Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.40. KONSEP MUHAMMAD SAW SEBAGAI PENUTUP PARA NABI   (1/3)
Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan
 
oleh Nurcholish Madjid                            (hal. 523)
 
Suatu kenyataan  sejarah  yang  amat  menarik  tentang  Nabi
Muhammad  saw  ialah  bahwa sejak beliau tampil sekitar lima
belas abad yang lalu sampai  sekarang  tidak  pernah  muncul
tantangan  yang cukup berarti atas klaim bahwa beliau adalah
penutup segala  Nabi  dan  Rasul.  Di  mata  beberapa  orang
sarjana  Islam  terkemuka,  seperti Fazlur Rahman, kenyataan
itu merupakan bukti dan dukungan bagi pandangan Islam  bahwa
Nabi  Muhammad  saw  adalah  benar-benar yang terakhir dalam
deretan mata rantai para Nabi  dan  Utusan  Allah  sepanjang
sejarah ummat manusia.
 
Konsep  bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan
Rasul adalah cukup sentral dalam sistem  kepercayaan  Islam.
Dan  implikasi  konsep  itu  cukup luas dan penting. Hal itu
terbukti antara lain dari adanya beberapa  kontroversi  yang
memakan  korban  akhir-akhir  ini  di  kalangan ummat Islam,
seperti pengkafiran kaum  Ahmadiyah  oleh  Rabithat  al-Alam
al-Islami  dengan  dampak  pengucilannya  di Pakistan. Juga,
yang lebih dramatis, sikap permusuhan yang sengit pemerintah
Republik  Islam  Iran terhadap kaum Baha'i (jika memang kaum
Baha'i masih dapat dipandang sebagai bagian dari Islam; jika
tidak, maka penyebutannya disini menjadi tidak relevan).
 
Namun  agak mengherankan bahwa meskipun doktrin tentang Nabi
Muhammad saw itu begitu penting dan sentral dengan implikasi
yang  luas  dan  asasi,  sedikit  sekali  para  ahli  tafsir
al-Qur'an yang memberi perhatian dan ulasan  kepada  masalah
pokok   ini  ketika  menjabarkan  makna  firman  Allah  yang
terkait. Bahkan Sayyid Qutb, seorang ahli  tafsir  al-Qur'an
zaman  modern dengan karyanya yang berjilid-jilid, Fi Dhilal
al-Qur'an,  ternyata  membahas  masalah  ini  hanya   secara
sepintas lalu saja. [1] Tidak bedanya dengan Sayyid Muhammad
dengan al-Thaba' Thaba'i, penulis kitab tafsir  al-Mizan  fi
Tafsir  al-Qur'an yang juga berjilid-jilid, juga menyinggung
masalah ini secara sekedarnya saja. [2]
 
Para penafsir al-Qur'an  dari  zaman  modern  ini  dan  yang
berlatar  belakang  pengalaman  dalam  budaya  modern justru
lebih  menyadari  implikasi  penting  pandangan  bahwa  Nabi
Muhammad  saw  adalah  penutup  para  Nabi dan Rasul. Dengan
referensi  silang  dalam  kitab  tafsirnya,  Muhammad  Asad,
misalnya,  menunjukkan makna yang lebih luas dan fundamental
dari pandangan itu, dengan  implikasi  yang  juga  luas  dan
fundamental.   Makalah  ini  banyak  menggunakan  pendekatan
Muhammad  Asad  dalam  pengembangan  argumennya,   disamping
sumber-sumber lain yang relevan.
 
Karena   pokok   pembahasan   disini   dalam  beberapa  segi
menyangkut masalah  'aqidah  (simpul  keimanan)  maka  tentu
tidak   dapat   diremehkan   signifikansinya.   Karena   itu
pengembangan lebih lanjut argumen disini  oleh  mereka  yang
berwenang secara ilmiah akan sangat disambut gembira.
 
CONTOH KLAIM KENABIAN: KASUS GHULAM AHMAD DAN JOSEPH SMITH
 
Sebagai   gambaran  nyata,  di  zaman  modern  ini  terdapat
beberapa orang  pengaku  kenabian.  Kehadiran  mereka  tidak
memiliki   dampak   seperti   yang   diharapkan   dari  yang
benar-benar Nabi dan Rasul, namun mereka mempunyai pengikut.
Di  India  pernah  muncul  Mirza Ghulam Ahmad yang dipandang
oleh para  pengikutnya  (versi  Qadianis,  dan  bukan  bersi
Lahore)   sebagai   seorang   Nabi.   Namun  dalam  beberapa
penjelasan terdapat penegasan bahwa  kenabian  Mirza  adalah
jenis   "kenabian  kecil"  (minor  prophethood),  karena  ia
"hanya" bertugas meneruskan dan menghidupkan  kembali  pesan
suci  Nabi  besar  Muhammad saw. Keterangan mengenai hal ini
dari seorang tokoh gerakan Ahmadiyah terbaca demikian:
 
