Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.17. PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA
oleh M. Bambang Pranowo
 
    Elingana yen ana timbalan
    Yen wis budal ora kena wakilan,
    Ora kena wakilan
    Timbalane kang Maha Kuasa
    Gelem ora gelem bakale lunga
    
    (Ingatlah jika telah datang panggilan
    Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan,
    tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa
    Mau tak mau kau harus pergi jua)
 
Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah  nyanyian
keagamaan  yang  cukup  panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut
pujian   atau   erang-erangan.   Pujian   tersebut    biasanya
didendangkan  bersama-sama  oleh  para  jemaah di langgar atau
mesjid menjelang shalat  Subuh,  Maghrib  atau  Isya,  sembari
menanti   datangnya   anggota   masyarakat   lain  yang  turut
mendirikan salat berjamaah.  Mungkin  berkat  susunannya  yang
ritmis  dan  mudah  dihapal  maka  pujian  tersebut seringkali
menjadi "nyanyian"  populer  yang  dilakukan  bukan  hanya  di
mesjid  dan  langgar,  tapi  juga  di  sawah dan ladang ketika
seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika
ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya.
 
Tidak   jelas   siapa  pengarang  pujian  yang  cukup  populer
tersebut, terutama di desa-desa bagian  Jawa  Tengah  Selatan.
Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh
kalangan  pesantren.  Perlu  dicatat,   para   kyai   pemimpin
pesantren  kebanyakan  juga  pemimpin  tarekat, sehingga tidak
mengherankan  kalau  pujian  yang  diciptakan   sarat   dengan
pesan-pesan  kesufian.  Dan,  dari  pujian  tersebut tercermin
sebuah permintaan  agar  manusia  menyadari  bahwa  suka  atau
tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut  tidak  dapat
didelegasikan kepada siapapun juga.
 
Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan
agar  manusia  menyadari  sepenuhnya   sifat   kefanaan   dari
kehidupan  dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang
kekal hanyalah Tuhan, maka  dunia  ini  dipandang  benar-benar
bermakna  hanya  apabila  ia  senantiasa diorientasikan kepada
Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah
terjerat  oleh  perangkat  serba  kefanaan.  Dalam "perangkap"
seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada  usaha
mewujudkan  kesenangan  sementara  yang segera dapat dinikmati
kini dan di sini, di  dunia  yang  fana  ini.  Ia  lupa  bahwa
manusia  disebut  manusia  tidak  lain  karena  roh sukma yang
ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad  atau  raganya.  Begitu
sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada.
 
TEORI CERMIN AL-GHAZALI
 
Bagaimanapun  roh  atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam
kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada
Tuhan  dan  detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih
banyak  tersita  untuk  hal-hal  yang  bersifat  jasadi   atau
lahiriah  belaka?  Imam  Ghazali  menjawab  masalah ini dengan
Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang  sangat  terkenal
itu  --Ihya'  'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia
ibarat cermin, sedangkan  petunjuk  Tuhan  bagaikan  nur  atau
cahaya.  Dengan  demikian jika hati manusia benar-benar bersih
niscaya ia akan  bisa  menangkap  cahaya  petunjuk  Ilahi  dan
memantulkan  cahaya  tersebut  ke  sekitarnya  (lihat Ghazali,
t.t., vol.I: h. 119-125).
 
Sedangkan jika manusia  tidak  mampu  menangkap  sinyal-sinyal
spiritual  dari  Tuhan,  itu  pada  dasarnya  disebabkan  tiga
kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga  cahaya
Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin
rohani yang dimilikinya.  Yang  termasuk  dalam  kategori  ini
adalah  mereka  yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor
dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat
penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin
tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini,  orang-orang  yang
menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi
hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang  membelakangi  sumber
cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh
cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori
ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan
Tuhan.
 
Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening,  ia
harus   senantiasa   berusaha  memurnikan  diri  dengan  jalan
menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan  hidup
para  nabi  melalui  berbagai  latihan  kerohanian (riyadlah).
Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di
kalangan   para   penganut   tarekat,  riyadlah  atau  latihan
kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,
puasa  Senin,  Kamis,  puasa  Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha
senantiasa mempertautkan  diri  dengan  Allah  melalui  dzikir
merupakan  hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
 
Melaksanakan secara intensif berbagai amalan  sunnah  tersebut
tak  lain  merupakan  usaha  mengamalkan  sebuah  hadits Qudsi
sebagai berikut:
 
Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku,  akan  Kunyatakan  perang.
Ibadat  yang  paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang
kepadanya adalah menunaikan  semua  perintah  yang  telah  Aku
berikan.  Hamba-Ku  adalah  mereka  yang  mendekatkan  dirinya
kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang  Aku  cintai.
Apabila  Aku  telah  mencintainya,  maka  Aku-lah yang menjadi
telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk
melihat,  Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya
untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan  Aku  beri,
dan  apabila  ia  meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat
Bukhari dan Abi Hurairah)
 
