Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (3/3)

Ushul al-Fiqh (II)

Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk Kitab Suci, Sunnah Nabi, Ijma' dan Qiyas sebagai sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga digunakan untuk menunjuk kepada metode pemahaman hukum itu seperti dikembangkan oleh al-Syafi'i. Ushul al-fiqh dalam pengertian ini dapat dipandang sebagai sejenis filsafat hukum Islam karena sifatnya yang teoretis. Ia membentuk bagian dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun di atas dasar prinsip rasionalitas dan logika tertentu. Karena pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan beberapa rumus terpenting berkenaan dengan hukum dalam Islam:Segala perkara tergantung kepada maksudnya.

  1. Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
  2. Yang diketahui dengan pasti tidak dapat hilang dengan keraguan.
  3. Pada dasarnya sesuatu yang telah ada harus dianggap tetap ada.
  4. Pada dasarnya faktor aksidental adalah tidak ada.
  5. Sesuatu yang mapan dalam suatu zaman harus dinilai sebagai tetap ada kecuali jika ada petunjuk yang menyalahi prinsip itu.
  6. Kesulitan membolehkan keringanan.
  7. Segala sesuatu bisa menyempit, meluas, dan sebaliknya.
  8. Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang.
  9. Keadaan darurat harus diukur menurut sekadarnya.
  10. Sesuatu yang dibolehkan karena suatu alasan menjadi batal jika alasan itu hilang.
  11. Jika dua keburukan dihadapi, maka harus dihindari yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih kecil bahayanya.
  12. Menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kebaikan.
  13. Pembuktian berdasar adat sama dengan pembuktian berdasar nas.
  14. Adat dapat dijadikan sumber hukum.
  15. Sesuatu yang tidak didapat semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya.
  16. Ada-tidaknya hukum tergantung kepada illat (alasan)-nya.[28]

Penutup

Telah disebutkan pada bagian permulaan bahwa ilmu fiqh adalah cabang disiplin keilmuan tradisional Islam yang paling banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Muslim dan pemahaman mereka kepada agama mereka. Karena itu literatur dalam ilmu fiqh adalah yang paling kaya dan paling canggih.

Disebabkan oleh kuatnya orientasi fiqh itu maka masyarakat Islam dimana saja mempunyai ciri orientasi hukum yang amat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional, dan itu pada urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum dan aturan di kalangan orang-orang Muslim. Disebutkan bahwa salah satu yang menarik pada agama Islam sehingga orang-orang Muslim dalam pergaulan sehari-hari (mu'amalat) sangat mementingkan kepastian hukum, sehingga terdapat keteraturan dan predictability. Ini khususnya penting di kalangan masyarakat perdagangan.[29]

Selanjutnya, beberapa unsur cita-cita pokok Islam berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak pada ilmu fiqh. Prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) tampil kuat sekali dalam ilmu fiqh, dalam bentuk penegasan atas persamaan setiap orang di hadapan hukum. Maka terkait dengan itu juga prinsip keadilan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan ilmu tasawuf, khususnya yang berbentuk gerakan tarekat atau sufisme populer, yang sering memperkenalkan susunan sosial yang hirarkis, dengan otoritas keruhanian pimpinan yang menegaskan. Ilmu fiqh juga mempunyai kelebihan atas ilmu kalam, apalagi falsafah, dalam hal bahwa orientasi alamiahnya (praxis) sangat ditekankan. Sementara kalam dan falsafah sangat teoretis, malah spekulatif. Karena itu banyak gerakan reformasi sosial dalam Islam yang bertitik tolak dari doktrin-doktrin fiqh.

Tetapi, disebabkan oleh wataknya sendiri, ilmu fiqh menunjukkan kekurangan, yaitu titik beratnya yang terlalu banyak kepada segi-segi lahiriah. Di bidang keagamaan, eksoterisisme ini lebih-lebih merisaukan, sehingga muncul kritik-kritik, khususnya dari kaum Sufi. Tapi orientasi kedalaman (esoterisisme) kaum Sufi juga sering merisaukan, karena tidak jarang terjerembab ke dalam intuisisme pribadi yang sangat subyektif. Maka agaknya benarlah al-Ghazali yang hendak menyatukan itu semua dalam suatu disiplin ilmu keagamaan yang menyeluruh dan padu.

