Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PAHAM MAHDI AHMADIYAH                                  (1/6)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
Apabila paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah itu lebih ditandai
oleh  motif-motif  politik,  maka paham Mahdi Ahmadiyah yang
lahir  di  ujung  abad  ke-19,  tampaknya   lebih   bermotif
pembaharuan pemikiran dalam Islam, terutama dalam menghadapi
bahaya Kristenisasi sebagai  akibat  penjajahan  Inggris  di
India.  Dengan  demikian,  ide  kemahdian  Ahmadiyah berbeda
dengan ide kemahdian Syi'ah yang mencita-citakan terwujudnya
kekuasaan politik di dunia Islam di bawah pimpinan al-Mahdi.
 
Mahdiisme   Ahmadiyah   rupanya  tidak  bisa  terlepas  dari
kaitannya dengan masalah kehadiran kembali 'Isa- al-Masih di
akhir  zaman, dimana ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh
Dajjal,   mematahkan   tiang   salib,    yaitu    mematahkan
argumen-argumen   agama   Nasrani  dengan  dalil-dalil  atau
bukti-bukti yang meyakinkan, serta menunjukkan  kepada  para
pemeluknya  kebenaran Islam. Disamping itu ia pun ditugaskan
untuk menegakkan kembali  syari'at  Nabi  Muhammad,  sesudah
ummatnya  mengalami  kemerosotan  dalam  kehidupan beragama.
Menurut paham aliran ini,  'Isa  dan  al-Mahdi  adalah  satu
pribadi, bukan sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya.
Oleh karena itu, mereka  hanya  mengambil  salah  satu  dari
beberapa  hadis-hadis Mahdiyyah yang sesuai dengan keyakinan
aliran ini, dan mereka - para  pengikut  paham  Ahmadiyah  -
memandang   hadis  Mahdiyyah  yang  mereka  pegangi  sebagai
otentik seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
 
"Tiada seorang pun (sebagai) al-Mahdi selain 'Isa."
 
Hadis tersebut mereka pahami  dan  mereka  hubungkan  dengan
pribadi  Mirza  Ghulam  Ahmad  sebagai  pengejawantahan 'Isa
al-Masih dan al-Mahdi, yang  berasal  dari  India.  Tentunya
para  pengikut  paham  Ahmadiyah  ini  secara  tegas menolak
hadis-hadis Mahdiyyah lairmya yang mengandung maksud berbeda
dengan  paham  mereka.  Apabila  kemahdian  Ahmadiyah meniru
sifat-sifat atau  watak  Nabi  'Isa,  maka  dalam  mene;apai
tujuannya,  aliran  ini tidak suka menempuh jalan kekerasan,
akan tetapi dengan jalan damai,  sebagaimana  yang  ditempuh
oleh  kaum misionaris Kristen. Menegakkan Islam dengan jalan
kekerasan atau perang, menurut paham  pengikut  aliran  ini,
adalah  tidak  penting  bahkan tidak perlu. Sebab menegakkan
agama (Islam) dengan perang, hanyalah merupakan  jihad  atau
perang  kecil  yang  dikenal  dengan  [kata-kata Arab]. Akan
tetapi, yang terpenting adalah jihad akbar [kata-kata  Arab]
yaitu perang melawan hawa nafsu.
 
Sifat  kemahdian  Ahmadiyah tersebut, berlainan dengan sifat
kemahdian Syi'ah yang  jauh  lebih  agresif.  Pada  umumnya,
pengikut  paham  Mahdi Syi'ah mendasarkan paham kemahdiannya
pada aqidah raj'ah dengan menunggu-nunggu kehadiran  kembali
pemimpin  mereka  yang telah wafat, khususnya dari keturunan
mereka  yang   telah   wafat,   khususnya   dari   keturunan
Ahlul-Bait. Sedangkan paham Mahdi Ahmadiyah tidak didasarkan
pada aqidah raj'ah,  karenanya  pengikut  aliran  ini  tidak
memandang   penting   silsilah  al-Mahdi  itu  berasal  dari
keturunan  Ahlul-Bait.  Menurut  paham  yang  terakhir  ini,
al-Mahdi  itu  tidak  harus  keturunan  Ahlul Bait atau dari
bangsa Arab, akan tetapi siapa  saja  yang  dikehendaki  dan
diangkat oleh Tuhan baik dengan jalan wahyu atau ilham. Jika
kemahdian Syi'ah selalu dikaitkan dengan  masalah  keimaman,
maka  kemahdian  Ahmadiyah selalu dihubungkan dengan masalah
kenabian, dan kemungkinan masih diturunkannya wahyu  sesudah
Nabi  Muhammad.  Persepsi  yang demikian ini, apa pun alasan
yang mereka ajukan, tetap akan ditolak oleh  golongan  Islam
lainnya, khususnya golongan Sunni.
 