Apabila seseorang telah melaksanakan  berbagai  ibadah  secara
intensif,  hal  itu  dalam  pandangan  kesufian  tidak  secara
otomatis merupakan jaminan bahwa orang  tersebut  akan  sampai
pada  tujuan  hakiki  dari  ibadah  yakni terjalinnya hubungan
konstan  dengan  Allah.  Ibadah  ritual  akan  jatuh  nilainya
menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan
tanpa sikap  batin  yang  dipimpin  semata-mata  oleh  harapan
memperoleh ridha Allah.
 
Sebaliknya  sikap  batin  yang  tidak  diaktualisasikan  dalam
bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat
dan  dicontohkan  oleh  Nabi,  dipandang  sebagai  kesombongan
spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan).  Dalam
kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang
terkenal,  mengatakan  bahwa  siapa  yang   bertasawuf   tanpa
mengamalkan  fiqh,  ia  zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh
tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).
 
Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke
nilai  seremonial  yang  tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi
ibadah  ritual  selalu   dibarengi   bahkan   didahului   oleh
penggeledahan  dan  interogasi  diri:  apakah ibadah yang kita
lakukan sudah benar-benar karena  Allah  dan  bukannya  karena
yang lain?
 
Dalam  kaitannya  dengan  upaya  rohani  seperti  itulah kisah
sufistik    yang    dicatat    dari    pesantren     --Tarekat
Qadariah-Naqshabandiyah  di  Jawa  Timur-- merupakan ilustrasi
relatif menarik.
 
Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh  kalangan  luas
sebagai  orang  yang  sangat  alim.  Segala pujian dilimpahkan
orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar
berbagai  pujian  tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan
dirinya rajin  beribadah  itu  bukan  karena  Allah  melainkan
justru  karena  orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu
pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang  desa.  Sesampainya
di  pasar  secara  demonstratif  ia  sengaja mencuri ayam yang
sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap  basah  maka  iapun
dipukuli  banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang
dalam keadaan babak belur. Orang  sepasar  akhirnya  bergumam:
"Oh,  ternyata  ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia
tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti  itu
ia  bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya
di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah,  ya  Allah,
kini  aku  beribadah  bukan karena manusia, tetapi insya Allah
benar-benar karena Engkau semata."
 
Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini  merupakan
pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,
keberanian untuk melakukan penggeledahan dan  interogasi  diri
merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik
yang akan mengantarkan  diri  seseorang  kepada  derajat  yang
terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat
rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari
yang  terendah  hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum
sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:
 
(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi
    perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya
    demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya.
    
(2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan
    sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.
    
(3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha
    memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk
    memperolehnya.
    
(4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan
    mendorong hawa nafsu.
    
(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
    mengutamakan orang lain di kala berada.
    
(6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu
    datangnya dari Allah semata.
    
(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
    atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.
    
(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
    mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
    harapannya.
    
(9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya
    kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang
    disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti.
    
(10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima
    nasib pahit.
 
Mengenal selintas maqam-maqam  tersebut  seolah-olah  mustahil
nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan
yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam  tersebut
dipandang  sebagai  tidak  lain  dari  upaya  pendakian rohani
menuju ridla Allah, maka  maqam-maqam  tersebut  adalah  acuan
yang  memang  harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan
leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki.
 
Menengok pada luka  menganga  yang  menjangkiti  dunia  modern
seperti  konsumerisme  yang  seolah  tak  mengenal  kata puas,
hedonisme yang telah  menyebabkan  merajalelanya  AIDS,  serta
materialisme  yang  cenderung  mencekal nilai-nilai spiritual;
semua  itu  mengantarkan  kita  pada  kesimpulan  bahwa   pola
kehidupan  yang  semata-mata  dipimpin  oleh  otak  (head) dan
ketrampilan  teknologis  (hand)  itu   perlu   diimbangi   dan
dikendalikan  dengan  kebeningan  hati  (heart).  Dan, melalui
sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan  marnpu
mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu.
 
Akhirnya,  semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia
akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan  yang  berorientasi
pada  kebutuhan  jasadi  yang bersifat kini dan di sini (sukma
dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia  akan
mengarahkan  sukmanya  sehingga  sang  sukmalah  yang memimpin
kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam  terpaan  cahaya
Ilahi.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),
Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun.
 
Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan
terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,
Pekalongan, 1981.
 
Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature
And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2
(1961), hal. 10-23.
 
Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam
Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,
1985.
 
Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",
Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team