakan shalat Subuh, bukan seperti yang
dibicarakan dan disiarkan di media massa. Jadi
mereka betul-betul sedang melaksanakan shalat
Subuh kemudian dibantai aparat kepolisian. Dua
orang meninggal langsung di dalam masjid, dan
satu yang di luarnya. Yang meninggal adalah
mahasiswa STAIN, yang menelepon saya adalah
murid saya Abdul Rasyid namanya. Dua orang
meninggal dalam masjid dan beberapa lainnya
luka-luka.
 
Di samping itu juga, satu keluarga dibantai.
Tapi sebelum dibantai habis diikat seluruh
tubuhnya kemudian dimasukkan ke dalam lumpur
baru kemudian dibantai di dalam lumpur itu.
Saudara Abdul Rasyid ini yang mengambil
jenazahnya di Kepolisian. Semuanya dalam
keadaan berlumpur. Itulah yang terjadi di Ambon
sebenarnya. Jadi kita bukan pihak yang
menyerang, tapi pihak yang diserang.
 
Kemudian saya minta kepada ulama-ulama di sana,
bagaimana caranya mengatasinya. Ulama-ulama
harus mengeluarkan seruan. Tapi hanya ustazd
Ali Fauzi yang berani. Sedangkan Majelis Ulama
Indonesia sendiri, Pak Rusdi Hasanuddin tidak
berani karena maklum Pak Rusdi adalah polisi.
Jadi beliau berada di bawah perintah atasannya.
Kalau Pak Rusdi tidak mau, ya ulama-ulama yang
lainlah memberikan seruan jihad.
 
Jadi kita bukan orang-orang Islam yang ekstrem,
tidak. Kita selalu berada di pihak yang
diserang. Kalau kita diam saja kita akan mati
konyol. Membela diri hukumnya wajib.
 
Jadi ketika kejadian pertama, kita berada di
pihak yang diserang dan tidak mempunyai senjata
apa-apa. Banyak saudara-saudara kita yang kena
panah beracun. Kemudian kita bawa
saudara-saudara kita ke rumah sakit umum yang
berada di Desa Kuda Mati. Desa Kuda Mati adalah
basis mereka. Jadi saudara kita yang kita bawa
ke Kuda Mati untuk diobati, ternyata bukannya
diobati, tetapi malah dibunuh.
 
Bahkan, semuanya pasien diperiksa KTP-nya satu
per satu. Bila KTP-nya Muslim, maka mereka
dihabiskan. Dan banyak ibu-ibu yang datang
untuk melahirkan, tapi malah dibunuh."


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel

Please direct any suggestion to Media Team