Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(2/2)

Plus-Minus Ilmu Kalam

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.

Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[11]

(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).

Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:

Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara

(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).

Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:

... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.[12]

(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:

... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut"[14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[15]

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.

Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[17] Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).[18]

Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[19] Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "fithrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.[20]

Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[21]

Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.[22]

CATATAN

1 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4, h. 237.

2 Ibid, hh. 12-13.

3 Ibid, h. 110.

4 Ibid.

5 Ibid., jil. 1, hh. 344 dan 345.

6 Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185.

7 Minhaj, jil. 1, h. 344.

8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada arti "orang yang banyak bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, hh. 205-206).

9 Berkenaan dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell Smith dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (tempat banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar, termasuk, Prof. H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran Sunni, dengan paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an dalam Islam itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau Yesus Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah (Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia ini "Tuhan"), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi Muhammad, adalah "rasul"). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh. 17-18 fn). Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan tidak perlu dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi Thalib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri.

10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam "liberalisme" Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi "liberalisme" dan kebebasan itu, khususnya kaum "fundamentalis" (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih "kaum sampah" karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.

11 Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data penerbitan), hh. 27-28.

12 Ibid., hh. 149-151.

13 Minhaj, jil. 1, h. 172.

14 Ibid., h. 170.

15 Ibid.

16 Lihat kajian kita tentang "Interprestasi Metaforis" yang telah lalu.

17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h. 25,164 dan 202.

18 Minhaj, jil. 1, hh. 243 dan 245.

19 Ibid., hh. 281 dan 291.

20 Naqdl al-Manthiq, hh. 38, 39, 171, 160-162, dan 172.

21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.

22 Naqdl al-Manthiq, h. 34.

(sebelum)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team