Faham Mahdi Syi'ah dan
Ahmadiyah dalam Perspektif

oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
PENUTUP
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
 
Ummat Islam dalam perjalanan sejarahnya,  benar-benar  telah
mengalami  perpecahan  yang  cukup serius. Peristiwa Saqifah
yang merangsang kambuhnya  penyakit  fanatisme  kekabilahan,
adalah  gejala  awal  dari  suatu  proses  disintegrasi yang
bertolak dari  perebutan  kekuasaan  politik  yaitu  masalah
kekhilafahan.
 
Munculnya  kelompok  yang  ambisius,  sebagai yang dilakukan
oleh  putera-putera   Umayyah,   lebih   berorientasi   pada
kepentingan  pribadi  dan  duniawi,  justru merupakan faktor
yang mempercepat proses perpecahan ummat Islam yang  semakin
meluas.  Sebagaimana  kenyataan  dalam  sejarah,  perpecahan
tersebut bermula dari perpecahan  politis,  tetapi  kemudian
berubah menjadi perpecahan yang bersifat teologis.
 
Luasnya  daerah kekuasaan Islam, keluar dari Jazirah Arabia,
membawa dampak baru  dalam  kehidupan  sosio-kultural  ummat
Islam.  Proses  akulturasi kebudayaan dan kepercayaan antara
Islam dan non-Islam, mendorong berbagai macam inovasi akidah
yang  sulit  dihindarkan.  Dan diantara kelompok Muslim yang
terparah  dalam  menghadapi   perpecahan   tersebut   adalah
golongan  Syi'ah.  Karena golongan ini bersikap amat terbuka
terhadap  masuknya  berbagai  macam  aspirasi   budaya   dan
keagamaan, dengan demikian, aliran ini merupakan tempat yang
paling aman bagi musuh-musuh Islam yang ingin meruntuhkannya
dari dalam.
 
Diantara   sekte-sekte   Syi'ah   terpenting   ialah  Syi'ah
Kaisaniyyah,  Imamiyyah,  dan  Syi'ah  Zaidiyyah.  Timbulnya
berbagai  kepercayaan  yang aneh di kalangan sekte-sekte ini
merupakan bukti nyata tentang  adanya  pengaruh  paham  atau
kepercayaan  yang  non-Islam seperti: masalah imamah, aqidah
ar-raj'ah, masalah gaibah, dan Mahdiyyah. Sekte yang  paling
konsisten   dengan   Islam  dan  lebih  dekat  dengan  paham
Ahlus-Sunnah, hanyalah Syi'ah Zaidiyyah,  bila  dibandingkan
dengan sekte-sekte Syi'ah lainnya.
 
Sekte   Imamiyyah   adalah  sekte  yang  banyak  mendapatkan
pengaruh dari berbagai kepercayaan keagamaan di luar  Islam,
seperti yang dialami oleh Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sedangkan
yang terparah adalah Syi'ah  Isma'iliyyah  atau  Batiniyyah,
dan  yang  telah  keluar  dari  jalur  Islam adalah golongan
Kaisaniyyah.  Faktor  lain  yang  menyebabkan  kaum   Syi'ah
menyimpang  begitu  jauh  dari  Islam adalah bahwa imam-imam
yang  mereka  angkat  dari  keturunan  'Ali,  hanya  sebagai
lambang  saja.  Mereka tidak memimpin atau mengorganisasikan
langsung para pengikutnya, bahkan  sebagian  besar  diantara
mereka  hidup  di  Madinah dan tetap konsisten dengan ajaran
Islam serta jauh dari kaum pendukungnya.
 
Paham Mahdi rupanya telah tersebar luas  di  kalangan  ummat
Islam; tidak hanya di kalangan Syi'ah. Namun karena kalangan
Syi'ah mengalami banyak kekecewaan yang  mendalam,  mendapat
kekalahan beruntun dari lawan-lawan politiknya dan banyak di
antara imam-imam mereka menjadi  korban  kekerasan  politik,
maka  al-Mahdi  mulai  mereka  interpretasikan sebagai tokoh
legendaris yang penuh karisma.  Dia  akan  datang  di  akhir
zaman  untuk  memimpin  dunia  Islam  yang adil dan membasmi
kezaliman. Padahal pengertian  seperti  ini  tidak  terdapat
baik  dalam al-Quran maupun dalam kitab Sahih Bukhari maupun
Sahih Muslim.
 
Apabila orang dengan jeli melihat  para  perawi  hadis-hadis
Mahdiyyah  yang  terdapat  dalam kitab Kitab Sunan, dia akan
merasa   sulit   untuk   menerima   hadis-hadis   Mahdiyyah.
Muktazilah  dan  Syi'ah Zaidiyyah tidak mengenal paham Mahdi
yang  erat  kaitannya   dengan   masalah   imamah,   'aqidah
ar-raj'ah, dan masalah al-gaibah.
 
