Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PENDAHULUAN                                            (1/2)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
Manusia sebagai makhluk berakal dan beragama tetap  memiliki
kebebasan  berkehendak  untuk  menyatakan  pikiran, ide, dan
menentukan jalan hidupnya. Dalam kaitan ini  Islam  menjamin
kebebasan  tersebut  dengan  suatu  pertanggungjawaban dalam
arti yang sebenarnya.
 
Akidah tauhid yang merupakan sokoguru  kesatuan  bagi  ummat
Muslim  yang diliputi oleh suasana persaudaraan, sejak zaman
Nabi SAW.,  menjadi  goyah  terutama  menjelang  berakhirnya
dekade   kedua   masa   Khulafa'ur-Rasyldin  yaitu,  diakhir
pemerintahan  Khalifah  'Usman  ibn  'Affan.   Sebab   utama
goyahnya  kesatuan  ummat  Muslim  tersebut, berpangkal pada
pertikaian  politik   yang   bercorak   keagamaan   diantara
kelompok-kelompok  Muslim  yang  sedang  bersaing. Peristiwa
tersebut  merupakan  awal  masa  desintegrasi   yang   dalam
perkembangan   selanjutnya,   terutama  sesudah  terbunuhnya
Khalifah ketiga, benar-benar mendorong  lahirnya sekte-sekte
dalam  Islam  dengan  doktrin atau ajaran masing-masing yang
berbeda-beda.
 
Kambuhnya semangat fanatisme golongan  di  satu  pihak,  dan
munculnya  sikap  kultus individu terhadap diri 'Ali ibn Abi
Talib dan  Ahl  al-Bait  di  pihak  lain,  tampaknya  sangat
berpengaluh  terhadap  lahirnya  doktrin teologi kaum Syi'ah
dalam  penalaran  sejarahnya.  Kekalahan  mereka  di  bidang
politik  dan  militer,  selama pemerintahan Bani Umayyah dan
Bani 'Abbasiyyah, yang menyebabkan  banyak  di  antara  para
imam mereka menjadi korban politik, rupanya merupakan faktor
penting yang mendorong lahirnya ide atau mitos tentang  Imam
Mahdi atau al-Mahdi al-Muntazar.
 
Keanekaragaman aspirasi politik dan doktrin yang dibawa oleh
berbagai sekte dalam Islam itu,  berdampak  negatif  sebagai
akibat  terjadinya  akulturasi budaya dan keyakinan, sesudah
meluasnya  daerah  kekuasaan  Islam.  Rupanya  al-Quran  dan
Sunnah  Rasul  tidak  lagi  dijadikan  sebagai  rujukan oleh
sekian banyak aliran yang  muncul  waktu  itu  guna  mencari
titik  temu . Akan tetapi sebaliknya, justru keduanya mereka
jadikan sebagai dasar untuk menguatkan  doktrin  atau  paham
mereka  masing-masing.  Sikap  demikian ini mendorong mereka
kepada tindakan-tindakan yang ekstrem dan permusuhan  dengan
sesama Muslim,  sebagaimana  yang  pernah    dilakukan  oleh
golongan  Syi'ah  maupun  Ahmadiyah  dalam  mewujudkan   dan
menyebarkan ide serta pengaruh mereka masing-masing.
 
Paham  Mahdi  atau  Mahdiisme,  sebagaimana  diketahui dalam
sejarah, adalah ajaran yang meyakini akan datangnya  seorang
tokoh  Juru  Selamat atau Messiah pada ummat yang tertindas,
akibat  merajalelanya  kezaliman   penguasa.Tokoh   tersebut
dikenal  sebagai  al-Mahdi  yang ditunggu-tunggu. Paham yang
millenaristis ini, juga pernah  muncul di Indonesia  sekitar
abad XIX - abad XX, khususnya di Jawa pada masa pemerintahan
kolonial  Belanda.  Tokoh  gerakan  tersebut  oleh  sebagian
masyarakat  Jawa dikenal pula dengan nama Ratu Adil.1 Dengan
demikian, corak gerakan Mahdiisme  dapat  dikatakan  sebagai
modus  gerakan  masyarakat  belum  maju yang tertindas serta
mengalami perubahan tata sosial yang drastis untuk melakukan
protes  sosial  terhadap penguasa yang lalim guna memperoleh
kejayaan mereka kembali. Lahirnya Mahdiisme juga bermula dan
protes-protes  sosial sebagai akibat pergolakan politik yang
didorong oleh ambisi ingin  merebut  kekuasaan  dari  sekian
banyak kelompok Muslim yang saling bermusuhan pada permulaan
sejarahnya.
 
