Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.50. HAK-HAK INDIVIDU DAN SOSIAL DI INDONESIA          (4/4)
 
Oleh Mochtar Pabottinggi
 
Perjuangan  untuk  menegakkan berlaku dan disantuninya hak-hak
individual tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk kembali
menegaskan  prinsip-prinsip  universal.  Kita  harus  mengakui
bahwa masih terlalu  banyak  di  antara  kita  yang  pandangan
hidupnya      sesungguhnya      masih      terpenjara     pada
kosmologi-kosmologi yang sempit. Tidakkah perlu  dipertanyakan
berapa banyak di antara kita yang ikut mengibarkan panji-panji
keterbukaan dengan kosmologi yang tidak memadai dan karena itu
mengibarkan  secara  percuma?  Hak-hak individual, sama halnya
dengan ideal keterbukaan,  menuntut  adanya  ketegangan  dalam
universalitas.  Kurang  lebih  sepuluh  tahun  yang lalu Jamie
Mackie sudah mengingatkan kita bahwa,
 
    "One has to assess the relative significance of the
    radical discontinuities in Indonesian political and
    social life ... as well as the underlying
    discontinuities in Indonesian society, culture and
    history which equally deserve attention."
 
Maka berkaitan dengan  analisa  di  atas  ada  dua  pendekatan
saling terkait yang hendak saya usulkan sebelum kita berbicara
lebih jauh tentang hak-hak individual dan sosial di  Indonesia
Pertama  ialah  apa  yang  saya  sebut pendekatan geokultural.
Pendekatan ini menghendaki  agar  tiap  kelompok  budaya  pada
bangsa  kita  dari  sekarang  mulai  saling menyapa dan saling
mengenal  lebih  jauh  untuk  kemudian  saling   memberi   dan
menerima.  Secara  intuitif  saya  cenderung  menyatakan bahwa
sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan tidak  terbatas
dalam  konteks  jual-beli  atau  tawar-menawar  politik. Iklim
politik seperti sekarang, dimana pemerintah  sangat  kuat  dan
dimana  vokalitas tokoh-tokoh arif yang penuh integritas tidak
terhambat, sesungguhnya adalah suatu iklim  yang  sangat  baik
untuk  merekatkan  jalinan-jalinan  nasional kita. Pembangunan
memerlukan suatu kondisi kehidupan budaya  yang  lebih  hangat
antara kita.
 
Dalam  pidato  pengukuhannya  tahun  lalu, Profesor Umar Kayam
bicara tentang "serat-serat kebudayaan" di  Nusantara.  Hingga
kini  saya  belum  melihat  pluralitas kebudayaan kita sebagai
"serat-serat." Kata itu mengandung  konotasi  pluralitas  yang
saling  memperkuat seperti serat-serat pada batang pohon nyiur
atau  benang-benang  pada  tenunan.  Hingga  kini  saya  masih
melihat  pluralitas  sistem  nilai  etnis  kita tak lebih dari
"mosaik"  yang  indah  dipandang.  Terutama  bagi  para   ahli
antropologi  asing,  mosaik  itu  merupakan  gudang yang tiada
habis-habisnya bagi profesi mereka. Tapi  mosaik  itu  sebagai
mosaik  sedikit  sekali  artinya  bagi  diri bangsa pemiliknya
sendiri sebagai suatu bangsa.
 
Saya, misalnya,  memimpikan  bagaimana  kelompok  etnis  saya,
Bugis-Makassar, yang menurut saya amat banyak tertinggal dalam
perlombaan akal-budi, belajar dari  kelompok  etnis  Jawa  dan
Minang. Dari sistem nilai Jawa, kami bisa mendewasakan prinsip
siri' agar tidak semata-mata terkungkung pada  masalah-masalah
sempit  kekeluargaan,  melainkan menjangkau penuh hal-hal yang
lebih penting, lebih  mulia,  dan  lebih  besar  artinya  bagi
bangsa  kita.  Dari  sistem  nilai  Jawa, orang Bugis Makassar
dapat belajar lebih banyak tentang relativisme nilai-nilai dan
tentang  internalisasi  serta  preservasi  kekuatan  di  dalam
kalbu.  Dengan  demikian  prinsip  siri'   (kehormatan)   yang
kesediaan berkorbannya luar biasa bisa dibebaskan dari tradisi
aksi tanpa kontemplasi, dan bisa disalurkan pada hal-hal  yang
lebih bermanfaat bagi kehidupan bangsa kita dan yang sekaligus
lebih memerlukan daya tahan yang lama.
 
