Kata Pengantar (1/2)

Indeks Islam | Indeks Bucaille | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Masing-masing dari tiga agama Samawi mempunyai kumpulan
kitab  yang khusus. Dokumen-dokumen itu merupakan dasar
kepercayaan tiap penganut  agama  itu,  baik  ia  orang
Yahudi, orang Kristen atau orang Islam. Dokumen-dokumen
tersebut bagi mereka itu merupakan penjelmaan  material
daripada  wahyu  Ilahi,  yang  bersifat  wahyu langsung
seperti yang diterima oleh Nabi Ibrahim atau Nabi Musa,
atau  merupakan wahyu yang tidak langsung seperti dalam
hal Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Nabi Isa  berkata  atas
nama Bapa dan Nabi Muhammad menyampaikan kepada seluruh
manusia  wahyu-wahyu  Tuhan  yang  ia   terima   dengan
perantaraan malaikat Jibril.
 
Untuk  membicarakan sejarah Agama, saya mengambil sikap
untuk menempatkan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru  dan
Qur-an   dalam   tempat   yang  sejajar  sebagai  wahyu
tertulis. Sikap  saya  tersebut  yang  pada  prinsipnya
dapat  disetujui  oleh  umat Islam, tidak diterima oleh
pengikut agama di negeri-negeri Barat yang  terpengaruh
oleh agama Yakudi dan Kristen, karena rnereka itu tidak
mengakui Qur-an sebagai suatu kitab yang diwahyukan.
 
Sikap  seperti  tersebut  nampak  dalam   masing-masing
kelompok  jika  menghadapi  kedua  agama lainnya, dalam
soal Kitab Suci.
 
Kitab Sucinya agama Yahudi adalah Bibel  Ibrani.  Bibel
bahasa  Ibrani  ini  berbeda  daripada  Perjanjian Lama
menurut   agama   Masehi    dengan    tambahan-tambahan
fasal-fasal yang tak terdapat dalam bahasa Ibrani. Dari
segi praktek, perbedaan ini tidak menyebabkan perubahan
dalam  aqidah.  Akan  tetapi  orang-orang  Yahudi tidak
percaya kepada adanya sesuatu wahyu sesudah kitab  suci
mereka.
 
Agama  Masehi  menerima Bibel Ibrani dengan menambahkan
beberapa tambahan. Akan  tetapi  tidak  dapat  menerima
segala   sesuatu   yang   termuat   di  dalamnya  untuk
membuktikan kenabian Isa. Gereja Masehi telah melakukan
potongan-potongan yang sangat penting dalam fasal-fasal
yang mengenai  kehidupan  Isa  serta  ajaran-ajarannya.
Gereja  Masehi  tidak  memasukkan dalam Perjanjian Baru
kecuali tulisan-tulisan yang sangat terbatas jumlahnya,
yang  terpenting  ialah  Injil yang empat. Agama Masehi
tidak menganggap adanya wahyu yang turun  sesudah  Nabi
Isa dan sahabatnya. Dengan begitu mereka tidak mengakui
Al Qur-an.
 
Enam abad setelah Nabi Isa,  Al  Qur-an  sebagai  wahyu
terakhir,  banyak menyebutkan Bibel Ibrani serta Injil.
Al Qur-an sering menyebut Torah1 dan Injil.  Al  Qur-an
mewajibkan  kepada  semua  orang  muslim  untuk percaya
kepada kitab-kitab sebelumnya (surat 4  ayat  136).  Al
Qur-an  menonjolkan  kedudukan  tinggi para Rasul dalam
sejarah Wahyu, seperti Nabi  Nuh,  Nabi  Ibrahim,  Nabi
Musa  dan  para  Nabi Bani Israil, dan juga kepada Nabi
Isa (Yesus) yang mempunyai kedudukan istimewa di ancara
mereka.  Kelahiran  Yesus  telah  dilukiskan  dalam  Al
Qur-an  sebagai  suatu  kejadian  ajaib  (supernatural)
seperti   juga   dilukiskan   oleh   Injil.  Al  Qur-an
menyebutkan Maryam secara istimewa. Bukankah surat  no.
19 dalam Qur-an bernama surat Maryam?
 