Dari  perbedaan-perbedaan yang prinsip ini, kehadiran aliran
Ahmadiyah di tengah-tengah pengikut Sunni, tidak bisa mereka
terima  pada  awal kemunculannya. Bahkan sampai hari ini pun
aliran tersebut tidak diakui sebagai kelompok  Muslim,  oleh
Rabitah  al-'Alam al-Islami. Untuk mendapatkan gambaran yang
lebih  jelas,  terlebih  dahulu  perlu  diuraikan   beberapa
masalah yang berkaitan dengan Mahdiisme Ahmadiyah.
 
A. SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
 
1. LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
 
Lahirnya aliran  Ahmadiyah  merupakan  serentetan  peristiwa
sejarah  dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari
situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu.
 
Sejak kekalahan Turki 'Usmani dalam serangannya  ke  benteng
Wina   tahun  1683,  pihak  Barat  mulai  bangkit  menyerang
kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih  efektif  lagi  di
abad  ke-18.  Selanjutnya  di  abad  berikutnya bangsa Eropa
didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang  oleh
berbagai    penemuan    baru,    mereka    mampu    mencipta
senjata-senjata modern. Secara agresif mereka dapat menjarah
daerah-daerah  Islam  di satu pihak, sedangkan di pihak lain
ummat Muslim sendiri masih  tenggelam  dalam  kebodohan  dan
sikap  yang  apatis  dan  fatalistis. Akhirnya Inggris dapat
merampas India dan Mesir, Perancis  dapat  menguasai  Afrika
Utara,   sedangkan   bangsa  Eropa  lainnya  dapat  menjarah
daerah-daerah Islam lainnya.1
 
Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap  ummat
Muslim  yang masih sangat tradisional dan fatalistis, dengan
disertai semangat  antipati  dan  fanatisme  keagamaan  yang
berlebihan   dalam  menghadapi  tradisi  Barat,  menyebabkan
mereka semakin terisolasi. Keadaan kaum Muslimin India  ini,
semakin  buruk  terutama  sesudah  terjadinya  pemberontakan
Mutiny di tahun 1857.
 
Sebagai akibat pemberontakan tersebut, pihak Inggris menjadi
lebih  curiga  dan bersikap reaksioner terhadap ummat Islam.
Inggris berkeyakinan bahwa ummat Islamlah yang menjadi biang
keladi  pemberontakan  tersebut,  dan  oleh karena itu harus
bertanggung jawab. Selain itu ia pun  menuduh  ummat  Muslim
ingin  mengembalikan  hak-hak kemaharajaan Mughal, disamping
itu Inggris menganggap oposisi ummat  Muslim  adalah  karena
didorong  oleh  semangat  nasionalisme  yang  menyala-nyala,
sedangkan  kaum  Hindu   tampak   dapat   menyembunyikannya,
sehingga  mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah
Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih  baik
bila  dibandingkan  dengan  posisi  ummat Islam, demikianlah
penjelasan K. 'Ali.2
 
Sebagaimana  diketahui,  kaum  Hindu  dibawah   pemerintahan
kolonial  Inggris,  lebih bersikap kooperatif daripada ummat
Islam, karena itu sikap  nonkooperatif  ummat  Muslim  India
saat  itu  semakin memojokkan posisi mereka serta membawanya
kedalam situasi keterasingan di negeri sendiri.  Selain  itu
mereka   semakin   tenggelam   dalam   keterbelakangan   dan
perselisihan   dengan   sesama   Muslim,   karena    masalah
khilafiyyah  di  satu  pihak,  dan  di  pihak  lain hubungan
diantara mereka terutama yang telah mendapat didikan  sistem
Barat,  semakin jauh jarak yang memisahkannya. Situasi ummat
Muslim di India saat itu,  boleh  jadi  tidak  jauh  berbeda
dengan  keadaan ummat Muslim Indonesia di zaman pemerintahan
kolonial Belanda.
 
Dalam keadaan demikian, intelektual kaum ulama Islam sebagai
digambarkan  oleh  Maulana  Muhammad  'Ali,  telah tenggelam
sampai ke tingkat yang paling  bawah.  Sehingga  pertarungan
antar  sesama  kelompok  Muslim, karena perbedaan paham yang
kecil saja telah dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam
yang  paling  besar,  dan  menghukum  Muslim lainnya sebagai
kafir.3  Demikianlah  situasi  ummat  Muslim  yang   melatar
belakangi  munculnya  gerakan  Mahdiisme  Ahmadiyah. Sebagai
yang telah  disinggung  dimuka,  bahwa  kemahdian  Ahmadiyah
berorientasi  pada  pembaharuan  pemikiran.  Di  sini  Mirza
Ghulam Ahmad yang mengaku telah  diangkat  sebagai  al-Mahdi
dan  al-Masih  oleh  Tuhan,  merasa mempunyai tanggung jawab
moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim dengan  memberi
interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur-an sesuai dengan
tuntutan zamannya, sebagai yang diilhamkan Tuhan  kepadanya.
Motif  Mirza  ini  tampaknya didorong oleh gencamya serangan
kaum misionaris Kristen dan propaganda kaum  Hindu  terhadap
ummat Muslim saat itu.
 