Dari kelompok etnis Minang, orang Bugis-Makasar dapat  belajar
banyak  tentang  prinsip  musyawarah.  Kami  terlalu  terbiasa
menyelesaikan persoalan secara kaku, lewat ancang-ancang  yang
patah  berubah,  sebab  siri'  akan  suatu  pemenuhan seketika
(instantaneous gratification). Rata-rata  orang  Bugis-Makasar
merasa  bahwa  hanya merekalah yang memiliki siri', orang lain
tidak. Tidak mengherankan jika untuk  menyelesaikan  persoalan
orang Bugis-Makassar amat sering menempuh jalan kekerasan yang
banyak kali tragis.
 
Mungkin kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar  dari
sistem  nilai  Bugis-Makasar.  Mereka  mungkin  dapat  belajar
darinya dalam hal penekanan kesetiaan pada kata (kana).  Orang
Bugis-Makassar  tidak  suka melebih-lebihkan atau memanipulasi
kata. Sebagaimana  pernah  ditulis  oleh  Profesor  Noorduijn,
ucapan  akkanaka  (saya  berkata)  mempunyai bobot yang sangat
matter-of-fact  dalam  tradisi  historiografi   Bugis-Makasar.
Itulah   sebabnya   mengapa  peninggalan-peninggalan  tertulis
mereka  punya  kadar  historisitas  yang  jauh   lebih   kuat,
khususnya dibanding dengan babad-babad dari Tanah Jawa.
 
Alangkah  besarnya manfaat yang bisa diperoleh jika pluralitas
budaya  kita   sungguh   menjadi   serat-serat   yang   saling
memperkuat.  Dengan  saling  memberi dan menerima antar sistem
nilai, dan di sini kita bicara  juga  dalam  hubungan  masalah
Islam-Kristen  dan  Melayu-Cina,  suatu  resiprokalitas budaya
yang sangat kaya akan tercipta. Dengan begitu kita bukan hanya
akan  hidup  bersama  secara  lebih rukun dengan kepekaan akan
hak/ kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari
itu,  kita  juga  akan  sanggup  melaksanakan  rencana-rencana
pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling  curiga,
dan    kesalahan    pengertian.    Resiprokalitas   mengandung
predikatabilitas. Dan predikatabilitas sangat menentukan dalam
setiap  rencana  pembangunan.  Tidak  masuk  akal  bila  kita,
misalnya, begitu getol belajar dari nilai-nilai  positif  yang
ada  pada bangsa kita sendiri. Pada konsolidasi dan mobilisasi
nilai-nilai budaya positif kita sendirilah terdapat modal awal
kita  yang  tidak  dapat  kita  lewati  begitu  saja jika kita
benar-benar bertekad untuk tumbuh sebagai suatu  bangsa  besar
yang mandiri.
 
Untuk  menunjang  pendekatan geokultural ini, tentu dibutuhkan
aktualisasi   lebih   nyata   dari   prinsip    universalitas.
Sesungguhnya,  aktualisasi  prinsip universalitas ini hanyalah
konsekuensi logis dari semangat nasionalisme kita yang terbuka
dan lapang.
 
    Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu
    bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan
    riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan
    bangsa belaka - nasionalis yang bukan chauvinis, tak
    boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian
    yang sempit budi... Baginya, maka rasa cinta bangsa itu
    adalah lebar dan luas ... sebagai lebar dan luasnya
    udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang
    perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
 
Juga dibutuhkan penegasan atau pengembangan  lebih  jauh  dari
nilai-nilai  partikular  milik khazanah kebudayaan etnis kita,
yang  sifat  positifnya  dapat  diperluas  hingga   berlingkup
nasional.  Tiadanya  androsentrisme pada kebudayaan-kebudayaan
lama di  Asia  Tenggara  akan  sangat  menunjang  usaha  untuk
mengangkat  harkat  kaum  wanita  kita  dengan memberikan atau
mengembalikan hak-hak mereka untuk lebih  setara  dengan  kaum
pria  dalam  mengatur, berpartisipasi, dan menentukan jalannya
kehidupan  masyarakat  kita  bersama.  Partikularitas   budaya
Minang- suatu kebudayaan yang luar biasa lapang dan terbukanya
untuk  dialog  juga   akan   sangat   membantu   dalam   usaha
mengaktualisasikan ideal universalitas kita.
 