Perlu  saya  nyatakan bahwa hal-hal yang mengenai Islam
pada  umumnya  tak  diketahui  orang  di  negeri-negeri
Barat.  Hal  ini tidak mengherankan jika kita mengingat
bagaimana generasi-generasi diberi pelajaran agama  dan
bagaimana   selama  itu  mereka  itu  dikungkung  dalam
ketidak  tahuan  mengenai  Islam.  Pemakaian  kata-kata
"religion  Mahometane"  (Mohamedanism)  dan  Mahometans
(Mohamedans)  sampai  sekarang  masih  sering  dipakai,
untuk  memelihara suatu anggapan yang salah yakni bakwa
Islam adalah kepercayaan yang  disiarkan  oleh  seorang
manusia,  dan dalam Islam itu tak ada tempat bagi Tuhan
(sebagaimana yang difahamkan oleh kaum Masehi).  Banyak
kaum  terpelajar  zaman  sekarang  yang  tertarik  oleh
aspek-aspek    Islam    yang     mengenai     filsafat,
kemasyarakatan atau ketatanegaraan, tetapi mereka tidak
menyelidiki lebih  lanjut  bagaimana  dalam  mengetahui
aspek-aspek  itu  mereka  sesungguhnya bersumber kepada
wahyu  Islam.  Biasanya  orang  bertitik   tolak   dari
anggapan  bahwa  Mohammad  bersandar kepada wahyu-wahyu
yang diterima nabi-nabi  sebelum  dia  sendiri,  dengan
begitu   mereka   ingin   mengelak  dari  mempersoalkan
"wahyu."
 
Orang-orang Islam selalu dianggap remeh  oleh  golongan
tertentu  dalam umat Kristen. Saya mempunyai pengalaman
dalam hal ini, ketika ssya berusaha  mengadakan  dialog
untuk  penelitian  perbandingan  antara  teks Bibel dan
teks  Qur-an  mengenai  sesuatu  masalah;  saya  selalu
disambut  dengan  penolakan  untuk  menyelidiki sesuatu
yang mungkin diungkapkan oleh  Al  Qur-an  tentang  hal
tersebut.   Hal   seperti   ini   seakan-akan   berarti
menganggap bahwa  Qur-an  itu  ada  hubungannya  dengan
Syaitan.
 
Pada  akhir-akkir  ini  telah  terjadi  perubahan besar
dalam tingkat tertinggi daripada Dunia Kristen. Setelah
konsili  Vatican  II  (1963-1965),  sekretariat Vatican
(Departemen)  untuk  urusan-urusan  dengan  umat  bukan
Kristen,  menyiarkan  Dokumen  "Orientasi  untuk dialog
antara umat Kristen dan  umat  Islam;"  cetakan  ketiga
terbit  pada  tahun  1972. Dokumen tersebut menunjukkan
pergantian sikap yang mendalam secara resmi,  mula-mula
Dokumen  tersebut  mengajak  untuk  melempar jauh image
yang diperoleh umat Kristen tentang Islam  yaitu  image
usang  yang  telah  diwarisi  dari masa yang silam atau
image  yang  salah  karena  didasarkan  prasangka   dan
fitnahan. Kemudian Dokumen tersebut mengakui terjadinya
ketidak adilan  pada  masa  yang  lalu,  yaitu  ketidak
adilan  yang dilakukan oleh Pendidikan Kristen tethadap
umat Islam" diantaranya mengenai gambaran umat  Kristen
yang  salah  tentang  fatalisma Islam, juridisma Islam,
fanatisma dan lain-lain.  Dokumen  tersebut  menegaskan
kesatuan  akan  Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Serta menyebutkan bahwa Kardinal Koenig telah  membikin
para pendengarnya tercengang ketika dalam ceramah resmi
di  Universitas  Al  Azhar  pada   bulan   Maret   1969
menerangkan   hal   tersebut.   Dokumen  tersebut  juga
mengatakan  bahwa   sekretariat   (Departemen)   urusan
non-Kristen mengajak umat Kristen pada tahun 1967 untuk
mengucapkan selamat kepada umat Islam sehubungan dengan
bulan   puasa   Ramadlan   "sesuatu  nilai  agama  yang
autentik."
 
Usaha-usaha untuk pendekatan antara Vatican  dan  Islam
telah  diikuti  dengan  bermacam-macam  manifestasi dan
pertemuan yang konkrit. Tetapi hal-hal  tersebut  hanya
diketahui  oleh  jumlah  yang  sangat  sedikit di Barat
walaupun mass media seperti pers,  radio  dan  telerisi
tidak kurang.
 
Surat-surat kabar menyiarkan tentang kunjungan Kardinal
Pignedoli, Ketua Departemen urusan bukan Kristen kepada
Baginda  (almarhum) raja Faisal dari Saudi Arabia, pada
tanggal 24 April 1974. Harian Le Monde (Dunia)  tanggal
25  April  1974  hanya memuat berita itu dalam beberapa
baris. Tetapi berita  tersebut  adalah  penting  karena
Kardinal  Pignedoli  menyampaikan  kepada  Sri  Baginda
pesan dari Paus Paulus VI yang berisi: rasa hormat Paus
Paulus VI, yang diiringi dengan keyakinan yang mendalam
tentang kesatuan Dunia Islam  dan  Dunia  Kristen  yang
kedua-duanya menyembah Tuhan yang Satu.
 
Enam  bulan  kemudian  pada  bulan  Oktober  1974, Paus
Paulus  VI  secara  resmi  menerima  ulama-ulama  Saudi
Arabia di Vatican. Pada waktu itu juga diadakan diskusi
antara pihak Islam dan pihak Kristen mengenai:  Hak-hak
manusia  dalam Islam. Surat kabar Vatican L'observatore
Romano yang terbit pada tanggal 26 Oktober 1974  memuat
berita   diskusi   tersebut   pada   halaman   pertama.
Berita-berita  tersebut  mengambil  tempat  yang  lebih
besar  daripada  berita tentang penutupan sidang Synode
uskup-uskup di Roma.
 