CATATAN

1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional itu masing-masing dapat diidentifikasikan sebagai berikut: ilmu fiqh merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah) agama, yaitu terutama aspek hukum dari amalan keagamaan. Para ahli fiqh juga disebut ahl al-dhawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf memperhatikan segi-segi esoteris (kedalaman, kebatinan), dan para ahli tasawuf disebut ahl al-bawathin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi-segi rasional, namun tetap lebih mengutamakan wahyu, sedangkan falsafah menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada metode interprestasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yang diterima hampir universal di kalangan orang-orang Muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu mantiq (lengkapnya, 'ilm al-manthiq al-aristhi). Al-Ghazali pun, yang terkenal telah berusaha merubuhkan falsafah, menaruh kepercayaan besar kepada ilmu mantiq ini.

2 Seperti halnya dengan Nabi Musa a.s. dan beberapa Nabi yang lain, Nabi Muhammad dikenal dalam sosiologi agama sebagai "nabi bersenjata" (armed prophet). Tapi jauh melampaui "prestasi" Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang dirampungkan oleh Nabi Musa dan generasi berikutnya sampai Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang beberapa tahun saja sesudah itu wilayah kekuasaan politik Islam meluas sampai meliputi daerah inti peradaban manusia saat itu.

3 Salah satu yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia dan mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena berita-berita yang telah beredar saat-saat terakhir hidup Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan yang sangat besar di perbatasan utara untuk menghancurkan masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya, Rasulullah s.a.w. telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi yang dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam wasiat yang harus dilaksanakan, dan itulah permulaan sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi selanjutnya.

4 Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam sebuah firman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.

5 Ini bisa dipahami dari firman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi) sedapatdapatku."

6 Hadits yang terkenal mengatakan, "Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama."

7 Q. s. al-Tawbah/9:122," Maka hendaknyalah pada setiap golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar mereka semuanya waspada." Dan waspada dalam hal ini, seperti taqwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.

8 Sebuah Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."

9 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/ 1968 M), j. 1, h. 13.

10 Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388 H/1968 M, cetakan kelima), h. 15

11 Lihat catatan 1 di atas.

12 Di antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh ialah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), h. 18.

13 Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umawi dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para agamawan itu. Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap memihak kepada golongan Sunni, kaum Abbasiyah tak berbeda dari kaum Umawiyah, tapi yang tersebut terdahulu itu menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fiqh.

14 Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum Syi'ah), kaum Umawiyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.

15 Kutipan dari Kitab al-Kharaj akan memberi gambaran yang jelas tentang nuktah ini:

"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal itu semua dan kujabarkan.

Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah sebesar-besar siksa. Allah telah meletakkan padamu urusan umat ini, maka engkau diwaktu pagi maupun petang membangun untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu. Dan suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain taqwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya seizin Allah ..." Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim, Kitab al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H, h. 3).

16 Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 mO, h. 90-91.

17 Ibid., h. 93.

18 Ibid., h. 93-94.

19 Majallat Kulliyyat al-Dirasat al-Islamiyyah (Baghdad: Mathb'at al Irsyad) NO. 2, 1388 H/1968 M, h. 119-120.

20 Azami, Early Hadith, h. 24, mengutip dari Rasyid Ridla, Review on Early Compilation, al-Manar, x, 767.

21 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.

22 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.

23 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 765-6.

24 Lihat Azami, h. 25, dan bab III untuk pembahasan ini.

25 Kritik terhadap pembukuan Hadits juga dilakukan oleh antara lain Chirargh 'Ali dari anak benua India, juga oleh para orientalis seperti Joseph Schacht yang banyak mengundang reaksi dari para sarjana Muslim disebabkan baik metodologi maupun kesimpulannya yang terlalu jauh.

26 Lihat antara lain Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Qiyas fi al-Syar' al-Islami (Kairo: Mathba'at al-Salafiyyah, 1346 H).

27 Lihat Ibn Taimiyyah, al-Muntaqa min Mintaj al-I'tidal (ringkasan. Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah yang dibuat oleh al-Dzahabi) (Kairo: Mathb'at al-Salafiyyah, 1374 H), h. 66-7.

28 Lihat Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah, h. 16-18.

29 Banyak buku tentang ushul al-fiqh ditulis para ahli, antara lain yang amat praktis oleh Abd al-Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyyah (Padang-Panjang). Juga bisa disebut karya yang lebih teoritis oleh 'Abd al-Wahhab al-Khallaf, 'Ilm Ushu al-Fiqh (Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyyah, 1388 H/1968 M). Tentu saja dari masa klasik ialah karya al-Syafi'i, al-Risalah (lih. terjemah Indonesianya).

(sebelum)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team