Klaim Hazra Mirza Ghulam  Ahmad  (salam-sejahtera  atasnya),
ialah  bahwa  Tuhan telah membangkitkan dia untuk membimbing
dan  memberi  petunjuk  ummat  manusia;  bahwa  dia   adalah
al-Masih  yang  diramalkan  dalam  Hadits-hadits  Nabi Besar
(Muhammad saw) dan Mahdi yang dijanjikan  dalam  sabda-sabda
(Nabi  Muhammad  saw);  bahwa  nubuwat  (ramalan  suci) yang
termuat dalam berbagai kitab suci  agama  tentang  tampilnya
seorang  utusan  Tuhan  pada zaman akhir juga telah dipenuhi
dalam dirinya;  bahwa  Tuhan  telah  membangkitkannya  untuk
membela dan menyebarluaskan Islam di zaman kita; bahwa Tuhan
telah  memberinya   karunia   pemahaman   mendalam   tentang
al-Qur'an,   dan   mewahyukan   kepada   dia   maknanya  dan
kebenarannya  yang  paling   mendalam;   bahwa   Dia   telah
mewahyukan  kepadanya  berbagai  rahasia hidup salih. Dengan
karyanya, pesannya, dan teladannya,  dia  mengagungkan  Nabi
Besar  (Muhammad  saw) dan membuktikan keunggulan Islam atas
agama-agama yang lain. [3]
 
Di Amerika muncul seorang bernama Joseph  Smith,  yang  oleh
para  pengikutnya  dari  Kristen  sekte "The Church of Jesus
Christ of Latter-Day Saint" (kaum  "Mormon")  juga  dianggap
sebagai Nabi. Tapi, sama halnya dengan hubungan Mirza dengan
Nabi Muhammad saw, Smith pun mengaku "hanya" meneruskan  dan
menghidupkan  kembali  ajaran  Isa  al-Masih  as,  khususnya
berkenaan  dengan  kitab   sucinya   yang   "hilang,"   yang
disampaikan  oleh  Isa  al-Masih  kepada penghuni kuno kedua
benua Amerika (Utara dan Selatan), yaitu  Buku  Mormon  (The
Book of Mormon). Suatu penuturan dalam pengantar Buku Mormon
itu terbaca demikian:
 
Buku  Mormon  adalah  suatu  jilid  dari  kitab  suci   yang
sebanding  dengan  Bibel.  Ia merupakan catatan urusan Tuhan
dengan penghuni kuna kedua benua  Amerika  dan,  sebagaimana
Bibel, memuat pemenuhan gospel yang abadi.
 
Buku  itu  ditulis oleh banyak Nabi kuna dengan ruh kenabian
dan  wahyu. Kata-kata  mereka, tertulis  pada lempengan-
lempengan emas, dikutip dan diringkas oleh seorang nabi dan
ahli sejarah, bernama Mormon... [4]
 
Puncak  kejadian  yang  tercatat  dalam  Buku  Mormon  ialah
kependetaan  pribadi  Tuhan  Yesus  Kristus di kalangan kaum
Nephites segera setelah  kebangkitannya  kembali.  Buku  itu
mengemukakan  doktrin-doktrin  gospel,  memberi  garis besar
rencana penyelamatan, dan  memberi  tahu  manusia  apa  yang
harus mereka kerjakan untuk memperoleh kedamaian dalam hidup
ini dan keselamatan abadi dalam hidup yang akan datang.
 
Setelah  Mormon  menyelesaikan  tulisannya,  ia  menyerahkan
cerita  itu kepada anaknya Moroni, yang menambahkan beberapa
kata    dari    dirinya    sendiri    dan     menyembunyikan
lempengan-lempengan  tadi  di bukit Cumorah. Pada tanggal 21
September 1323, Moroni itu sendiri, yang saat itu  merupakan
makhluk    yang   dimuliakan   dan   dibangkitkan   kembali,
menampakkan diri pada Nabi  Joseph  Smith  dan  mengajarinya
berkenaan dengan catatan kuna itu serta penerjemahannya yang
mesti terjadi ke dalam bahasa Inggris.
 
Selanjutnya lempengan-lempengan  tersebut  diberikan  kepada
Joseph  Smith,  yang  menerjemahkannya  dengan  anugerah dan
kekuatan dari Tuhan. Catatan itu sekarang diterbitkan  dalam
banyak  bahasa  sebagai  saksi baru dan tambahan bahwa Yesus
Kristus adalah Putera dari Tuhan yang hidup dan semua  orang
yang bersedia datang kepadanya serta menaati hukum-hukum dan
ajaran-ajaran gospelnya akan terselamatkan.
 