Ulama-ulama Arabia kemudian mengunjungi Majelis Ekumeni
Gereja   di   Geneva   dan   diterima  oleh  Monsigneur
Elchenger, uskup Strasburg yang kemudian meminta kepada
mereka   untuk   sembahyang  lohor  di  Kathedral.  Hal
tersebut saya sajikan  karena  luar  biasa  dan  karena
artinya  yang  besar.  Tetapi  meskipun  begitu sedikit
sekali   orang   yang   saya   tanya   dapat   mengerti
kejadian-kejadian tersebut.
 
Sikap  keterbukaan  terhadap  Islam  yang diperlihatkan
oleh Paus Paulus VI yang pernah berkata, dijiwai dengan
kepercayaan  penah  tentang  kesatuan  Dunia  Islam dan
Kristen yang rnenyembah Tuhan Yang Satu,  akan  membuka
halaman  baru  dalam  hubungan  kedua  agama. Mengingat
sikap Kepala Gereja Katolik terhadap umat Islam  adalah
perlu  sekali,  karena  banyak orang Kristen terpelajar
masih berfikir seperti  yang  dilukiskan  oleh  Dokamen
Orientasi  untuk  Dialog  antara  umat Kristen dan umat
Islam  dan  tetap  menolak  menyelidiki   ajaran-ajaran
Islam.  Dan  karena  sikap  tersebut mereka tetap tidak
memahami realitas dan  tetap  berpegangan  kepada  idea
yang sangat salah mengenai Wahyu Islam.
 
Bagaimanapun  juga  adalah  sangat wajar jika seseorang
mempelajari aspek wahyu dalam suatu  agama  Samawi,  ia
akan  mengadakan  perbandingan dengan dua agama lainnya
mengenai  persoalan  yang  sama.  Sesuatu  penyelidikan
tentang   sekelompok   masalah-masalah   lebih  menarik
daripada penyelidikan tentang  hanya  sesuatu  masalah.
Oleh karena itu konfrontasi dengan hasil-hasil penemuan
ilmu pengetahuan abad XX mengenai masalah-masalah  yang
tersebut  dalam  kitab suci, adalah penting bagi ketiga
agama itu. Bukankah lebih baik jika  ketiga  agama  itu
merupakan  suatu  blok  yang  kompak  dalam  menghadapi
bahaya materialisma yang mengancam  Dunia.  Pada  waktu
ini,  di  kalangan-kalangan  ilmu  pengetahuan, baik di
negeri-negeri  yang  di  bawah  pengaruh  agama  Yahudi
Kristen  (Barat)  maupun  di negeri-negeri Islam banyak
orang berpendapat  bakwa  agama  dan  Sains  tak  dapat
disesuaikan.  Untuk  membicarakan  soal  ini, agama dan
ilmu, perlu pembahasan yang sangat  luas.  Akan  tetapi
saya   hanya   akan   membicarakan  satu  aspek  yaitu:
penyelidikan   tentang    Kitab-kitab    Suci    dengan
mempergunakan pengetahuan Sains modern.
 
Maksud   tersebut   mendorong  untuk  mengajukan  suatu
pertanyaan yang fundamental: Sampai di mana kita  dapat
menganggap  teks  kitab-kitab suci yang kita miliki itu
autentik? Soal ini  mendorong  kita  untuk  menyelidiki
kejadian-kejadian   yang   terjadi   sebelum  pembukuan
Kitab-kitab Suci tersebut sehingga sampai  kepada  kita
sekarang
 
Penyelidikan  tentang  Kitab  Suci  dengan  menggunakan
kritik  teks  adalah  baru.   Mengenai   Bibel,   yakni
Perjanjian    Lama    dan   Perjanjian   Baru,   selama
berabad-abad manusia sudah  puas  dengan  menerima  apa
adanya.  Membaca  Kitab  Suci tersebut hanya diperlukan
untuk maksud-maksud apologetik (mempertahankan  agama).
Adalah  suatu  dosa  untuk  menunjukkan  pikiran kritik
terhadap isi Kitab Suci  itu.  Para  rohaniawan  Gereja
mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang
menyeluruh tentang Kitab-kitab Suci. Adapun orang  awam
kebanyakan   hanya   menerima   potongan-potongan  yang
dipilih untuk dipakai dalam do'a atau khutbah.
 
                                       bersambung (2/2)


BIBEL, QUR-AN, dan Sains Modern Dr. Maurice Bucaille   Judul Asli: La Bible Le Coran Et La Science Alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasyidi Penerbit Bulan Bintang, 1979 Kramat Kwitang I/8 Jakarta

 

Indeks Islam | Indeks Bucaille | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team