Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PAHAM MAHDI AHMADIYAH                                  (5/6)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA'
 
Dalam masalah kedua ini,  terjadi  perbedaan  yang  mendasar
antara  sekte  Lahore  dan  sekte  Qadiani.  Bagi  Ahmadiyah
masalah  kenabian  ini   ada   dua   versi,   yang   pertama
diistilahkan  sebagai  Nubuwwah  Tasyri'iyyah (kenabian yang
membawa  Syari'at),   dan   kedua   adalah   Nubuwwah   Gair
Tasyri'iyyah  (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya
dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah
Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah
(kenabian yang  tidak  mandiri).  Para  nabi  yang  mandiri,
adalah  semua  nabi  yang datang sebelum nabi Muhammad SAW.,
dimana  mereka   tidak   perlu   mengikuti   Syari'at   nabi
sebelumnya.   Sedangkan   yang  dimaksud  dengan  nabi  gair
mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti  Syari'at
nabi  sebelumnya,  seperti  kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang
mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan  demikian,  menurut
paham  Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja
yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak  membawa
syari'at akan tetap berlangsung.
 
Nabi  mandiri  dalam  pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa
berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas
dasar  petunjuk-Nya,  guna  menghapus  sebagian  ajaran nabi
sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat  itu,  atau
dengan  menambah  ajaran  baru sehingga syari'at itu menjadi
lebih sempurna. Terjadinya  perubahan  sedikit-sedikit  dari
nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi
lebih  sempurna  daripada  syari'at  yang  dibawa  nabi-nabi
sebelumnya,  maka  jenis  kenabian  yang seperti itu, mereka
istilahkan dengan nabi mustaqil.32  Oleh  karena  itu,  kata
"nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti
istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi
yang  tidak  membawa  syari'at disebut nabi lugawi atau nabi
majazi,  yang  pengertiannya  ialah  seorang  yang  mendapat
berita  dari  langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang
membawa syari'at,  mereka  sebut  nabi  haqiqi,  demikianlah
paham Lahore.
 
Bagaimana   status   kenabian  al-Mahdi  Ahmadiyah  di  mata
pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan  Ahmadiyah  Lahore
agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun
golongan Lahore secara implisit  memandangnya  sebagai  nabi
lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan
Qadiani  secara  tegas.  Dalam  pandangan  mereka,  al-Mahdi
bukanlah  nabi  haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad
ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak  persamaan  dengan
nabi  dalam  hal  ia  (al-Mahdi)  menerima wahyu atau berita
samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah  mereka  secara
tegas  menyatakan  bahwa  percaya  kepada Mirza Ghulam Ahmad
sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan  termasuk  rukun  iman,
maka   orang   yang  mengingkarinya  tidak  dapat  dikatakan
kafir.33 Selanjutnya mereka juga  berpandangan  bahwa  wahyu
yang  diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian
dan menurut paham mereka,  bahwa  wahyu  macam  inilah  yang
tetap  terbuka,  agar  dengan  wahyu  tersebut,  imam  ummat
manusia tetap hidup dan segar. Selain itu  mereka  beralasan
bahwa  Mirza  atau  al-Mahdi  tidak pernah menyatakan dirinya
sebagai nabi hakiki.
 
Berbeda  dengan  paham  kenabian   sekte   Qadiani,   mereka
memandang  al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi
dan rasul yang  wajib  diyakini  dan  dipatuhi  perintahnya,
sebagaimana  nabi  dan  rasul yang lain. Menurut paham sekte
ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi
yang  satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh
al-Quran dan  yang  dipesankan  Nabi  Muhammad  SAW.,  untuk
mengikuti  al-Mahdi  yang  dijanjikan.  Sekalipun  demikian,
paham kedua  aliran  tersebut,  terdapat  juga  persamaannya
yaitu  mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau
nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan  penggunaan  term  wahyu
selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.
 
Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya'  atau
penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda
dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar  berkeyakinan
bahwa  Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik
yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan
dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.
 
"Muhammad   itu  sekali-kali  bukanlah  bapak  dari  seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah  Rasulullah  dan
penutup nabi-nabi ..."
 
Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:
 
"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh
pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan  aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku."
(H.R. Bukhari)
 
Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi  oleh  golongan
Lahore,  mungkin  sekali  dikarenakan  oleh  pengakuan Mirza
(al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah
berdialog  langsung  dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah,
untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
 
Akan tetapi bagi golongan  Qadiani  yang  meyakini  al-Mahdi
sebagai  nabi  yang  harus  ditaati ajaran-ajarannya, mereka
berusaha keras mencari  dalil-dalil  dan  memajukan  mereka.
Misalnya  dengan  menginterpretasikan  Surah  al-Ahzab:  40,
sesuai  dengan  paham  mereka,  maupun  dengan   menggunakan
hadis-hadis  Nabi,  disamping  mereka  menggunakan  berbagai
pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang  kekuatan  hujjah
(argumen) mereka
 
