KEBANGKITAN PEMUDA ISLAM SUATU KEMAJUAN HARUS DIBIMBING BUKAN DILAWAN (3/6)

Oleh: Dr. Yusuf Qardhawi

 
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

3. Permudahlah dan Jangan Mempersulit

Penulis berpesan kepada para pemuda agar meninggalkan sikap memberat-beratkan diri dan berlebih-lebihan dalam beragama. Usahakanlah tetap berada pada posisi tengah dan membuat kemudahan-kemudahan, khususnya terhadap masyarakat umum yang hanya mampu menjalankan agama sebatas kemampuan orang-orang awam karena mereka berbeda dengan kalangan khusus (ahli wara' dan takwa). Memang dianjurkan agar seseorang mengambil suatu atau sejumlah masalah dengan ekstra hati-hati dan paling aman. Akan tetapi, terus menerus bersikap ketat dan meninggalkan kemudahan-kemudahan akan membuat agama ini terkesan sebagai "kumpulan hal-hal sulit yang menuntut kehati-hatian," dan yang menonjol adalah aspek-aspek yang berat dan sulit. Padahal Allah menghendaki kemudahan dan keluasan terhadap hamba-hamba-Nya.

Orang yang mau merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an dan As-Sunnah serta petunjuk para sahabat niscaya akan menemui bahwa teks-teks itu mengajak kita untuk membuat kemudahan dan membuang hal-hal yang memberatkan serta menjauhkan diri dari sikap mempersukar hamba Allah.

Hendaklah kita mau merenungi ayat-ayat berikut.

"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (al-Baqarah: 185)

"Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu..." (al-Maidah: 6)

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28).

Allah berfirman mengenai qishas serta pemberian maaf dan damai di dalam ayat suci-Nya,

"Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat" (al-Baqarah: 178).

Cukuplah bagi kita, hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah saw.,

"Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena berlebih-lebihan dalam beragama" (HR Ahmad, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim dengan isnad sahih).

Dan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menjelaskan,

"Seorang badui pernah kencing di dalam masjid, lalu orang-orang (para sahabat) berdiri menghampirinya untuk menindaknya. Rasulullah saw. bersabda, 'Biarkan dia, ambil segayung air atau setimba air dan siramkan pada bekas kencingnya. Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk membuat kemudahan dan tidak untuk membuat kesulitan.'" (HR Bukhari)

Abu Hurairah juga meriwayatkan dari Rasulullah saw.,

"Sesungguhnya agama itu mudah, dan tiada seseorang memberat-beratkan agama kecuali ia dikalahkan olehnya. Maka luruskanlah, dekatkanlah, dan gembirakanlah (mereka)." (HR Bukhari)

Rasulullah saw. selalu memilih yang paling mudah di antara dua pilihan selama pilihan itu tidak mengandung dosa. Ketika salah seorang sahabatnya mengadu bahwa dia terlambat dari kelompoknya karena seorang imam memanjangkan shalatnya, maka Rasulullah saw. sangat marah lalu bersabda,

"Wahai manusia, kamu seringkali menjauhkan orang-orang dari beragama, barangsiapa shalat bersama orang banyak maka ringankanlah, sebab di antara mereka ada yang sakit, lemah, dan mempunyai suatu keperluan." (HR Bukhari)

Seorang sahabat, Mu'adz, pernah mengimami orang banyak dengan bacaan yang amat panjang. Rasulullah saw. menegurnya: "Apakah Engkau pembuat fitnah, wahai Mu'adz?." Beliau mengulanginya tiga kali. Teguran ini dapat diartikan bahwa memberat-beratkan orang dan membebani mereka dengan hal yang sulit merupakan malapetaka.

Apabila seorang diperbolehkan memberatkan diri untuk mencapai tingkat amal yang lebih sempurna dan selamat, maka ia dilarang memberlakukan hal itu pada masyarakat umum agar mereka tidak lari dari agama Allah tanpa disadari. Sebagai teladan, lihatlah Rasulullah saw. Pribadi agung ini adalah hamba Allah yang paling panjang shalatnya jika sedang mendirikan shalat sendirian, namun paling ringkas jika sedang memimpin shalat berjamaah. Beliau bersabda,

"Jika salah seorang di antara kalian melakukan shalat dengan orang-orang (shalat berjamaah), maka perpendeklah, sebab di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan lanjut usia. Bila salah seorang di antara kalian sedang melakukan shalat sendirian, maka perpanjanglah sekehendaknya." (HR Bukhari)

Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Sesungguhnya saya melakukan shalat, dan saya ingin memperpanjangnya, tetapi saya mendengar suara tangis anak, maka saya memperpendek shalat saya karena tidak mau menyusahkan ibunya (yang sedang menjadi makmum)." (HR Bukhari)

Imam Muslim menjelaskan dalam Shahih-nya bahwa Rasulullah saw. bila hendak meringkas shalatnya, maka beliau membaca surat pendek.

