Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PAHAM MAHDI SYI'AH                                     (5/8)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
B. SYI'AH ZAIDIYYAH
 
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah  Husain
wafat,  di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut
memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
seorang   yang  'Alim,  Zahid  (sangat  berhati-hati  dengan
masalah dunia), pemberani,  pemurah,  dan  mau  berjihad  di
jalan  Allah  guna  menegakkan keimaman taat pada agama baik
dia dari putera Hasan atau Husain.
 
Dalam  masalah  kekhilafahan  atau  keimaman,  golongan  ini
rupanya  lebih  moderat.  Mereka  bisa  menerima Imam Mafdul
yakni  imam  yang  dinominasikan,  disamping   adanya   Imam
al-Afdal  atau  imam  yang lebih utama. Pikiran seperti ini,
tentunya karena  pendiri  sekte  Zaidiyyah,  pernah  berguru
kepada  Wasil  ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu,
aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah
sebelum  'Ali  ibn  Abi  Talib. Pendirian tentang [kata-kata
Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping  adanya
seorang  imam  yang  lebih  utama, tampaknya mendapat reaksi
keras dari Syi'ah  Kufah  dan  menolak  pendirian  tersebut.
Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.
 
Sebagaimana  diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa
'Ali ibn Abi Talib  adalah  satu-satunya  orang  yang  lebih
berhak  menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda
paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah  Husain
wafat.  Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor
yang  mewarnai  identitas  kelompok  masing-masing.  Sebagai
contoh  sekte  Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam
mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh  jalan
kekerasan,  sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib
sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi  korban
kecurangan   penduduk   Kufah  karena  kurang  memperhatikan
saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan
saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang  Yusuf
ibn   'Umar   Gubernur  Irak,  Zaid  pun  ditinggalkan  oleh
orang-orang Kufah.24 Sesudah ia  wafat  pada  122H,  jabatan
imam  beralih  kepada  puteranya,  Yahya, yang menyingkir ke
Khurasan.  Kemudian  ia  mengadakan  pemberontakan  terhadap
pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan
nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman dipegang  oleh  Muhammad
ibn    'Abdullah    ibn    Hasan    yang    dikenal   dengan
an-Nafsuz-Zakiyyah,   bersama-sama   dengan   Ibrahim,   dan
keduanya  terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di
Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan
dalam   mengembangkan   ide-ide  doktrinalnya  yaitu  dengan
menyebarkan karya-karya  ijtihad  para  imam  mereka,  tentu
keberadaan  sekte  ini  lebih  berakar dan berpengaruh dalam
masyarakat.
 
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim  di
Basrah,  sekte  Zaidiyyah  ini  sudah tidak terorganisasikan
lagi  sampai  munculnya  Nasir  al-Atrus  yang  menda'wahkan
mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang
kemudian  menjadi  basis  Syi'ah  Zaidiyyah.25   Sebagaimana
sekte-sekte  yang  lain,  golongan  Zaidiyyah pun mengalarni
perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang
menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah.
Pengikutnya memandang  Muhammad  an-Nafsuz-Zakiyyah  sebagai
al-Mahdi.
 
C. SYI'AH IMAMIYYAH
 
Aliran ini menjadikan semua urusan  agama  harus  berpangkal
pada  Imam,  sebagaimana  halnya  kaum  Sunni  mengembalikan
seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran
Nabi.  Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak
boleh  sunyi  dari  imam,  karena  masalah   keagamaan   dan
keduniaan  selalu  membutuhkan  bimbingan  para imam. Bahkan
mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam,
melainkan  menentukan  seorang  imam.  Kebangkitannya adalah
untuk melenyapkan perselisihan dan  menetapkan  kesepakatan.
Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya
sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang
mengakibatkan perpecahan.
 
Aliran  ini  berkeyakinan  bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib
sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas  dan  benar.
Ibn  Khaldun  menjelaskan  bahwa keimaman bagi mereka, tidak
hanya merupakan  kemaslahatan  umum  yang  harus  diserahkan
kepada  ummat  untuk  menentukarrnya,  bahkan imam merupakan
tiang agama dan tatanan Islam yang tidak  mungkin  dilupakan
oleh  Nabi  untuk  menentukannya.  Dan ia harus seorang yang
ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu  sendiri  menurut
mereka,   ada   yang   secara   tegas   dan  ada  pula  yang
samar-samar.26
 
Konsep keimaman mereka, bagi  sekte  Zaidiyyah,  sebagaimana
dijelaskan  Ibn  Khaldun  dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan
seorang  imam  bukan  ditetapkan  oleh  nas,  tetapi  dengan
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang
diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika
Syi'ah  Imamiyyah  menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar,
maka berarti mereka harus menerima paham Sunni,  dan  secara
tidak  langsung mereka harus mengakui pula kekhilafahan Bani
Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni. Oleh
karena  itu,  kekhilafahan  kedua tokoh diatas, harus mereka
tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali  dan
Ahlul-Bait  yang  menjurus  ke  arah kultus individu di satu
pihak, dan kebencian mereka  terhadap  Bani  Umayyah  karena
penindasannya  pada  Ahlul-Bait  di pihak lain, bermula dari
dendam  permusuhan  lama  antara  Bani  Hasyim  dengan  Bani
Umayyah sebelum Islam.
 
