Islam di Simpang Jalan

oleh Muhammad Asad

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

KESIMPULAN

Sebelum ini saya telah berusaha menunjukkan bahwa Islam, dalam artinya yang benar, tidak mendapatkan manfaat dengan satu asimilasi peradaban Barat. Tetapi di pihak lain dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati.

Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya?

Sejarah mengatakan kepada kita bahwa segala kebudayaan dan peradaban manusia adalah keseluruhan organik dan menyerupai makhluk-makhluk hidup. Kebudayaan dan peradaban melintas melalui segala tingkat-tingkat kehidupan organik yang harus dilaluinya; kebudayaan dan peradaban-peradaban dilahirkan, melalui masa remajanya, masa dewasa dan matang, dan pada akhirnya datanglah masa gugur. Seperti tumbuh-tumbuhan yang layu dan gugur ke debu, kultur-kultur mati pada akhir masanya dan memberikan tempat pada kultur-kultur lain yang lahir dengan segar.

Apakah demikian halnya dengan Islam? Pada pandangan kulit sepintas lalu akan tampak demikian. Tiada diragukan bahwa kebudayaan Islam telah mengalami kebangunannya yang cemerlang dan masa berkembangnya; ia mempunyai kekuatan untuk mengilhami manusia untuk berbuat dan berkurban, ia mengubah bangsa-bangsa dan mengubah permukaan bumi, dan sudah itu ia berdiri diam dan macet, kemudian ia menjadi kata kosong dan sekarang kita melihat kerendahannya yang sangat dan kebobrokannya. Tetapi apakah hanya sekedar demikian itu?

Apabila kita percaya bahwa Islam bukanlah satu kultur diantara kultur-kultur, bukan hanya sekedar hasil pemikiran dan usaha manusia, tetapi satu hukum yang dititahkan Allah SWT untuk diikuti ummat manusia pada sepanjang zaman dan di setiap tempat, maka aspek itu berubah dengan sempurna. Kalau kultur Islam merupakan hasil kita mengikuti hukum yang diwahyukan, maka sekali-kali tidak dapat kita mengatakan bahwa, seperti kultur-kultur lain, ia terbelenggu dengan rantai waktu dan terbatas pada satu masa tertentu. Yang sesungguhnya tampak sebagai kebobrokan Islam tidaklah lain dari pada kematian dan kekosongan hati kita yang terlalu bersikap masa bodoh dan malas untuk mendengar suara abadi. Tidak terlihat tanda-tanda bahwa ummat manusia, dalam keadaan yang telah dicapainya sekarang, telah mengatasi Islam. Ummat manusia ternyata tidak sanggup untuk menghasilkan satu sistem etika yang lebih baik dari pada sistem etika Islam; ia ternyata tidak sanggup meletakkan idea persaudaraan ummat manusia atas dasar tumpuan praktis seperti dihasilkan Islam dalam konsep supranasional dalam bentuk Ummah; ia ternyata tidak sanggup menciptakan satu struktur kemasyarakatan dimana konflik-konflik diturunkan secara efisien ke batas minimal, dalam gagasan kemasyarakatannya ia tidak sanggup membangunkan keluruhan manusia, perasaan keamanannya, pengharapan spiritualnya, dan terakhir tetapi pasti bukan terkecil, kebahagiannya.

Dalam segala hal ini hasil capaian ummat manusia sekarang jauh sangat tidak mencapai program Islam. Maka dimanakah dasar kebenaran untuk mengatakan bahwa Islam "telah ketinggalan zaman"? Apakah hanya karena dasar-dasarnya adalah religius dan orientasi religius sudah bukan modenya sekarang? Tetapi apabila kita lihat bahwa satu sistem berdasarkan agama telah sanggup memajukan satu program hidup praktis yang lebih sempurna, lebih konkrit dan lebih patut bagi konstitusi psikologik dari pada apapun yang telah pernah dihasilkan akal pikiran dengan jalan pembentukan kembali usul-usul baru --tidakkah ini justru satu argumen yang sangat kuat menopang pandangan religius?

Kita mempunyai segala alasan untuk percaya bahwa Islam telah dipertahankan sepenuhnya oleh hasil-hasil capaian positif manusia, karena Islam telah menghadapinya dan menunjuknya sebagai barang yang sepatutnya lama sebelum hal itu ditemukan; dan sama seperti itu pula ia telah dipertahankan oleh kenyataan akan kekurangan-kekurangan, kekeliruan-kekeliruan dan ceruk-ceruk penghalang perkembangan manusia, karena Islam telah memperingatkan dengar nyaring dan lantang menentangnya lama sebelum manusia menyadarinya sebagai kekeliruan-kekeliruan. Sangat terlepas dari kepercayaan-kepercayaan religius seseorang, semata-mata dari sudut pandang intelektual, terdapat segala dasar pendorong untuk mengikuti dengan yakin petunjuk praktis Islam.

