Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

V.45. ISLAM, IDEOLOGI DAN ETOS KERJA DI INDONESIA
 
Oleh Abdurrahman Wahid
 
Dalam muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin,
forum  menyampaikan  permintaan fatwa, bagaimana status negara
Hindia Belanda dilihat dari pandangan agama Islam,  karena  ia
diperintah  oleh  pemerintah  yang bukan Islam dan orang-orang
yang tidak beragama Islam? Dari  sudut  pandang  agama  Islam,
wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?
 
Jawaban  dari  pertanyaan  itu  cukup  menarik.  Negara Hindia
Belanda  wajib  dipertahankan  dari  serangan  luar,   sebagai
kewajiban  agama,  karena  negara  tersebut menjamin kebebasan
warga negara untuk  melaksanakan  ajaran  agama  Islam.  Bahan
pengambilan  atau sumber rujukan yang digunakan adalah Bughyah
al-Mustarsyidin,  sebuah  kitab  agama  yang   dikarang   oleh
Al-Hadrami.
 
Fatwa  di  atas  menyentuh  dua  hal  yang sangat penting bagi
kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam
mensyaratkan  kebebasan  bagi kaum muslimin untuk melaksanakan
ajaran agama  mereka,  sebagai  conditio  sine  qua  non  bagi
penerimaan  Islam  atas eksistensi negara tersebut, dan dengan
demikian memberikan tolok ukur yang jelas bagi  kaum  muslimin
dalam  kehidupan  mereka.  Di  pihak  lain,  Islam  membiarkan
hal-hal  yang  berhubungan  dengan   bentuk   negara,   sistem
pemerintahan,  orientasi  warga  negara  dan  ideologi politik
mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu  langsung
memungkinkan  kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan
kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada  negara  yang
bukan  negara  Islam.  Dengan  demikian,  pola yang berkembang
adalah  wawasan  kebangsaan  yang  dijalin  dengan   orientasi
keagamaan  cukup  kuat,  seperti  yang  kita  lihat  pada kaum
muslimin dewasa ini di negeri  kita.  Wawasan  kebangsaan  dan
orientasi  keagamaan  itu  saling  mendukung,  bukannya saling
menolak, seperti yang  masih  terjadi  di  negeri-negeri  lain
hingga saat ini.
 
Walaupun  secara  sepintas  lalu  telah  tercapai rekonsiliasi
definitif antara Islam dan  negara,  dalam  hal  ini  terutama
dengan   ideologi   Pancasila,   namun   bukan  berarti  bahwa
permasalahan hubungan antara Islam dan negara di  negeri  kita
telah  terselesaikan  secara tuntas. Sebuah sisi dari hubungan
itu masih memungkinkan  timbulnya  friksi  antara  kepentingan
kaum   muslimin   dan  kepentingan  negara.  Sisi  itu  adalah
senjangnya watak yang dimiliki keduanya. Islam, sebagai agama,
memberlakukan  nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan
maupun kolektif  para  pemeluknya,  sedangkan  negara  seperti
Republik    Indonesia   tidak   akan   mungkin   memberlakukan
nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara,  yang
berasal  dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan
kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh
Islam  dap  at  diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di
negeri ini.
 
Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari  landasan  hubungan
antara  Islam  dan  negara  dalam bentuk yang lebih baik, dari
hanya sekedar kebebasan melaksanakan ajaran  Islam  bagi  kaum
muslimin,  seperti  yang  selama  ini  mengatur kehidupan kita
sebagai bangsa.  Dengan  sadar  harus  dilakukan  upaya  untuk
mencari  tali  pengikat  yang  lebih kokoh bagi kehidupan kaum
muslimin negeri ini dalam kaitannya  dengan  ideologi  negara.
Sebenarnya  upaya  ke  arah  itu telah dilakukan oleh berbagai
kalangan,  namun  hinggga  saat  ini  hasilnya   masih   belum
menunjukkan  has  il  yang  final  . Apa yang akan dipapark an
selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah merupakan sebuah  upaya
lanjutan belaka, dan sama sekali tidak memiliki pretensi telah
menemukan jawaban yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia
akan  mengundang  lebih  banyak  masalah, yang diharapkan akan
mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari  jawaban
final di kemudian hari.
 
