Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN        (2/4)
oleh Nurcholish Madjid
 
Para filsuf menemukan dukungan bagi metodologi  ta'wil  mereka
dalam  berbagai penjelasan, bahwa dalam al-Qur'an Tuhan memang
menyediakan berbagai "tamsil-ibarat",  alegori  atau  metafor,
termasuk mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Maka sementara
masalah adanya kebahagiaan dan kesengsaraan itu, baik di dunia
maupun  di  akhirat, adalah nyata dan tidak mungkin diingkari,
namun "tamsil-ibarat" dan pelukisan mengenai hakikatnya  dapat
menerima  penafsiran-penafsiran,  termasuk penafsiran alegoris
(tamtsili ataupun ta'wil). Bahwa  banyak  kandungan  al-Qur'an
yang   bersifat  tamsil-ibarat,  dapat  dipahami  dari  firman
berikut,
 
Dan sungguh telah Kami (Tuhan) beberkan  untuk  manusia  dalam
al-Qur'an  ini  setiap  bentuk tamsil-ibarat. Namun kebanyakan
manusia tidak menerimanya, kecuali dengan sikap  ingkar.  (QS.
al-Isra'/17:89, lihat juga QS. al-Kahf/16:54, QS. al-Rum/30:58
dan QS. al-Zumar/39:27).
 
Lebih jauh lagi, ada berbagai isyarat bahwa keterangan tentang
surga  dan  neraka  pun  bersifat tamsil-ibarat, seperti dapat
diketahui dari firman berikut,
 
Tamsil-ibarat surga  (jannah:  kebun)  yang  dijanjikan  untuk
mereka  yang  bertaqwa  ialah,  sungai-sungainya  mengalir  di
bawahnya, dan buah-buahannya tumbuh tanpa  berhenti,  demikian
pula   naungan   rindang   yang  diberikannya.  Itulah  tempat
kesudahan  bagi  mereka  yang   bertaqwa,   sedangkan   tempat
kesudahan   mereka  yang  menentang  ialah  api  neraka.  (QS.
Al-Rad/13:35)
 
Tamsil-ibarat surga yang  dijanjikan  untuk  orang-orang  yang
bertaqwa  ialah,  di dalamnya ada sungai-sungai dari air, yang
tidak akan rusak; dan sungai-sungai dari susu, yang tidak akan
berubah  cita-rasanya;  dan  sungai-sungai  dari  khamar, yang
segar melezatkan bagi yang meminumnya, dan sungai-sungai  dari
madu, yang murni-bersih. Di dalam surga itu mereka mendapatkan
buah-buahan dari segala macam, juga  memperoleh  ampunan  dari
Tuhan  mereka.  Sebagaimana  juga  (tamsil-ibarat)  orang yang
kekal di dalam neraka, yang diberi minum dengan air  mendidih,
yang   minuman   itu   memotong-motong   usus   mereka.   (QS.
Muhammad/47:15)
 
Jadi karena pelukisan tentang surga  dan  neraka  itu  disebut
sebagai  tamsil-ibarat  dalam  al-Qur'an,  sepatutnya tidaklah
dipahami menurut makna bunyi lafal  lahiriahnya.  Inilah  yang
dicari dan dikejar para filsuf dan kaum sufi. Karena merupakan
pemahaman keagamaan  yang  lebih  batini  (esoterik)  daripada
lahiri (eksoterik), maka filsafat dan tasawuf acapkali sengaja
dibuat tidak bisa diarah  oleh  orang  umum,  dan  disampaikan
hanya  kepada  kalangan tertentu yang terbatas, sebagai ajaran
"rahasia" bagi kaum khawas. Dan memang kenyataannya pendekatan
esoterik  senantiasa sulit dipahami kaum awam, sehingga banyak
salah  pengertian  yang  kemudian   mengundang   polemik   dan
kontroversi.  Beberapa  pelopor  pemahaman  esoterik,  seperti
al-Hallaj dan Suhrawardi, harus  menemui  kematian  di  tangan
penguasa,  akibat  intrik-intrik politik yang menjerat mereka.
Sebagian tokoh lagi, seperti Ibn  'Arabi,  telah  meninggalkan
karya-karya besar yang sampai sekarang dipelajari orang dengan
penuh minat, dan ketokohannya  disanjung  dan  dikecam  secara
sama.  Walaupun pemahaman esoterik senantiasa rumit, sulit dan
ruwet, namun tidak berarti tertutup rapat untuk setiap  orang,
malah  dalam  banyak  hal  merupakan  kebutuhan.  Karena tidak
jarang pendekatan esoterik memang menyegarkan.
 
BAHAGIA DAN SENGSARA: PANDANGAN KEFILSAFATAN DAN KESUFIAN
 
Walaupun begitu dalam zaman sekarang pendekatan esoterik tidak
lagi   dapat  dipertahankan  sepenuhnya  sebagai  kerahasiaan,
karena berbagai hal. Pertama, karena akses pada bahan  bacaan,
termasuk di bidang kesufian atau mistisisme, yang tumbuh pesat
tidak mungkin lagi  dibendung.  Bahkan  kiranya  memang  tidak
perlu  dan  tidak  dibenarkan  untuk dibendung. Kedua, tingkat
kecerdasan anggota masyarakat  yang  semakin  tinggi  menuntut
pengertian-pengertian  agama  yang  tidak  konvensional  atau,
apalagi, stereotipikal. Ketiga pergaulan  kemanusiaan  sejagad
makin  tidak terhindarkan, berkat kemajuan teknologi informasi
dan transportasi.
 