Seiring  dengan  pendekatan  geokultural  ini, kita juga perlu
melancarkan pendekatan hak-hak dasar  (basic  rights)  manusia
secara  lebih  jelas  dengan  sasaran yang di satu pihak tidak
terlalu muluk, dan di lain pihak tidak monokultural. Yang  ada
dalam   benak  saya  ialah  suatu  paduan  antara  model  yang
dikemukakan oleh Henry Shue dengan model yang dikemukakan oleh
Michael Walzer.
 
Model   hak-hak   dasar  yang  dikembangkan  oleh  Henry  Shue
menekankan hak akan perlindungan  dan  hak  akan  subsistensi.
Kedua hak ini bagi Shue merupakan sesuatu yang sangat mendasar
dan tidak dapat ditawar-tawar, karena  yang  satu  tidak  akan
berlaku   tanpa  yang  lainnya.  Tidak  ada  subsistensi  jika
keamanan dan jiwa terancam, dan  tidak  ada  artinya  keamanan
jika  orang  tak  memiliki  sandang,  pangan dan papan minimal
untuk hidup sebagai manusia.
 
Model  Kebutuhan   Dasar   yang   pernah   dikembangkan   oleh
Soedjatmoko  bisa  amat  berperan  di sini, terutama dalam hal
keakraban cendekiawan terkemuka ini dengan  mekanisme  politik
dan ekonomi serta kompleksitas pembagian sumber-sumber daya di
negara-negara berkembang. Kelebihan  model  Henry  Shue  ialah
pada  ketegasannya  bahwa  hak  akan perlindungan disejajarkan
dengan hak akan subsistensi. Pada model Soedjatmoko, hak  akan
perlindungan  disubordinasikan  pada hak akan subsistensi. Hak
akan perlindungan dengan demikian diserahkan kepada  kesadaran
para  pelaksana  hukum  di  bawah  pengarahan pemerintah. Pada
model Shue hak akan perlindungan itu tidak ditampilkan sebagai
pemberian  melainkan  sungguh-sungguh  sebagai hak, yang harus
disediakan oleh pemerintah tidak  sebagai  kebaikan  melainkan
sebagai kewajiban.
 
Beda  dengan  Shue, Walzer memberi kita suatu model yang lebih
memberi ruang bagi perbedaan-perbedaan dalam sistem nilai  dan
tingkat  kemajuan suatu atau antara kelompok masyarakat. Ideal
Walzer ialah terciptanya suatu keadilan tanpa  penindasan.  Ia
menyebut modelnya complex equality.
 
    Tyranny is always specific in character: a particular
    boundary crossing, a particular violation of meaning.
    Complex equality requires the defense of boundaries; it
    works by dfflerentiating goods just ... as hierarchies
    works by differentiating people ... we can only talk of
    a regime of complex equality when there are many
    boundaries to defend; and ... the right number is cannot
    be specified. There is no right number. Simple equality
    is easier: one dominant good widely distributed makes an
    egalitarian society. But complexity is hard: harmony
    goods must be autonomously conceived before the
    relations they mediate can become the relations ...
    equal men and women? There is no certain answer ...
    hence no ideal regime. But as soon as we start to
    distinguish meanings and mark out distributive spheres,
    we are launched on an egalitarian enterprise.
 
Pendekatan kedua ini tentu saja  masih  perlu  diteliti  lebih
jauh  kesesuaiannya  dengan kondisi kita. Tapi mengingat sifat
huru-hara, keributan, dan pemberontakan yang kita gambarkan di
atas  maupun  yang  tidak  sempat kita paparkan semua di sini,
yakni sifat subsistensi dan keragaman  sistem  maknanya,  saya
kira pendekatan ini ada baiknya diperhatikan.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team