Al-Mahdi bagi kaum Syi'ah merupakan keyakinan yang prinsipal
sebagaimana  bagi  kaum  Ahmadiyah,  terutama   dari   sekte
Qadiani.   Perbedaannya,  tokoh  Mahdi  menurut  sekte  yang
disebut terakhir ini berasal dari Persia, yaitu Mirza Ghulam
Ahmad  yang  mengaku  sebagai  Imam  Mahdi,  al-Masih, serta
Krishna dan bahkan dilambangkan sebagai Hakim Pengislah.
 
Versi kemahdian dua aliran diatas, membawa  corak  kemahdian
yang  berbeda.  Mahdiisme  Syi'ah lebih bersifat politis dan
mengarah pada tindakan  balas  dendam  terhadap  lawan-lawan
politiknya.  Oleh  karena itu, pengikut paham Mahdi di Iran,
tampaknya merasa kurang senang terhadap  kepemimpinan  Islam
di  tangan  bangsa  Arab,  karena  bangsa Iran merasa pernah
diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua pada masa  dinasti
Umayyah.   Oleh   karenanya   al-Mahdi  yang  mereka  yakini
dilambangkan  sebagai  al-Qa'im  yang  akan  bangkit   untuk
mengadili  dan  menghukum  musuh-musuhnya  dari bangsa Arab.
Sedangkan corak kemahdian  Ahmadiyah  bersifat  pembaharuan.
Tampaknya mereka terus berupaya mewujudkan ide kemahdiannya,
terutama  di  kalangan  Kristen  Barat,  dengan  menunjukkan
kebenaran  Islam melalui berbagai media cetak. Rupanya Tokoh
Mahdi Ahmadiyah berkeyakinan bahwa untuk mempersatukan ummat
beragama  dan  menjauhkannya  dari sikap permusuhan diantara
mereka, hanyalah dengan jalan membawa mereka ke dalam  Islam
dengan menunjulckan bukti-bukti kekeliruan agama mereka.
 
Setiap   pembaharuan   terutama   di   kalangan   masyarakat
tradisional, tidaklah berjalan  secara  mulus,  sebab  tokoh
pembaharunya  harus mengubah pikiran masyarakat, agar mereka
mau menjadi  pendukung  dan  pelaksana  ide  pembaharuannya.
Mahdi  Ahmadiyah  yang tampil sebagai Mujaddid abad ke-14 H,
rupanya membawa pemikiran  yang  menimbulkan  kesalahpahaman
yang  cukup  serius diantara sesama Muslim, sehingga terjadi
saling mengkafirkan satu sama lain. Term-term keagamaan yang
dipakainya justru merupakan sesuatu yang sangat sensitif dan
tabu untuk dibicarakan sehingga mengundang reaksi yang cukup
keras, seperti istilah menerima wahyu, mengaku menjadi nabi,
penjelmaan al-Masih ibn Maryam dan lain sebagainya.
 
Sekalipun demikian, Ahmadiyah Lahore  ternyata  lebih  dekat
dengan  golongan  Sunni,  bila dibandingkan dengan Ahmadiyah
Qadian. Sekte ini masih tampak relatif lebih  baik  daripada
sekte-sekte Syi'ah lain selain Zaidiyyah.
 
Bagaimanapun  alasan  yang  hendak dikemukakan oleh penganut
paham Mahdi, penulis berpendapat bahwa landasan idiil  paham
ini  pada  dasarnya  bermula  dari  keinginan-keinginan kaum
Syi'ah untuk bangkit  merebut  kekuasaan  politik  di  dunia
Islam  sesudah  mereka  mengalami kekecewaan mendalam akibat
kekalahan yang beruntun. Perumusan ide  sentral  Syi'ah  ini
diwarnai oleh unsur-unsur keyahudian, kenasranian, dan unsur
kepersiaan sehingga terbentuklah paham  Mahdi  seperti  yang
dikenal   sekarang   ini,  kemudian  diciptalah  hadis-hadis
Mahdiyyah.  Hadis-hadis  Mahdiyyah  tersebut  penuh   dengan
pernyataan   yang   kontroversial,  tetapi  kemudian  dicari
relevansinya dengan ayat-ayat al-Quran yang  mereka  pandang
tepat,  baik  oleh  kelompok  Syi'ah sendiri maupun golongan
Ahmadiyah. Oleh karena  itu,  hadis-hadis  Mahdiyyah  tampak
lebih  mencerminkan identitas dan kepentingan kelompok Islam
tertentu  daripada  mencerminkan  idealisme   Islam   secara
universal.
 