Dari serangkaian  kegagalan  pemberontakan  bersenjata  yang
dimotori  oleh  kaum  Syi'ah  selama  kurang  lebih dua abad
lamanya,  mereka   mengalami   kekecewaan   yang   mendalam,
kekalahan   serta  penderitaan  yang  beruntun,  dan  selalu
menjadi korban kekerasan lawan-lawan  politiknya.  Disamping
itu, tidak sedikit di antara para imam mereka menjadi korban
kekerasan politik;  dan  ini  menyebabkan  kecintaan  mereka
kepada  imam-imam tersebut semakin mendalam. Keadaan seperti
inilah yang menyebabkan kaum Syi'ah mudah  mencerna  'aqidah
ar-raj'ah  dan masalah al-gaibah, dua masalah yang tampaknya
merupakan faktor dominan dalam mempercepat  proses  lahirnya
sikap  menunggu-nunggu  kehadiran  kembali  para imam mereka
yang telah wafat atau yang tidak mereka akui kematiannya.
 
Kepercayaan seperti ini  tidak  dikenal  oleh  ummat  Muslim
sebelumnya.  Oleh karena itu, doktrin Mahdiisme, yang semula
lahir sebagai  penggerak  gerakan  keagamaan  yang  bersifat
politis,    berkembang    menjadi   doktrin   teologi   yang
eskatologis. Paham Mahdiisme ini  semakin  luas  pengaruhnya
dan  bahkan  akhirnya  menjadi  milik  berbagai aliran dalam
Islam.
 
Paham Mahdi semula muncul di  kalangan  Syi'ah  Kaisaniyyah,
aliran  ini berkeyakinan bahwa Muhammad ibn Hanafiyah adalah
al-Mahdi al-Muntazar. Menurut keyakinan  mereka,  dia  masih
hidup  dan  tinggal di bukit Radwa, dan kehadirannya kembali
senantiasa  mereka  tunggu   Dalam   hubungan   ini   timbul
pertanyaan, mengapa paham Mahdi ini tidak tumbuh di kalangan
kaum Khawarij? Jawaban terhadap pertanyaan ini cukup  jelas:
bahwa  kaum  Khawarij  tidak  mengenal 'aqidah ar-raj'ah dan
al-gaibah, sekalipun sekte  tersebut  juga  mengalami  nasib
yang sama dengan nasib kaum Syi'ah.
 
Selanjutnya  paham  Mahdi  ini  pun muncul di kalangan sekte
Syi'ah al-Jarudiyyah.  Para  pengikut  keyakinan  sekte  ini
selalu  menunggu kehadiran kembali imam mereka, Muhammad ibn
'Abdullah,    atau    yang    dikenal     dengan     sebutan
an-Nafsuz-Zakiyyah, sebagai al-Mahdi.
 
Di kalangan Syi'ah Imamiyyah, terdapat dua kelompok pengikut
paham  Mahdi  yang  besar  pengaruhnya  dan  terkenal  dalam
sejarah,  yaitu  sekte  Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh) atau
yang  dikenal  dengan  Syi'ah   Isma'iliyyah   atau   Syi'ah
Batiniyyah,  dan kedua adalah sekte Isna 'Asyariyyah (Syi'ah
Duabelas).  Dalam  merealisasikan  ide  kemahdiannya   kedua
aliran  tersebut  tampaknya  terdapat  perbedaan  yang cukup
menonjol. Jika kemahdian Syi'ah Isma'iliyyah lebih  bersifat
realistis,  maka  kemahdian  Syi'ah  Isna  'Asyariyyah lebih
bersifat  idealis.  Menurut  sekte  yang  disebut   pertama,
al-Mahdi  itu  telah  mengejawantah  pada  diri Abdullah ibn
Muhammad, dan ia berhasil  membentuk  dinastinya  di  Magrib
(Afrika),   sedangkan  menurut  sekte  yang  disebut  kedua,
al-Mahdi  itu  terjelma  pada  diri   Muhammad   ibn   Hasan
al-'Askari  (Imam  keduabelas)  sesudah ia dinyatakan hilang
secara  misterius   dan   dinyatakan   pula   sebagai   yang
ditunggu-tunggu tanpa batas waktu tertentu.
 