Apabila kita pandang kultur dan kebudayaan dari segi pandangan ini maka pasti kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan Islam pasti mungkin. Kita tidak perlu me-"reform" Islam, seperti dikira oleh sebagian kaum Muslimin, karena Islam telah sempurna sendirinya. Yang harus kita perbaharui ialah sikap kita terhadap agama, kemalasan kita, singkatnya kekurangan-kekurangan kita, bukan kekurangan-kekurangan yang dikira ada pada Islam. Untuk mencapai kebangkitan Islam kita tidak perlu mencari prinisip-prinsip perilaku baru dari luar, tetapi kita hanya harus menerapkan perilaku lama yang telah kita tinggalkan. Tentu kita boleh menerima rangsangan-rangsangan baru dari kebudayaan asing, tetapi kita tidak dapat mengganti bangunan Islam yang sempurna dengan sesuatu yang bukan Islam, baik ia datang dari Barat ataupun dari Timur. Islam sebagai lembaga spiritual dan sosial tidak dapat "diperbaiki." Dalam hal-hal demikian setiap perubahan pada konsepsi-konsepsinya atau pada organisasi sosialnya yang disebabkan oleh gangguan-gangguan kultural asing adalah dalam realitasnya berarti kemunduran dan merusak dan oleh karena itu harus sangat disesalkan. Suatu perubahan harus ada, tetapi perubahan itu haruslah perubahan dari dalam diri kita sendiri --dan perubahan itu harus menuju kepada Islam, bukan menyimpang dari Islam.

Tetapi dengan segala ini kita tidak boleh menipu diri. Kita tahu bahwa dunia Islam hampir telah kehilangan realitasnya sebagai satu faktor kultural yang tidak tergantung. Di sini saya tidak berbicara tentang aspek politik dari kemunduran kaum Muslimin. Segi yang jauh lebih penting bagi keadaan kita sekarang harus diperoleh dalam bidang intelektual dan sosial, dalam menghilangnya kepercayaan kita dan pengoyakan struktur sosial kita. Tampaknya sangat sedikit yang masih tertinggal dari kesehatan aslinya yang seperti telah kita lihat, merupakan satu karakter yang demikian khas dari masyarakat Islam awal itu. Kekacauan kultural dan sosial yang sedang kita alami sekarang menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan yang mengimbangi yang dahulu menjadi sebab bagi kebesaran dunia Islam sudah hampir padam sekarang. Kita sedang mengapung hanyut dan tiada seorangpun tahu ke arah tujuan kultural yang mana. Tidak ada kebenaran kultural tertinggal, tidak ada kemauan untuk menentang banjir pengaruh asing yang merusak agama dan masyarakat kita. Kita telah mengesampingkan ajaran-ajaran moral yang paling baik yang pernah disaksikan dunia. Kita memungkiri agama kita, sedang bagi orang-orang tua kita dahulu agama itu merupakan pendorong hidup; kita merasa malu sedang nenek moyang kita bangga; kita pelit dan mementingkan diri sendiri, sedang mereka dengan murah hati membukakan diri kepada dunia luar, kita kosong sedang mereka penuh berisi.

Keluhan ini dikenal oleh setiap Muslim yang berpikir. Setiap orang telah mendengarnya diulang-ulang berkali-kali. Kalau demikian, orang dapat bertanya: masih perlukah itu diulang sekali lagi? Saya pikir perlu. Karena bagi kita tidak akan ada jalan keluar dari rasa malu akan kemunduran kita kecuali satu: mengakui rasa malu itu, melihatnya siang malam di depan mata kita dan merasakan kepahitannya, sehingga kita memutuskan untuk menyingkirkan sebab-sebabnya. Tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan pahit dari diri kita sendiri dan berpura-pura bahwa dunia Islam sedang bangkit dalam kegiatan-kegiatan Islami, bahwa misi-misi Islam sedang bekerja di empat benua, bahwa bangsa Barat makin lama makin menyadari akan keindahan Islam … Tidak ada gunanya berpura-pura tentang semua ini dan menggunakan argumen-argumen kebetulan untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa kerendahan kita bukanlah tidak bertumpuan, karena sesungguhnyalah memang sebenarnya demikian.