Dalam mengoperasikan paham Mahdi ini, masing-masing kelompok
mempunyai pandangan yang  berbeda  tentang  siapa  sebenamya
tokoh  Mahdi  itu? Di kalangan Syi'ah dan Ahmadiyah terdapat
gambaran  yang  sangat  kontras.  Di   satu   pihak   Syi'ah
menggambarkannya  sebagai  pemimpin yang otoriter tetapi, di
pihak  lain,  Ahmadiyah  menggambarkannya  sebagai  pemimpin
pembaharuan  yang  santun  dan  tidak  suka  menempuh  jalan
kekerasan dalam menghadapi lawan-lawannya. Akan tetapi tepat
kiranya  jika  gambaran tersebut dikembalikan pada arti kata
"al-Mahdi" itu sendiri, yakni orang yang  telah  mendapatkan
petunjuk  dan  berinisiatif  untuk menunjukkan orang lain ke
jalan yang benar. Dengan perkataan lain, ia  adalah  mubalig
Islam    yang    tangguh    dan   mampu   menegakkan   Islam
ditengah-tengah masyarakat yang telah rusak.
 
Penyebaran isu al-Mahdi diawal kemunculannya  adalah  sangat
efektif,  terutama  di  kalangan  masyarakat  awam.  Melalui
berbagai kegiatan isu itu berpengaruh sehingga  terbentuklah
paham  Mahdi  ditengah  masyarakat  luas. Paham ini kemudian
dianggap dan,  bahkan,  dijadikan  keyakinan  yang  memiliki
dasar-dasar otentik.
 
Sekalipun  demikian,  paham  Mahdi  adalah salah satu faktor
yang dapat digunakan untuk memotivasi dan membakar  semangat
perjuangan  guna  menegakkan  Islam  dan  kemerdekaan  ummat
tertindas, seperti yang pernah terjadi di Jawa khususnya  di
zaman kolonial Belanda. Dan paham semacam ini, sewaktu-waktu
tetap akan dimanfaatkan oleh masyarakat Islam untuk  melawan
kezaliman  atau  penjajahan, apabila kondisinya memungkinkan
untuk itu. Asal saja paham tersebut tidak dijadikan  sebagai
prinsip  keyakinan,  sehingga  orang  tidak  akan  dikatakan
sebagai pencipta atau pengikut bid'ah akidah.
 
Berkaitan  dengan  paham  kewahyuan  Syi'ah  dan  Ahmadiyah,
rupanya   tidak   jauh  berbeda.  Sekiranya  ada  perbedaan,
perbedaan itu tidak dapat dikatakan prinsipal. Demikian pula
halnya  dalam  doktrin  kenabiannya. Bahkan konsep kewahyuan
dan kenabian dalam Ahmadiyah  tampaknya  banyak  dipengaruhi
oleh ajaran Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Namun demikian golongan
Ahmadiyah,  berbeda  dengan  sekte  Syi'ah,  tetap  dianggap
sebagai  sekte  baru  dari  golongan Sunni, sekalipun mereka
telah dipandang keluar dari Islam dan tidak  diakui  sebagai
sekte golongan Sunni itu sendiri.
 
Kedua  golongan  tersebut  memandang  al-Mahdi sebagai tokoh
karismatik yang harus diyakini sebagaimana meyakini  seorang
rasul  atau  nabi.  Dan  mereka  juga  memandang hadis-hadis
Mahdiyyah sebagai hadis mutawatir (otentik)  meskipun,  jika
dikaji  secara  selektif  dan  dilihat  dari  aspek  sejarah
perkembangan paham Mahdiisme, hadis-hadis Mahdiyyah tersebut
adalah palsu adanya.
 
Untuk   itu,   diharapkan   agar  ummat  Islam  tidak  mudah
terpengaruh oleh slogan-slogan Mahdiisme yang  kadang-kadang
dimanfaatkan   oleh   orang-orang  yang  kurang  atau  tidak
bertanggung  jawab.  Apalagi  jika  slogan-slogan  Mahdiisme
tersebut   dijadikan   sarana  untuk  mengadakan  perlawanan
terhadap  pemerintahan  yang  sah,   yang   melindungi   dan
menghormati agama dan kehidupan beragama dan khususnya agama
Islam. Demikian pula diharapkan  agar  lembaga-lembaga  atau
organisasi-organisasi  Islam  yang bergerak di bidang sosial
keagamaan tetap waspada dan  berhati-hati  dalam  menghadapi
semacam gerakan Mahdiisme yang berbau politik.
 
Dengan  demikian,  ummat  Islam akan hidup dengan tenang dan
tidak    mudah    terbawa    atau    terseret    ke    dalam
pergolakan-pergolakan  yang  akan merugikan diri sendiri dan
ummat Islam pada  umumnya.  Demikian  pula  hendaknya  ummat
Islam tidak mudah terpancing dan dilibatkan oleh pihak-pihak
yang ingin mempertentangkan penguasa  dengan  kaum  Muslimin
Indonesia.   Semoga   kiranya   buku   ini  dapat  dirasakan
manfaatnya secara luas oleh para pembacanya.
 
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team