Seorang   pemikir  muslim  yang  melakukan  rintisan  ke  arah
rekonsiliasi antara agama dan negara  itu  adalah  Syeikh  Ali
Abdurraziq  dari  Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia menyatakan
bahwa Islam hanya mengenal  tiga  sendi  kehidupan  bernegara,
yaitu   keadilan   ('adalah),  persamaan  (musawah)  demokrasi
(syura). Apabila suatu  negara  telah  memiliki  ketiga  sendi
kehidupan   itu,   dengan   sendirinya   ia   dapat   diterima
keabsahannya oleh Islam. Dengan segera ia  mendapatkan  reaksi
sangat   keras   dari   semua   kalangan,  baik  ulama  maupun
cendekiawan muslim  lainnya,  apalagi  dari  kalangan  aktivis
gerakan  Islam.  Ia diusir dari lingkungan Al-Azhar, tempat ia
mengajar sekian  tahun  lamanya,  dan  bukunya  dibakar  serta
dilarang beredar.
 
Mengapa  demikian  besar  reaksi  yang  dihadapi?  Tidak lain,
karena ia mengkesampingkan  sisi  normatif  dari  Islam,  yang
telah meletakkan demikian banyak ketentuan yang terkait dengan
kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum  agama  (fiqh).  Dari
fiqih  itu  lalu  dikembangkan  wawasan  hukum kenegaraan yang
dikenal dengan sebutan Hukum Islam, seringkali dikenal  dengan
nama  lain,  yaitu  Syari'ah.  Ali  Abdurraziq  melihat negara
sebagai instrumen yang terpisah dari hukum agama,  dan  dengan
demikian  secara  praktis  ia  memperkenalkan  gagasan  negara
sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin tentang negara
dan konstitusi.
 
Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh tempat,
karena hukum yang diberlakukan adalah  hukum  nasional  negara
itu.  Islam  dilepaskan  dari  fungsi normatifnya, dan tinggal
berfungsi filosofis belaka, yaitu sebagai  dasar  negara,  dan
dengan  demikian  tidak  memperoleh  keabsahan  sebagai sumber
hukum yang bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya
berfungsi   inspiratif  bagi  kehidupan  warga  negara  secara
keseluruhan.   Tanpa   membenarkan   atau   menyalahkan    Ali
Abdurraziq,  jelas  bagi kita bahwa reaksi hebat itu merupakan
bukti  masih  kuatnya   pandangan   yang   berkebalikan   dari
pandangannya  itu. Masih cukup besar jumlah kaum muslimin yang
menentang pandangan sekuler tentang hubungan agama dan negara.
Juga  terbukti  masih kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum
Islam ini dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi  ajaran
Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.
 
Gema  dari  tuntutan  seperti  itu masih terus bergaung, lebih
lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq  menuliskan  karyanya.
Di  luar  Indonesia,  kita  lihat betapa saat ini para aktivis
gerakan Islam menuntut pemberlakukan Hukum Syari'ah, yang akan
melarang   Benazir  Bhuto  menjadi  perdana  menteri  lagi  di
Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang  pria  yang  oleh
pengadilan   dilarang  mengawini  istri  kedua,  karena  tidak
memenuhi persyaratan untuk itu,  namun  oleh  banyak  kalangan
(termasuk  penguasa  salah  satu negara bagian), keputusan itu
dianggap melanggar ketentuan agama  yang  tidak  memberlakukan
persyaratan apapun bagi perkawinan dengan istri kedua.
 
Dalam  memahami hubungan antara agama dan negara menjadi jelas
bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam
pemikiran  keagaman  maupun  kenegaraannya. Ideologi Pancasila
telah  didudukkan  secara  tepat  oleh  kaum  muslimin,  yaitu
menjadi  landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum
muslimin.  Antara  ideologi  sebagai  landasan  konstitusional
tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya
dan  tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara
teoritik  tidak   akan   diberlakukan   undang-undang   maupun
peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama di negara
ini.  Secara  keseluruhan,  Islam  berfungsi  dalam  kehidupan
bangsa  dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlaq
masyarakat (etika sosial) warga masyarakat,  sedangkan  bentuk
kedua  adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan
melalui proses konsensus (Undang-undang seperti  Undang-undang
No.  1/1974  tentang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama
No. 7/1989).
 
Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur  kehidupan
warga  negara,  melalui  "filter" berupa Hukum Nasional, watak
kehidupan bernegara dan  berbangsa  terhindar  dari  orientasi
sekuler, seperti yang dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti
pendapat Ali Abdurraziq.  Situasi  seperti  ini  memang  tidak
sepenuhnya  memuaskan  bagi  mereka yang menghendaki pelaksana
ajaran Islam secara utuh  sebagai  produk  legislatif  formal,
atau   dengan   istilah   lain  yang  menghendaki  pelaksanaan
sepenuhnya  Hukum  Islam  dalam  kehidupan   bernegara.   Bagi
pandangan  seperti  itu,  memang tidak akan ada yang memuaskan
selain  berdirinya  sebuah  Negara  Islam,   sedangkan   dalam
kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.
 
Masalahnya  juga  belum  selesai  bagi mereka yang telah dapat
menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat menerima  kehadiran
Pancasila  dalam  konteks  yang  diuraikan  di atas. Pancasila
masih  harus  diuji,  apakah  mampu  atau   tidak   mewujudkan
prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut Islam,
antara lain seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq.  Pancasila
harus   mengembangkan   wawasan   kehidupan  yang  demokratis,
menganut  paham  perlakuan  sama  di  muka  undang-undang  dan
memperjuangkan   keadilan.   Demikian  pula,  Pancasila  harus
mengembangkan  watak  kehidupan   yang   berorientasi   kepada
pelaksanaan   kedaulatan   hukum   secara  tuntas,  menghargai
kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan  berserikat.  Itulah
kunci  yang  dapat  disumbangkan  Islam  kepada ideologi kita,
Pancasila. Kunci itu diperoleh dari lima  buah  jaminan  dasar
yang  diberikan  oleh  Islam  kepada warga masyarakat: jaminan
dasar  akan  keselamatan  fisik,  keyakinan  agama,   kesucian
keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.
 
Lembaga-lembaga  kenegaraan  harus  disusun  berdasarkan acuan
yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah yang terbatas,
bukan  kekuasaan  tanpa batas. Untuk itu kedaulatan hukum atas
lembaga  pemerintahan  maupun   kemasyarakatan,   serta   atas
individu  maupun  kelompok  warga  negara, harus dijaga sekuat
mungkin. Penjagaan kedaulatan hukum  itu  hanya  dimungkinkan,
apabila   kebebasan  berpendapat  dan  berserikat  benar-benar
dihormati.  Karenanya,  jalinan   antara   kedaulatan   hukum,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat merupakan kunci
yang mutlak harus diberikan Islam kepada ideologi  negara  dan
bangsa kita.
 
Dalam   konteks   sumbangan   Islam  kepada  ideologi,  dengan
sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan penumbuhan  etos
kerja  yang  benar,  yang akan membawa kepada wawasan ideologi
seperti dikemukakan di atas.  Etos  kerja  itu  harus  dimulai
dengan  kesadaran  akan  pentingnya arti tanggung jawab kepada
masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti
itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan transformasi sosial
yang diperlukan untuk melintasi garis kemiskinan menuju kepada
kemakmuran di masa depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan,
kebodohan  dan  keterbelakangan  hanya  mungkin  timbul,  jika
masyarakat  secara  keseluruhan  memiliki  orientasi kehidupan
yang teracu ke masa depan yang lebih baik.
 
Orientasi ke depan itu harus  diikuti  oleh  penghargaan  yang
cukup  kepada  kompetisi  dan capaian (achievement). Orientasi
ini   akan   melahirkan   orientasi   lain,   yaitu   semangat
profesionalisme   yang   menjadi   tulang-punggung  masyarakat
modern.  Semangat  menjunjung  tinggi  profesionalisme  adalah
titik  kepentingan dari transformasi sosial yang disebutkan di
atas. Islam menjunjung tinggi profesionalisme,  seperti  dapat
dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan di sini.
Karena itu Islam  mau  tidak  mau  harus  mengembangkan  dalam
dirinya etos-etos kehidupan yang berwatak transformis.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team