Islam, Doktrin dan Peradaban

oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

       DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF    (1/3)
            (Letak dan Peran Mistisisme dalam
               Penghayatan Keagamaan Islam)
                oleh Dr. Nurcholish Madjid
 
Dalam sebuah hadits, Rasulullah  s.a.w.  disebutkan  sebagai
bersabda  bahwa  masa  kenabian  (nubuwwah)  dan rahmat akan
disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat  nubuwwah)
dan  rahmat,  sesudah  itu  masa kerajaan (mulk) dan rahmat,
kemudian masa kerajaan (saja).1  Ibn  Taymiyyah  menjelaskan
bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa
Nabi sendiri.  Sedangkan  masa  "kekhalifahan  kenabian  dan
rahmat"  berlangsung  selama  tiga puluh tahun sesudah wafat
Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan  kekhalifahan  Abu  Bakr,
disusul  Umar  ibn  al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan,
dan  akhirnya  'Ali  ibn  Abi  Thalib.  Mereka  adalah  para
pengganti  (khalifah)  Nabi  yang kelak dikenal sebagai para
khalifah   yang   berpetunjuk   (al-khulafa    al-rasyidun).
Sedangkan  masa  para  khalifah  yang  empat itu adalah masa
"kerajaan dan rahmat."
 
Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn  Taymiyyah,
yang  terbaik  ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di
Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-raja
tidak  ada  yang  menjalankan  kekuasaan  sebaik  Mu'awiyah.
Dialah sebaik-baik raja Islam, dan  tindakannya  lebih  baik
daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2 
   
Pandangan  Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama dari
kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa  pun  yang
terjadi  pada  Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai
tidak bisa dipersalahkan  begitu  saja,  karena  dia  adalah
seorang  Sahabat  Nabi.  Lebih  jauh,  Ibn  Taymiyyah  masih
mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah,  yaitu  "Raja"
Yazid   (yang  oleh  kaum  Syi'ah  dituding  sebagai  paling
bertanggungjawab  atas   pembunuhan   amat   keji   terhadap
al-Husayn,  cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid
adalah komandan tentara Islam  yang  pertama  memerangi  dan
mencoba  merebut  Konstantinopel,  sementara  sebuah  hadits
menyebutkan  adanya  sabda  Nabi:  "Tentara   pertama   yang
menyerbu  Konstantinopel  diampuni  (oleh  Allah akan segala
dosanya)."3 
   
Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan  yang  ada
pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan
kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat  bahwa  Mu'awiyah
tanpa  mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah
orang  yang   pertama   bertanggung-jawab   merubah   sistem
kekhalifahan  yang  terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi
Islam me]alui pemilihan) menjadi  sistem  kekhalifahan  yang
tertutup  (pengangkatan  pemimpin  melalui  penunjukan  atau
wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut
sistem  kerajaan  seperti  dimaksudkan  dalam hadits, tetapi
Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula  para  penguasa
'Abbasiyah,  menyebut  diri  mereka  masing-masing  Khalifah
(dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu  sistem  yang
adil  telah  diganti  dengan  sistem  yang kurang adil, jika
bukannya yang zalim.
 
Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama  tidak  hanya
ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi
lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan  dan
pemerintahan.  Penyebutan  para  pengganti Nabi yang pertama
itu  sebagai  "berpetunjuk"  (al-rasyidun)  adalah  terutama
berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4 
   
Dalam  pandangan  banyak  orang  Muslim,  pemerintahan  masa
kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan  dan
rasa  keagamaan  yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani
Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan  itu  sendiri  saja.
Kalaupun  tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar
ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk  Mu'awiyah  itu
telah  dikutip  dari  Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupa
itu jelas dianggap  berlaku  untuk  keseluruhan  rezim  Bani
Umayyah,  khususnya  sejak  kekuasaan  Marwan  ibn  al-Hakam
(60-62 H/644-655 M).  Apalagi  Marwan  ini  pernah  menjabat
sebagai  pembantu  utama  Khalifah  Utsman ibn 'Affan (22-35
H/644-656 M),  dan  diduga  keras  berada  dibalik  beberapa
kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah
Islam  itu.  Karenanya,  sejak  saat  itu   tumbuh   oposisi
keagamaan  kepada  rezim  Damaskus,  tidak  saja  oleh musuh
tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari  golongan  Syi'ah
dan  Khawarij,  tetapi  juga oleh golongan Sunnah, yang kaum
Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.
 
Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang
paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang
amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri,  wafat
728   M).  Pada  masa  kekuasaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan
(memerintah 685-705 M), Hasan pernah  menulis  surat  kepada
Khalifah,   menuntut  agar  rakyat  diberi  kebebasan  untuk
melakukan apa  yang  mereka  anggap  baik,  sehingga  dengan
begitu  ada  tempat  bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itu
bernada  menggugat  praktek-praktek  zalim  penguasa  Umawi.
Namun  Hasan  dibiarkan  bebas  oleh  pemerintah, disebabkan
wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya  yang  amat
besar kepada masyarakat luas.
 
TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI
 
Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi  dan
rasul,  Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam
melaksanakan tugas. Ketika  beliau  wafat,  boleh  dikatakan
seluruh   Jazirah  Arabia  telah  menyatakan  tunduk  kepada
Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan  para
khalifah,  daerah  kekuasaan politik Islam dengan amat cepat
meluas sehingga meliputi hampir seluruh  bagian  dunia  yang
saat   itu  merupakan  pusat  peradaban  manusia,  khususnya
kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai
Sungai Amudarya (Oxus) di timur.
 
Sukses  luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa
berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah  bahwa
sejak  dari  semula  terdapat perhatian yang amat besar pada
kaum Muslim, khususnya  para  penguasa,  pada  bidang-bidang
yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah
mengherankan bahwa dari berbagai segi  agama  Islam,  bagian
yang  paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius,
termasuk penyusunannya menjadi sistem yang  integral,  ialah
yang  berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi
segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga  pemahaman  hukum
agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu
sendiri,   yaitu   "fiqh"   (yang   makna   asalnya    ialah
"pemahaman"),  dan  jalan  hidup  berhukum  menjadi  identik
dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah"
(yang  makna  asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah''
itu sebenarnya kurang lebih sama  maknanya  dengan  katakata
"sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak"
("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.
 
Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu
masyarakat  yang  sering  terancam  oleh  kekacauan   (Arab:
fawdla,  yakni,  chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan
pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah
kekuasaan  yang  sedemikian luas dan heterogennya, kepastian
hukum dan peraturan, serta ketertiban  dan  kemanan,  adalah
nilai-nilai  yang  jelas  amat  berharga. Maka kesalehan pun
banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan
perlawanan   kepada   penguasa,  khususnya  perlawanan  yang
bersifat   keagamaan   (pious   opposition),   juga   selalu
menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.
 
Tetapi   kesalehan  yang  bertumpu  kepada  kesadaran  hukum
(betapapun  ia  tidak  bisa  diabaikan  sama  sekali  karena
mempunyai  prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan
dengan  tingkah  laku  lahiriah  manusia  dan  hanya  secara
parsial  saja  berurusan  dengan  hal-hai  batiniah.  Dengan
kata-kata lain, orientasi  fiqh  dan  syari'ah  lebih  berat
mengarah    kepada    eksoterisisme,    dengan   kemungkinan
mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.
 
Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap  praktek-praktek
regimenter  pemerintahan  kaum  Umawi  di Damaskus. Sebagian
bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan  politik  semata,
seperti  gerakan  oposisi orang-orang Arab Irak, karena para
penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria.
Tetapi  sebagian  lagi,  justru yang lebih umum, oposisi itu
timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang  "relijius."
Tokoh  Hasan  dari  Basrah  yang  telah  disebutkan  di atas
mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan
cukup  hebat,  sehingga  kelompok-kelompok  penentang  rezim
Umayyah banyak yang mengambil  ilham  dan  semangatnya  dari
Hasan,  yang  dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha,
yang  dianggap  pendiri  Mu'tazilah,  asalnya  adalah  murid
Hasan),  begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan
orang-orang  Muslim   dengan   kecenderungan   hidup   zuhud
(asketik).  Mereka  yang  tersebut  terakhir  inilah,  sejak
munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi  (Shufi),  konon
karena  pakaian  mereka  yang  terdiri dari bahan wol (Arab:
shuf) yang kasar  sebagai  lambang  kezuhudan  mereka.  Dari
kata-kata   shuf  itu  pula  terbentuk  kata-kata  tashawwuf
(tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.
 
Dalam  perkembangannya  lebih  lanjut,  Tasawuf  tidak  lagi
bersifat  terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun
semangat  melawan  atau  mengimbangi  susunan  mapan   da]am
masyarakat  selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali
dari  tingkah  laku  kaum  Sufi,  tetapi  itu  terjadi  pada
dasarnya   karena  dinamika  perkembangan  gagasan  kesufian
sendiri, yaitu setelah secara  sadar  sepenuhnya  berkembang
menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai
hasil pematangan  dan  pemuncakan  rasa  kesalehan  pribadi,
yaitu  perkembangan  ketika perhatian paling utama diberikan
kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan  politis
umat hanya secara minimal saja.
 
TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH
 
Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri  dan
batini   itu   kemudian  mewujudkan  diri  dalam  divergensi
sistem-sistem penalaran  masing-masing  pihak  pendukungnya.
Maka   dalam   kedua-duanya   kemudian  tumbuh  cabang  ilmu
Keislaman yang berbeda satu dari  yang  lain,  bahkan  dalam
beberapa  hal  tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak
berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an,  maka  sebagaimana
orientasi   keagamaan   eksoteris   yang   bertumpu   kepada
masalah-masalah  kehukuman  itu  mengklaim   sebagai   paham
keagamaan   (fiqh)   dan   jalan  kebenaran  (syari'ah)  par
excellence,  orientasi  keagamaan  esoteris  yang   bertumpu
kepada  masalah  pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu
juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah)
dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.

(bersambung 2/3)


ISLAM Doktrin dan Peradaban
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team