Dalam  hubungan  ini,  Wilfred  Cantwell Smith menggambarkan
bahwa Ahmadiyah  yang  lahir  menjelang  akhir  abad  ke-19,
ditengah  huru-hara  runtuhnya  masyarakat  Islam  lama  dan
infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar
kaum  misionaris  Kristen  (terhadap  Islam), dan berdirinya
Universitas Aligarh yang baru, maka lahimya Ahmadiyah adalah
sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen
memperoleh  pengikut-pengikut  baru.  Juga  sebagai   protes
terhadap  paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh
Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarh-nya. Disamping itu, di saat
yang  sama,  demikian  Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah
juga sebagai protes atas kemerosotan  Islam  pada  umumnya.4
Sayangnya   pembaharuan  al-Mahdi  Ahmadiyah  ini  menyentuh
keyakinan ummat Muslim yang  sangat  sensitif,  yaitu  masih
adanya nabi dan wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah al-Quran
dan sesudah kerasulan Nabi  Muhammad.  Inilah  kiranya  yang
menyebabkan  timbulnya  reaksi  keras  dan  permusuhan ummat
Muslim terhadap aliran yang baru lahir itu.
 
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE AHMADIYAH
 
Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak  terlepas  dari  sejarah
Mirza  Ghulam  Ahmad  sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia
dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mina Ghulam
Murtada.  Menurut  riwayat,  nenek  moyangnya  berasal  dari
Samarkand yang  pindah  ke  India  pada  tahun  1530,  yaitu
sewaktu  pemerintahan  dinasti  Mughal,  mereka  tinggal  di
Gundaspur, Punjab - India. Di  situ  mereka  membangun  kota
Qadian.  Menurut  suatu  keterangan,  famili  Ghulam Murtada
masih keturunan Haji Barlas dari dinasti  Mughal,  dan  oleh
karenanya  didepan  nama  keturunan  keluarga  ini  terdapat
sebutan Mirza.
 
Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu  setia
pemerintah  kolonial  Inggris  di  India.  Jauh sebelum itu,
keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan
pimpinan  kaum  Sikh,  Ranjat Singh.5 Dengan demikian, tidak
pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif  dengan
pemerintah  Inggris.  Tentunya  sikap  kooperatif  tersebut,
berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh  Sayyid
Ahmad  Khan,  sekalipun  keduanya  sama-sama mendapat reaksi
keras  dari  ummat  Muslim   India.   Apabila   Ahmad   Khan
menginginkan  agar ummat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan
kesuksesan  sebagaimana  yang  dicapai  oleh  bangsa  Eropa,
dengan  mendirikan  Universitas  Aligarh,  maka Mirza Ghulam
Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara
politis,  sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan
dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.
 
Disamping itu, pendiri  Ahmadiyah  juga  ingin  melestarikan
tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka
dengan  pemerintah  Inggris,  sebagaimana  pernyataan  Mirza
Ghulam Ahmad sendiri:
 
"Sungguh  sejak  masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia
60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan
dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum
Muslimin kepada pemerintah Inggris karena  kebaikannya,  dan
bersikap  lunak  kepadanya.  Dan  aku  mengajak mereka, agar
mereka  menghilangkan  pikiran  untuk   berjihad   (terhadap
Inggris),  dimana  pikiran  seperti  itu  masih diikuti oleh
sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah
yang  mencegah  mereka  tidak  mau  patuh  kepada pemerintah
Inggris."6
 
Demikian pula halnya dengan  pernyataan  Basyiruddin  Mahmud
putera  Mirza  Ghulam  Ahmad,  yang  sewaktu  Putera Mahkota
Kerajaan Inggris berkunjung ke India, menyatakan:
 
"Kami atas nama seluruh warga Ahmadiyah mengucapkan  Selamat
datang  atas  kunjungan  Tuan  ke  India,  dan kami tegaskan
kepada  Tuan  bahwa  warga  Ahmadiyah  adalah  setia  kepada
pemerintah   Inggris.   Dan   insya'allah   kesetiaan  warga
Ahmadiyah ini akan tetap untuk selama-lamanya."7
 
                                            (bersambung 2/6)
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team