Dari 'Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Nabi saw. melarang mereka melakukan wishal (puasa tanpa berbuka sampai hari kedua) sebagai tanda kasih sayang kepada mereka. Mereka bertanya, "Sesungguhnya Anda melakukan wishal?" Rasulullah saw. menjawab, "Saya melakukannya tidak seperti kalian, saya diberi makan dan minum oleh Allah pada malam hari." (Muttafaq-'alaih)

Jika sikap mempermudah ini dibutuhkan pada zaman Rasulullah saw., maka pada zaman sekarang kita justru lebih membutuhkannya, karena zaman kita ini ditandai dengan fenomena menurunnya keberagamaan, melemahnya keyakinan, menguatnya kehidupan materialistik, dan memuncaknya berbagai kemungkaran yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Memegang teguh agama dalam kondisi semacam ini seperti memegang bara api. Kondisi demikian tentu menghajatkan adanya kemudahan dan keringanan dalam beragama. Berkaitan dengan pembahasan ini, para fuqaha telah menetapkan suatu kaidah,

"Bahwa kesulitan menarik kemudahan, yakni suatu perkara bila sempit (harus) diperluas, dan tersebarluasnya malapetaka mengharuskan adanya keringanan."

4. Berdakwah secara Baik dan Bijak

Penulis berpesan kepada para pemuda agar dalam berdakwah menggunakan metode yang telah digariskan Al-Qur'an. Al-Qur'an telah memberikan rambu yang jelas dalam masalah ini,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (an-Nahl: 125)

Barangsiapa merenungkan ayat tersebut niscaya akan mendapatkan pemahaman bahwa tidaklah cukup menyeru manusia hanya dengan perdebatan sekalipun dengan cara yang baik, akan tetapi kita diperintahkan untuk berdebat dengan cara yang lebih baik. Jika ada dua metode diskusi; yang pertama berkategori "baik" dan yang kedua berkategori "sedang," maka seorang muslim masih diperintahkan untuk menggunakan cara yang lebih baik dari keduanya untuk menarik hati yang lari dari kebenaran dan mendekatkan jiwajiwa yang selama ini saling berjauhan.

Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan,

"Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Tuhanmu lebih mengetahui tentangmu. Dia akan memberi rahmat kepadamu jika Dia menghendaki dan Dia akan mengazabmu jika Dia menghendaki. Dan Kami tidaklah mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.'" (al-Isra': 53-54)

Mengembalikan segala urusan kepada kehendak Allah untuk memberikan rahmat atau menyiksa orang-orang yang diseru merupakan salah satu bentuk cara dialog yang lebih baik.

Salah satu metode dialog yang lebih baik itu adalah menjelaskan titik temu antara kedua pihak yang berdebat, kemudian menuju kepada masalah-masalah yang dipertentangkan. Dengan cara ini kemungkinan akan terjadi kesepakatan. Allah SWT berfirman,

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (Kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri." (al-Ankabut: 46)

Mengenai hal-hal yang dipertentangkan, hukumnya diserahkan kepada Allah di Hari Kiamat kelak. Zat Yang Maha Tahu dan Maha Adil mewahyukan,

"Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah, 'Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan'. Allah akan mengadili di antara kamu pada Hari Kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya." (al-Haj: 68-69)

Seharusnya demikianlah bijaknya metode debat seorang muslim terhadap nonmuslim, apalagi bila seorang muslim berdebat dengan sesamanya yang diikat oleh kesatuan akidah dan ukhuwah.

Sebagian aktivis dakwah mencampurbaurkan ketegasan dalam memperjuangkan kebenaran dengan kekasaran dalam menerapkan metode. Padahal idealnya tidak boleh begitu. Formula dakwah yang bijaksana adalah menyampaikan pesan kepada orang lain secara persuasif melalui ucapan yang lemah lembut dan ungkapan kasih sayang terhadap sesama muslim dengan tidak mengabaikan kualitas materi dakwah.

Fakta membuktikan kepada kita bahwa metode yang kasar (keras) dapat menjadikan audiens (mad'u; objek dakwah) mengabaikan dakwah. Itulah sebabnya para sahabat mengatakan, "Barangsiapa memerintahkan kebaikan, maka haruslah dengan cara yang baik pula."