Di  sisi  lain,  rupanya  hubungan kaum Mawali Persia dengan
keturunan  Ali  ibn  Abi  Talib,  dengan  cara   menunjukkan
kecintaan    serta   pembelaan   mereka   terhadap   hak-hak
Ahlul-Bait,  tampaknya  menjadi  faktor  penyebab   retaknya
keluarga   Bani   Hasyim.  Perpecahan  itu  ditandai  dengan
lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib  di
satu   pihak,  yang  dikenal  dengan  golongan  Syi'ah,  dan
munculnya Bani 'Abbas di pihak  lain.  Jika  keturunan  'Ali
selalu   gagal   merebut   kekuasaan   politik   pada   masa
pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan  'Abbas,  lewat
Syi'ah   Kaisaniyyah,  berhasil  merebutnya  dan  mendirikan
dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana  diketahui  dalam  sejarah,
untuk  mempertahankan  eksistensi  dan kekuasaannya kelompok
terakhir ini, memandang  kelompok  pertama  sebagai  saingan
politiknya  sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga
penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas  dari  sikap  dan
tindak  kekerasan  terhadap  saudara sesukunya (Bani Hasyim)
seperti yang pernah  dilakukan oleh dinasti Umayyah terhadap
lawan-lawan politiknya.
 
Sebagai  yang  telah  disinggung  diatas,  perpecahan Syi'ah
Imamiyyah bermula dari masalah  siapa  yang  berhak  menjadi
imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu
dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang
sah  pengangkatan  'Ali  ibn  Husain  yang  dijuluki  dengan
Zainal-'Abidin,27  sekalipun  ia  belum  dewasa.  Imam   ini
selamanya  tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H,
dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi  kekerasan  terhadap
penguasa  Bani  Umayyah.  Sekte  ini sesudah 'Ali ibn Husain
wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali  sebagai  Imam,  tetapi
mengangkat  saudaranya  Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia
menduduki jabatan imam tersebut di akhir  masa  pemerintahan
al-Walid,  namun  ia  tetap  tinggal  di Madinah sebagaimana
ayahnya.28 Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang  oleh
puteranya,  Ja'far  as-Sadiq.  Silsilah imam ini, dari jalur
ayahnya sampai kepada Nabi;  sedangkan  dari  jalur  ibunya,
Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya
sebagai guru dan pemikir  besar  di  zamannya,  diakui  oleh
semua pihak yang mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang
ilmu fiqh dan hadis.
 
Sejumlah  muridnya  telah  memberikan  andil   besar   dalam
memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, sepeffi: Abu Hanifah dan
Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama
seperti  Wasil  ibn  'Ata  yang  dikenal  sebagai  tokoh dan
pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli  kimia
yang  masyhur.  Karena  kemasyhurannya  itu,  beberapa tokoh
Syi'ah abad  modern  seperti  Syarafuddin  al-Mu-sawi,  'Ali
Syariati  dan  lain  sebagainya , menunjukkan klaim terhadap
ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan  menerima
pikiran-pikiran  hasil  ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai
mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian,  karya-karya  besar
Imam   ini,   di  perguruan  tinggi  Timur  Tengah,  seperti
Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang  studi
sendiri dalam Ilmu Fiqh.
 
'Ulama'   besar  dari  kalangan  Ahlul-Bait  ini  menyatakan
berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan  ucapan
serta  tindakan  kaum  Syi'ah  Rafidah yang dihubungkan pada
dirinya,   seperti   ucapan   mereka   tentang:   al-Gaibah,
ar-Raj'ah,  al-Bada',  Tanasukh,  Hulul, dan at-Tasybih atau
penyerupaan  Tuhan  dengan  manusia.  Penolakannya  terhadap
kebid'ahan-kebid'ahan  kaum  Syi'ah  dinyatakan dengan tegas
sebagai berikut:
 
"Semoga Allah mengutuk mereka  (kaum  Syi'ah),  sesungguhnya
kami  tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat
kedustaan atas nama kami. Maka  cukuplah  bagi  kami,  Allah
sebagai  pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah
menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."2929
 
Dari uraian diatas, nyatalah  bahwa  tokoh-tokoh  Ahlul-Bait
yang  diangkat  sebagai  Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya
tinggal di Madinah dan mereka  jauh  dari  para  pengikutnya
yang  bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang
pun di antara para Imam  itu  yang  menyimpang  dari  ajaran
Islam,  dan  bahkan  mereka tidak suka menyerang pribadi Abu
Bakr atau 'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh  karena
itu,  sikap  para  Imam yang lurus dan tegas terhadap segala
penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga  sebagai  salah
satu  faktor  yang  menambah  kejengkelan mereka dan sebagai
reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama  baik
imam-imam  mereka  untuk  menguatkan  pendirian  atau  paham
masing-masing. Tidak mustahil,  jika  kaum  Syi'ah  kemudian
mendirikan   sub-sub  sekte  yang  ekstrem  dengan  menyerap
ajaran-ajaran  non-Islam   dan   kemudian   mereka   membuat
cerita-cerita  fiksi  tentang  kehebatan  dan  keluarbiasaan
imam-imam mereka.
 
                                            (bersambung 6/8)
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team