Menurut  paham  kaum  Qadiani, berita akan datangnya kembali
Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan  dari  hadis-hadis
sahih  adalah  jelas.  Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at
baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi  Muhammad,  namun
dia  (al-Mahdi)  tetap  sebagai nabi gair mustaqil atau nabi
yang  tidak  mandiri.   Oleh   sebab   itu,   kata   "Khatam
an-Nabiyyin"  mereka  artikan sebagai nabi yang paling mulia
dan paling sempurna dari  sekalian  para  nabi,  tapi  bukan
sebagai  penutup  para  nabi.  Selanjutnya mereka mengajukan
argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut  bahasa  Arab,
apabila   kata   [kata-kata   Arab]  dirangkai  dengan  kata
berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian
seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.34 Sebagai contoh,
mereka mengemukakan sabda Nabi yang  ditujukan  kepada  'Ali
ibn Abi Talib:
 
"Aku  (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan
engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."
 
Dalam hubungan ini,  seorang  propagandis  Ahmadiyah  Qadian
menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab],
artinya tidak ada nabi  lagi  sesudah  Nabi  Muhammad,  yang
membawa  syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah
'Isa a.s., yang sebelumnya sudah  menjadi  nabi,  maka  yang
demikian  ini  tidak  akan dapat mematahkan pembuktian kami.
Oleh karena itu, dua kata tersebut di  atas,  artinya  bukan
"akhir para nabi."35
 
Sebagaimana  diketahui,  kaum  Sunni  tidak mengenal istilah
nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi  lugawi;  maupun  nabi
mustaqil  atau  gair  mustaqil.  Karena  itu,  jika  terjadi
perbenturan antara paham  Sunni  dan  paham  Ahmadiyah  yang
mengakibatkan  pertentangan  dan  permusuhan  yang hebat, di
awal  kelahiran  sekte  ini,  adalah  sesuatu   yang   sulit
dihindarkan.  Sekalipun  paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih
moderat daripada golongan Qadiani, rupanya  golongan  Lahore
lebih   cenderung   berpegang   pada  sikap  Mirza  di  awal
kegiatannya sebagai  al-Mahdi  yang  dijanjikan  sebagaimana
dalam pernyataannya:
 
"Dan  dengan  keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya
aku adalah mukmin, muslim, dan  aku  beriman  kepada  Allah,
kitab-kitab,   rasul-rasul,   dan  malaikat-Nya  serta  hari
kebangkitan sesudah kematian.  Dan  sesungguhnya  Rasulullah
Muhammad  adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. para
nabi. Dan sesungguhnya mereka  (ummat  Islam  non-Ahmadiyah)
telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza)
telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."36
 
Dari  pernyataan  tersebut,  tampak  sikap  pendiri   aliran
Mahdiisme  Ahmadiyah  tidak  senang  dirinya dituduh mengaku
menjadi nabi. Akan tetapi golongan  Qadiani,  rupanya  lebih
berpegang  pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran
akidah.  Sebagaimana   pernyataannya   yang   disalin   oleh
al-Maududi,  dari  buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang
berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:
 
"... Dan sesungguhnya Allah telah  menentukan  (pilihan-Nya)
kepadaku  dan  tidak  ada  seorang  pun  diantara  ummat ini
memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak  ada  pula  seorang  pun
yang memperoleh nama ini selain aku ..."37
 
Akan  tetapi  masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk
dipertanyakan, yaitu apabila  al-Mahdi  ini  adalah  seorang
nabi  yang  mendapat  wahyu  Allah  atau seorang Wali, dalam
menjalankan misi keagamaannya, sebagai  yang  diyakini  oleh
kaum  Ahmadiyah,  mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada
pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja  sama
untuk  menghantam  saudara  seagama  dan  memusuhinya. Sikap
al-Mahdi  yang  agresif   dan   emosional   dalam   berbagai
tulisannya  yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang
kurang  tepat,  sama  sekali  kurang  layak  dilakukan  oleh
seorang  yang  dipandang  sebagai  wali apalagi sebagai nabi
atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi  untuk
Bani  Israil  dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang
yang  beriman.  Sebagai  misal  adalah   serangan   al-Mahdi
Ahmadiyah  ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya,
ia mengatakan:
 
"Setiap orang yang  menyalahi  (paham)ku,  maka  dia  adalah
Nasrani,   Yahudi,   musyrik  (tergolong)  penghuni-penghuni
neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak  masuk
ke  dalam  jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus
menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan  Rasul-Nya,
dan dia tergolong penghuni neraka."38
 
Demikian   pula  halnya  dengan  pernyataan-pernyataan  para
pengikutnya  yang  telah  menunjukkan  sikap  permusuhannya,
seperti   yang   diungkapkan  oleh  al-Maududi,  bahwa  kaum
Muslimin  dari  kalangan  menengah  dan  awam,  sejak   lama
menginginkan  diisolasikannya  kaum  Qadiani  dari komunitas
Muslim,  dan  menjadikan  mereka   sebagai   kaum   minontas
non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum
Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah  tuntutan
Muhammad  Iqbal,  dalam  sebuah  risalahnya  yang  terkenal,
berjudui Islam and Ahmadisme.39 Demikian al-Maududi.
 
                                            (bersambung 6/6)
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team