Paham Mahdi yang pernah  berkembang di Indonesia lebih mirip
dengan paham Mahdi Syi'ah daripada  paham  Mahdi  Ahmadiyah.
Menurut  aliran  terakhir  ini, al-Mahdi dan al-Masih adalah
satu pribadi yang terjelma pada  diri  Mirza  Ghulam  Ahmad,
pendiri aliran tersebut. Selain itu, ia juga mengaku sebagai
jelmaan Krishna.  Aliran  ini  berpendapat  bahwa  kehadiran
al-Mahdi  didasarkan  atas  pengangkatan  dari Tuhan melalui
jalan ilham atau mukasyafah (terbukanya tirai alam gaib).
 
Pengalaman  Mirza  Ghulam  Ahmad  tersebut  oleh   sementara
pengikutnya  diinterpretasikan  sebagai  wakyu.  Asumsi  ini
tampaknya dibenarkan oleh Mirza, karena itu wahyu  dipandang
masih  terbuka  sepanjang  zaman,  asalkan syari'atnya tetap
mengikuti syari'at Nabi  Muhammad  SAW.  Demikian  pandangan
aliran  Ahmadiyah Qadian terhadap diri Mirza. Berbeda dengan
aliran Ahmadiyah Lahore, mereka memandangnya  hanya  sebagai
mujaddid  abad  ke-14  H, dan ia bukan nabi hakiki. Sebab ia
hanya merjerima  wakyu  tajdid  atau  wahyu  walayah  (wahyu
kewalian),  bukan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Sekalipun
demikian, aliran kedua ini, secara implisit  masih  mengakui
Mirza  Ghulam Ahmad sebagai nabi, yakni nabi secara lugawi.2
Tugas kemahdian dan kemasihan Mirza  memang  dapat  dijumpai
dalam  berbagai  literatur  dan  diuraikan secara jelas baik
oleh Mirza sendiri maupun oleh para pengikutnya. Akan tetapi
dapat   dikatakan   langka   uraian  yang  menyangkut  tugas
kekrishnaannya, sebagai yang pernah  dinyatakan  pada  1904,
bahwa  dirinya  adalah penjelmaan Krishna. Jika pengakuannya
sebagai  Krishna  adalah  atas  dasar   wahyu   maka   sulit
dibuktikan  kebenarannya  baik secara literal maupun melalui
tanda-tanda alamiah.  Dengan  demikian,  ummat  Muslim  yang
non-Ahmadiyah,  tentunya  sulit menerima kebenaran pengakuan
tersebut.
 
Sebagaimana diketahui, tugas kemahdian dan  kemasihan  Mirza
memang  berbeda dengan tugas kemahdian dalam Syi'ah. Menurut
Paham Syi'ah, al-Mahdi dikenal pula dengan  al-Qa'im  (orang
yang  bangkit untuk menuntut balas terhadap musuh-musuhnya),
sehingga kepercayaan terhadap al-Mahdi ini merupakan  faktor
pendorong   bagi   perjuangan   kaum  Syi'ah  untuk  merebut
kekuasaan politik  dan  untuk  menegakkan  pemerintah  Islam
sesuai   dengan   aspirasi   mereka.  Berbeda  dengan  tugas
kemahdian   menurut   Ahmadiyah,   disini   al-Mahdi   ingin
menegakkan  Islam  diatas  semua  agama,  dan  karenanya dia
dikenal pula dengan sebutan Hakim Pengislah,  yang  bertugas
mendamaikan  ummat  Muslim  seluruhnya dan mengislamisasikan
yang lain tanpa jalan kekerasan.
                                            (bersambung 2/2)
                                             
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team