Sebagaimana  telah  diisyaratkan  dalam  pembahasan  di  atas,
pandangan   kefilsafatan  dan  kesufian  tentang  bahagia  dan
sengsara cenderung mengarah  pada  pengertian-pengertian  yang
lebih   rohani   daripada   jasmani   atau,  barangkali  lebih
psikologis daripada  fisiologis.  Selain  berdasarkan  isyarat
tentang  banyaknya  kandungan  al-Qur'an  yang disebut sebagai
tamsil-ibarat  di  atas,  kaum  sufi  dan  para  filsuf   juga
mendapatkan  banyaknya  penegasan  bahwa kebahagiaan tertinggi
jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud  dalam
ridla Allah. Sebuah firman mengatakan,
 
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun
wanita, surga-surga yang di bawahnya  mengalir  sungai-sungai,
kekal  di sana selama-lamanya; (dijanjikan pula) tempat-tempat
tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan  abadi.  Dan
keridlaan  dari  Allah  adalah  yang  akbar. Itulah sebenarnya
kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:72)
 
Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub mengatakan,
 
... Kebahagiaan di surga  menanti  kaum  beriman,  Surga-surga
yang   di  bawahnya  mengalir  sungai-sungai,  kekal  di  sana
selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang  indah,  dalam
surga-surga  kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang
tenang tenteram. Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan
sesuatu  yang  lebih besar dan lebih agung lagi; Dan keridlaan
dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan  segala  kenikmatan
yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi
tidak seberapa di depan hebatnya  keridlaan  Allah  yang  Maha
Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar.
 
Saat  perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya,
saat pembebasan diri dari kungkungan jasad  yang  campur  aduk
ini  serta  dari  beban bumi dan iming-iming jangka pendeknya,
saat dari lubuk hati manusia  yang  mendalam  terpancar  sinar
dari   Cahaya   yang   mata  tidak  mampu  memandangNya,  saat
pencerahan ketika relung-relung sukma benderang dengan  berkas
Ruh  Allah... semuanya adalah satu momen dari momen-momen yang
bertumpu pada  kelangkaan  amat  sedikit  bagi  manusia  dalam
suasana  kesucian  total; sungguh dihadapan itu semua tidaklah
bermakna lagi setiap kesenangan, juga tidak setiap  harapan...
Apalagi   keridlaan   Allah   meliputi   seluruh   sukma,  dan
sukma-sukma itu tercekam di dalamnya tanpa kesudahan!  "ltulah
kebahagiaan  sejati  yang  agung".  (Sayyid  Quthub, Fi Zhilal
al-Qur'an, jilid 10, hal. 254-5)
 
Dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan
filosofis  dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran
bahwa  kebahagiaan  tertinggi  dan   paling   agung,   sebagai
keridlaan  Allah  --sebagai  pengalaman  kesaksian rohani akan
Wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian  itu
semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna apa-apa adalah
sebuah  tafsiran  kasyafi   (theophanic,   epiphanic,   yakni,
bersifat  penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran
Kebenaran Ilahi). Metodologi seperti  itu  dikembangkan  dalam
tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup
sekarang ini jika mungkin, menjadi  tujuan  semua  olah-rohani
(riyadlah)  dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang
diajarkan kaum sufi.
 
KEBEBASAN DAN KEBAHAGIAAN
 
Salah  satu  tema  utama  dalam  metodologi   kesufian   ialah
takhalli,  yaitu sikap pengosongan diri dan pembebasannya dari
setiap  belenggu  yang   menghalangi   jalan   kepada   Allah.
Pembebasan  adalah  juga  salah  satu  tema  pokok seruan Nabi
kepada umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu  budaya
dan  tradisi,  jika  menghalangi  pada Kebenaran. Jika kalimat
persaksian dimulai dengan al-nafy atau  peniadaan  dalam  fase
negatif tiada Tuhan, maka tujuannya ialah pembebasan diri dari
setiap  belenggu.  Belenggu  itu  dilambangkan  dalam   konsep
tentang  "Tuhan"  atau "Sesembahan", yaitu setiap bentuk obyek
ketundukan (Arab: Ilah). Dan jika kalimat persaksian itu harus
mutlak  diteruskan  dengan al-itsbat atau peneguhan dalam fase
afirmatif "kecuali Allah" (al-Lah, yang  menurut  banyak  ahli
termasuk  'Ali  ibn Abi Thalib dan Ja'far al-Shadiq, terbentuk
dari  kata-kata  Illah  dan  artikel  "al"-yakni,  Tuhan  atau
Sesembahan  yang  sebenarnya),  maka  yang  dimaksudkan  ialah
kemestian kita tunduk pada Allah, Tuhan  yang  sebenarnya  itu
dan tidak kepada apa dan siapapun yang lain.
 
--------------------------------------------  (bersambung 3/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team