ANCAMAN ISLAM
Mitos atau Realitas

oleh John L. Esposito

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
| Indeks Antar Agama | Indeks Artikel | Tentang Pengarang |

 

PERANG SALIB                                           (2/2)
 
Peperangan Salib itu dimulai dengan tanggapan Paus Urban  II
terhadap  permohonan  Raja  Alexius.  Pada tahun 1095, Urban
menyerukan pembebasan Tanah  Suci  dari  tangan  orang-orang
kafir,   dan  mengadakan  perang  suci  yang  sudah  menjadi
tradisi.  Bagi  Paus,  panggilan  untuk  membela  agama  dan
Yerusalem   memberikan  suatu  kesempatan  untuk  memperoleh
pengakuan atas otoritas  kepausannya  dan  peranannya  untuk
mengabsahkan  pemerintah  sementara, dan untuk mempersatukan
kembali gereja-gereja Timur (Yunani) dan Barat (Latin).
 
Seruan peperangan Paus -"Itulah kehendak  Tuhan!"-  terbukti
berhasil.  Pendekatan  agama  berhasil memikat pikiran orang
dan  memanfaatkan  kepentingan  diri  banyak   orang,   yang
menghasilkan persatuan dan kembalinya kekuatan Kristen. Para
pemerintah, pedagang, dan  ksatria  Kristen  terdorong  oleh
keuntungan-keuntungan  ekonomi dan politik yang akan dipetik
dengan tegaknya kerajaan Latin di Timur Tengah. Para ksatria
dari  Perancis  dan  bagian-bagian  lain  Eropa  Barat, yang
terdorong oleh fanatisme agama  dan  harapan  akan  pampasan
perang,  bersatu  melawan  orangorang  "kafir"  dalam  suatu
peperangan yang  tujuannya  adalah  membebaskan  kota  suci:
"Mungkin  Tuhan  memang  menghendakinya,  tetapi  yang pasti
tidak  ada  bukti  bahwa   orang-orang   Kristen   Yerusalem
mempunyai  harapan  itu,  atau  ada  sesuatu yang luar biasa
dalam sejarah yang tertadi pada jamaat di sana sehingga pada
saat itu mereka memberikan tanggapan yang demikian.[3] Perang
Salib diilhami oleh dua institusi Kristen, yaitu  ziarah  ke
tempat  suci  dan perang suci: pembebasan tempat-tempat suci
dari tangan  kaum  Muslim  berkarakterkan  keduanya.  Ziarah
memainkan  peran  penting bagi kesalehan Kristen. Mendatangi
tempat-tempat  suci,  menghormati  peninggalan  keramat  dan
melakukan   penebusan   dosa  memberikan  (orang-orang  yang
mengecam akan mengatakan "membeli") janji pengampunan  dosa.
Yerusalem,  pusat  lahirnya  Kristen, merupakan lambang kota
Tuhan, yang karenanya merupakan tempat suci. Pada waktu yang
sama, gagasan perang suci mengubah dan menyucikan peperangan
di abad-abad  pertengahan  beserta  gagasan  kehormatan  dan
keksatriaannya.   Para   pejuang  itu  menang,  baik  mereka
memenangkan peperangan  di  dunia  maupun  tidak.  Memerangi
musuh  artinya  terhormat  dan mulia, ganjaran yang diterima
oleh semua yang berperan dalam Perang Salib  berupa  jaminan
diampuni  dosanya  dan  masuk  surga.  Mati dalam peperangan
adalah meninggal sebagai pahlawan agama dan  langsung  masuk
surga walaupun mempunyai dosa-dosa di masa yang lalu.
 
Dalam   keadaan  terpecah-pecah,  reaksi  kaum  Muslim  yang
pertama tidak efektif; tentara Salib yang  pertama  mencapai
Yerusalem dan merebutnya pada tahun 1099. Namun keberhasilan
kaum Kristen tidak berlangsung lama: "Para pejuang  Salib...
lebih  merupakan gangguan daripada ancaman serius bagi dunia
Islam."[4] Pada pertengahan  abad   ke-12,   pasukan   Islam
menanggapi  secara  efektif.  Di  bawah kepemimpinan Saladin
yang mumpuni (Shalah  Al-Din,  wafat  1193),  salah  seorang
jenderal  dan  pemerintah  Muslim paling terkenal, Yerusalem
direbut  kembali  pada  tahun  1187.  Keadaan  berubah   dan
momentumnya tetap berada di tangan pasukan kaum Muslim. Pada
abad  ke-13,  Perang  Salib  telah  berubah  menjadi  perang
saudara  Kristen,  perang melawan musuh-musuh yang oleh Paus
dikatakan sebagai sesat. Akhirnya, sesuatu  yang  ditakutkan
yang  telah  menimbulkan  perang  suci  Kristen  itu, dengan
seruannya agar kaum Kristen bersatu untuk merebut  kekuasaan
kaum   Muslim,   terjadi  pada  tahun  1453  ketika  ibukota
Byzantium,  Konstantinopel,  jatuh  dan  diberi  nama  baru,
Istanbul,   yang   kemudian   menjadi   kedudukan   Kerajaan
Utsmaniyah. Impian penguasa dan tentara Muslim  yang  muncul
sejak  abad ketujuh menjadi kenyataan. Sebaliknya, ketakutan
kaum Kristen dan ancaman  Islam  yang  kuat,  ekspansif  dan
terus-menerus  makin  meluas  sampai  ke  Eropa  Timur, yang
sebagian besarnya dikuasai Kerajaan Utsmaniyah.
 
Warisan Perang Salib ini tergantung  pada  tempat  seseorang
berpijak  dalam  sejarah.  Kaum  Kristen dan Muslim bersaing
dalam visi dan kepentingan  serta  masing-masing  senantiasa
ingat  pada  komitmennya  terhadap  agama,  dan  kisah-kisah
kepahlawanan melawan kaum  "kafir."  Bagi  banyak  orang  di
Barat,  dugaan  mengenai  kemenangan Kristen didasarkan pada
sejarah  yang  diromantiskan  untuk  merayakan  kepahlawanan
pejuang     Salib     dan     juga    kecenderungan    untuk
menginterpretasikan sejarah melalui pengalaman  kolonialisme
Eropa  dari kekuasaan Amerika selama dua abad yang baru lalu
ini. Masing-masing agama  melihat  satu  sama  lain  sebagai
militan,  agak  barbaris  dan  fanatik,  cenderung menjajah,
mengubah atau memusnahkan yang  lainnya,  dan  itulah  suatu
halangan  dan ancaman bagi terealisasikannya kehendak Allah.
Pertentangan mereka berlanjut terus selama masa  Utsmaniyah,
melalui  arus  kolonialisme  Eropa,  dan  akhirnya  ke dalam
persaingan negara-negara adidaya pada abad ke-20.
 
Catatan kaki:
[3]: Peters, "Early Muslim Empires," hlm. 85.
[4]: Saunders, History, hlm. 161.


ANCAMAN ISLAM Mitos atau Realitas? (The Islamic Threat: Myth or reality?) John L. Esposito Penerbit Mizan Jln. Yodkali 16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038


| Indeks Antar Agama | Indeks Artikel | Tentang Pengarang |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team