Tapi,  seperti  telah  disinggung,  dan  sebagaimana   telah
disaksikan  oleh  sejarah, kehadiran baik Mirza maupun Smith
tidak  meninggalkan  dampak  sosial  dan  spiritual   dengan
keluasan  dan  kedalaman  seperti yang biasanya ditinggalkan
oleh para Nabi terdahulu. Karena  itu  bagi  hampir  seluruh
kaum  Muslim  klaim  Mirza  akan  kenabian itu harus ditolak
(atau ditafsirkan kembali seperti  dilakukan  oleh  sebagian
pengikutnya  sendiri  dari  versi  Lahore);  dan bagi hampir
semua kaum Kristen klaim Joseph Smith pun ditolak, dan  kaum
Mormon  diakui  hanya  sebagai  salah satu saja dari puluhan
atau ratusan sekte dan denominasi dalam agama Kristen.
 
Klaim kenabian atau, apalagi,  kerasulan,  akan  menimbulkan
masalah   dalam   masyarakat,  karena  logika  setiap  klaim
kenabian atau kerasulan tentu menuntut kepada  setiap  orang
untuk  menerima,  membenarkan  dan  "beriman" kepada pengaku
itu. Ghulam  Ahmad,  misalnya,  memperlihatkan  gejala  ini,
seperti dengan jelas bisa dipahami dari pernyataan berikut:
 
Setelah  secara  singkat  menggambarkan  klaim al-Masih Yang
Dijanjikan   (the   Promised   Messiah),   Pendiri   Gerakan
Ahmadiyah,  saya ingin menerangkan kriteria umum yang dengan
itu kebenaran pengaku (kenabian) serupa  itu  bisa  dinilai.
Jika  telah  terbukti  bahwa pribadi tertentu mendapat tugas
Maki sebagai Utusan Tuhan, maka menjadi  wajib  atas  setiap
orang untuk menerima pengakuannya itu. [5]
 
Kaum   Mormon  pun  mempunyai  sikap  yang  serupa,  sebagai
konsekuensi kepercayaan mereka  bahwa  Joseph  Smith  adalah
seorang  Nabi. Dalam pengantar Buku Mormon dikutip perkataan
kita sendiri, demikian: Berkenaan dengan  catatan  ini  Nabi
Joseph  Smith  berkata:  "Saya  telah  katakan  kepada  para
saudara bahwa Buku Mormon adalah buku yang paling benar dari
semua buku yang ada di muka bumi, dan batu dasar agama kita,
dan seseorang akan menjadi lebih dekat kepada  Tuhan  dengan
menaati  ajaran-ajaran  buku  itu  daripada dengan buku lain
manapun." [6]
 
Kegawatan muncul karena setiap sikap menerima  atau  menolak
sesuatu dari pesan Ilahi akan dengan sendirinya bersangkutan
dengan masalah keselamatan atau  kesengsaraan.  Maka  logika
pengakuan  kenabian, lebih sering daripada tidak, mengundang
percekcokan tajam, sebab terjadi dalam  kerangka  kemutlakan
(ultimacy).  Karena  itu pengaku kenabian tentu menghasilkan
sistem  kepengikutan  yang  eksklusifistik,  yang   menampik
"orang  luar" untuk menyertai mereka dalam panji keselamatan
dan kebahagiaan. Dalam penampilannya yang  ekstrem,  seperti
ditunjukkan  oleh  berbagai perkumpulan yang bersifat kultus
(cultic)  di  banyak  negara  (terutama  Amerika),   harapan
keselamatan  yang dipusatkan dan digantungkan kepada pribadi
seorang tokoh akan melahirkan gejala-gejala anti sosial  dan
penuh  permusuhan. Maka agaknya yang diperlukan oleh manusia
zaman modern bukanlah tokoh yang mengarah kepada  penampilan
bergaya  cultic, melainkan yang manusiawi biasa, terbuka dan
tampil dalam gaya dialogis dengan  anggota  masyarakat  yang
lebih  luas  dalam semangat persamaan hak dan kewajiban. Dan
hal ini memerlukan suatu perangkat  kepercayaan  yang  kukuh
bahwa  sekarang  tidak  ada  lagi  yang dibenarkan mengklaim
sebagai "petugass" dari Tuhan.
 
NABI MUHAMMAD PENUTUP SEGALA NABI
 
Keterangan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para  nabi
dan  Rasul  diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman
Allah dan  ajaran-Nya  tentang  pembatalan  praktek  tabanni
(mengangkat  anak,  kemudian  anak  itu  diakui seperti anak
sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan
orang  tua  angkat  bersangkutan,  dengan segala konsekuensi
kehukuman atau legalnya).  Praktek  tabanni  itu  dibatalkan
karena  tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam
dan asasi, yaitu ajaran  tentang  fitrah  yang  antara  lain
menghendaki  segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan
berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan  fakta  formalnya.
Karena  tabanni  memberi hak kehukuman kepada seseorang anak
angkat hanya  karena  ia  dinyatakan  sebagai  anak  sendiri
secara  lisan  (yakni,  secara  formal),  maka  praktek  itu
dianggap tidak fithri.
                                            (bersambung 2/3)
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team