Tetapi inikah yang akan menjadi akhir kesudahannya? Tidak dapat demikian. Hasrat kita akan regenerasi, hasrat sekian banyak dari kita untuk menjadi lebih baik daripada keadaan kita sekarang, memberikan hak kepada kita untuk mengharapkan bahwa kita belum selesai. Ada jalan menuju regenerasi, dan jalan ini dapat dilihat dengan nyata bagi setiap orang yang punya mata untuk melihat.

Langkah kita yang pertama haruslah membuang jiwa apologia bagi Islam, karena itu hanyalah satu nama lain bagi pengelabuan intelektual. Dan jenjang kita selanjutnya adalah mengikuti Sunnah Nabi kita dengan sadar dan sungguh-sungguh. Karena Sunnah berarti, tidak lebih dan tidak kurang, ajaran-ajaran Islam yang diterapkan dalam praktek. Dengan menggunakannya sebagai test terakhir kedalam tuntutan-tuntutan kehidupan kita sehari-hari, dengan mudah kita akan mengenal pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Barat, yang mana dapat diterima dan yang mana yang harus ditolak. Sebagai ganti daripada menyerahkan Islam dengan halusnya kepada norma-norma intelektual asing, kita harus belajar --sekali lagi-- memandang Islam sebagai norma; dengan norma inilah kita harus menilai dunia.

Namun benarlah bahwa banyak tujuan-tujuan Islam yang orisinal telah dibawa kedalam perspektif palsu melalui penafsiran-penafsiran tidak sempurna tetapi diterima umum, dan dari orang-orang Muslimin yang tidak dalam posisi untuk kembali sendiri kepada sumber-sumber asli dan dengan demikian memperbaiki lagi konsepsi-konsepsi mereka, dihadap-hadapkan dengan gambaran Islam dan hal-hal lain yang berhubungan dengan agama Islam yang sebagiannya telah dirusak. Proposisi-proposisi yang tidak dapat dipraktekkan yang sekarang dikemukakan oleh faham orthodoks seenaknya sendiri sebagai dalil-dalil Islam, dalam banyak hal tidaklah lain daripada --penafsiran-penafsiran konvensional dari dalil-dalil atas dasar logika neo-platonisme lama yang mungkin "modern", yaitu dapat berjalan, dalam abad kedua atau abad ketiga Hijriyah, tetapi sungguh-sungguh bukan lagi masanya sekarang. Seorang Muslim yang terdidik secara Barat, kebanyakan tidak mengenal bahasa Arab dan tidak mengenal masalah-masalah fiqih, secara alami cenderung untuk memandang penafsiran-penafsiran dan konsepsi-konsepsi usang dan subyektif sebagai hasil dari penafsiran-penafsiran yang benar dari Pembawa Hukum: dan dalam kekecewaannya atas ketidak-sempurnaannya ia sering menarik diri mundur dari apa yang dikiranya Syari'ah Islam. Dengan demikian, supaya mereka sekali lagi menjadi satu kekuatan kreatif dalam kehidupan kaum Muslimin, penilaian terhadap proposisi-proposisi Islam harus direvisi dalam sorotan sinar pengertian kita sendiri dari sumber-sumber aslinya dan dibersihkan dari lapisan-lapisan timbunan tebal penafsiran-penafsiran konvensional yang telah tertimbun selama berabad-abad dan terasa berkekurangan pada jaman sekarang. Hasil dari usaha semacam itu mungkin berupa timbulnya satu fiqih baru yang tepat sesuai dengan Dua Sumber Islam --al-Qur'an dan teladan hidup Nabi-- dan pada saat yang sama menjawab tuntutan-tuntutan kehidupan jaman ini: tepat seperti bentuk-bentuk fiqih lama itu menjawab tuntutan-tuntutan hidup dari suatu masa yang dikuasai falsafah Aristoteles dan Neo-Platonisme dan kondisi-kondisi hidup yang menguasai pada tingkat-tingkat permulaan itu.

Tetapi hanya apabila kita memperoleh lagi kepercayaan diri sendiri yang telah hilang itu dapat kita mengharapkan untuk mengubah jalan maju kita sekali lagi. Tujuan itu tidak pernah akan tercapai apabila kita menghancurkan lembaga-lembaga sosial kita sendiri dan meniru suatu peradaban asing-asing bukan saja dalam pengertian historis dan geografis, tetapi juga asing dalam pengertian spiritual.

Seperti halnya sekarang, Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan al-Qur an:

"Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an, 33:21)

(sebelum, daftar isi)


Islam di Simpang Jalan
Judul asli: Islam at the Crossroads
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan
Penterjemah: M. Hashem
Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967
Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team