Imam Ghazali menerangkan dalam bab al-Amr bil-Ma'ruf wa Nahyu 'Anil Munkar kitab Ihya 'Ulumuddin,

"Tidaklah memerintah kebaikan dan tidak pula mencegah kejahatan kecuali orang yang menjalankan kebaikan dan orang yang menjauhi kejahatan, yaitu orang yang menjaga diri untuk melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada orang lain) dan menjaga diri dari apa yang dilarang (sebagaimana dia melarang orang lain melakukan kejahatan --peny.). Dia benar-benar memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang."

Imam al-Ghazali mengingatkan kepada kita mengenai seorang pria yang menasihati Khalifah al-Ma'mun (dari Dinasti Abbasiyah). Disayangkan, nasihat itu disampaikannya secara kasar dan emosional. Ia tidak memperhatikan di mana dan dengan siapa dia berbicara, padahal Khalifah al-Ma'mun adalah orang yang mengerti agama. Berkatalah khalifah kepadanya, "Berbicaralah yang sopan! Allah telah mengutus dua orang yang lebih baik dari kamu kepada orang yang lebih buruk daripada aku. Dia memerintahkan kedua orang itu agar menyampaikan kebenaran dengan sikap mengasihi dan menyayangi Dia mengutus Nabi Musa dan Harun --keduanya lebih baik dari pada kamu-- kepada Fir'aun yang lebih buruk daripada aku. Allah menitahkan kepada kedua utusanNya itu,

"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Thaha: 43-44)

Dengan pernyataan tersebut, khalifah berhasil mengalahkannya dan membuatnya terdiam seribu bahasa.

Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Musa a.s. agar dakwahnya kepada Fir'aun menggunakan ungkapan-ungkapan yang lemah lembut dan mencerminkan kasih sayang.

"Dan katakanlah (kepada Fir'aun), 'Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya'." (an-Naazi'aat: 18-19)

Barangsiapa yang menelaah dialog Nabi Musa a.s. dengan Fir'aun yang ditengarai dalam Al-Qur'an niscaya akan mengetahui bahwa Nabi Musa a.s. benar-benar memperhatikan pesan Allah SWT kepadanya dan menjalankannya dengan taat meskipun diterjang berbagai tekanan, permusuhan, tuduhan, ancaman, dan serangan Fir'aun. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam surat asy-Syu'araa'.

Orang yang melakukan studi terhadap sirah Rasulullah saw. dan sunnahnya yang berkaitan dengan topik ini juga akan mengetahui bahwa Nabi saw. senantiasa menjunjung tinggi keramahan, kasih sayang, dan kelemahlembutan, serta menolak sikap emosional. Allah SWT berfirman,

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (at-Taubah: 128)

Al-Qur'an menggambarkan hubungan Nabi saw. dengan para sahabat,

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali Imran: 159)

Meskipun sebagian orang Yahudi memberikan ucapan salam kepada Rasulullah saw. dengan Assaamu'alaikum (semoga engkau mati), tetapi pribadi teragung ini menjawabnya dengan Assalaamu 'alaikum. Aisyah r.a. tak dapat menahan amarahnya lantas membalasnya secara kasar. Kemudian Rasulullah saw. mengubah redaksi salam balasan itu dengan menghilangkan Assalaam, sehingga menjadi 'alaikum saja serta memberitahukan 'Aisyah, "Sesungguhnya Allah mencintai keramahan dalam segala perkara."

Disampaikan oleh 'Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Sesungguhnya Allah sangat lembut dan mencintai kelembutan (keramahan), Dia memberikan kepada keramahan sesuatu yang tidak diberikan kepada kekasaran, dan tidak pula diberikan kepada selainnya." (HR Muslim)

"Sesungguhnya kelembutan tidak terdapat pada sesuatu kecuali sebagai penghiasnya dan tidak pula terlepas dari sesuatu kecuali (akan) meninggalkan aib padanya." (HR Muslim)

Disampaikan oleh Jarir bin 'Adillah, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa tidak memperoleh kelembutan (berarti) dia tidak memperoleh seluruh kebaikan.'" (HR Muslim). Siksaan mana yang lebih besar dan pedih daripada mencegah kebaikan?

Penulis beranggapan bahwa pesan-pesan yang penulis ambil dari teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah ini cukuplah kiranya untuk memuaskan ikhwan-akhwat yang cenderung bersikap keras agar mereka kembali kepada metode yang bijak dan pesan yang baik.

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team