Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.41. IMPLIKASI SOSIAL-KEAGAMAAN MUHAMMAD
       SEBAGAI PENUTUP UTUSAN ALLAH
       oleh M. Yunan Yusuf
 
Kaum Muslim, apa pun madzhab  dan  firqah  mereka,  bersepakat
dalam  keyakinan  bahwa  rasul-rasul Allah yang dikirim kepada
umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad  SAW.  Beliaulah
Nabi  dan  Rasul  penutup  (khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in).
Keyakinan seperti  ini  didasarkan  pada  firman  Allah  dalam
al-Qur'an:  "Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah scorang di
antara kalian, dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir."
(QS Al-Azhab/33: 40).
 
Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi
bahwa rentetan wahyu-wahyu Allah yang diberikan,  kepada  para
rasul,   semenjak  Nabi  Adam  AS,  dipandang  telah  sempurna
diturunkan  di  tangan  Nabi  Muhammad  SAW.  Dengan  demikian
sesudah  ayat  terakhir  dalam  al-Qur'an turun, "Hari ini aku
(Allah)  sempurnakan  bagimu   agamamu,   lengkaplah   untukmu
nikmat-Ku  dan  Aku  ridha  bagimu  Islam  sebagai agama" (QS.
al-Maidah: 3), berakhirlah proses penurunan wahyu dari  Allah.
Penjelasan  ini  menunjukkan  bahwa  terdapat evolusi di dalam
agama, dimana Islam dimunculkan sebagai  bentuk  terakhir  dan
dengan  demikian Islam merupakan agama yang paling memadai dan
sempurna.
 
Di saat Nabi Muhammad masih hidup, ummat Islam di  zaman  itu,
bila  menghadapi  masalah,  baik dalam bidang kehidupan sosial
maupun dalam bidang kehidupan keagamaan, pergi bertanya kepada
Nabi  bagaimana  cara  mengatasi  dan  menyelesaikannya.  Nabi
Muhammacl menyelesaikan masalah-masalah ummat dengan  petunjuk
wahyu  yang  beliau  terima dari Allah. Namun bila wahyu tidak
memberikan penjelasan apa-apa tentang  masalah  yang  dihadapi
tersebut,  Nabi  terkadang  menyelesaikan perkara-perkara yang
dihadapi dengan pemikiran dan  pendapat  bellau  sendiri  atau
terkadang   melalui   permusyawaratan   dengan  para  sahabat.
Pemikiran dan pendapat Nabi dijumpai dalam hadits. Hadits pada
hakikatnya  tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi
saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu
perkara.
 
Di  masa  pemerintahan  Khalifah  Abu Bakar, lebih kurang satu
tahun setelah Nabi Muhammad wafat,  ayat-ayat  al-Qur'an  yang
ditulis  di  pelepah-pelepah  tamar,  tulang  dan  daun  korma
dikumpulkan menjadi  satu  kesatuan.  Pada  masa  pemerintahan
Usman,  kumpulan ayat-ayat tersebut dikodifikasi ke dalam satu
kitab, dan dari kitab yang satu disalin  lagi  beberapa  kitab
untuk  dikirimkan ke beberapa ibu kota daerah sebagai pegangan
umat Islam di tempat mereka masing-masing. Al-Qur'an yang  ada
di  tangan  kita dewasa ini berasal dari kodifikasi masa Usman
yang secara populer dikenal dengan nama  Al-Mushaf  al-Usmani.
Sementara  itu  hadits dikumpulkan menjadi buku pada abad ke-3
Hijrah, 200 tahun sesudah Nabi wafat.
 
Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat  Islam  bila
menghadapi   masalah-masalah   dalam   kehidupan   sosial  dan
keagamaan tidak ada lagi.  Umat  di  kala  itu  mempunyai  dua
pegangan   dalam  menyelesaikan  masalah-masalah  yang  mereka
hadapi. Kedua pegangan ini, yakni al-Qur'an  dan  hadits  Nabi
dipergunakan    oleh   umat   Islam   generasi   pertama   itu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di  masa
beliau masih hidup, Nabi Muhammad memang pernah memperingatkan
mereka tentang kedua pegangan ini: "Aku tinggalkan bagimu bagi
pedoman,  dan  kamu  tidak akan tersesat selama kamu berpegang
pada  keduanya,  yakni  Kitab  Allah  (al-Qur'an)  dan  Sunnah
Nabinya."
 
Predikat  Muhammad  sebagai  khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in,
penutup para nabi dan rasul, dengan kitab  suci  al-Qur'an  di
tangan  beliau,  juga  sebagai  pamungkas  wahyu-wahyu  Allah,
manusia dipandang sudah mencapai tingkat  kedewasaan  rasional
dan oleh karena itu wahyu tidak akan diturunkan lagi. Namun di
balik itu umat  manusia,  demikian  Fazlur  Rahman,  masih  me
ngalami  kebingungan moral dan karena moral mereka tidak dapat
mengimbangi  derap   kemajuan   sains   dan   teknologi   yang
perkembangannya  begitu  cepat  dan  mencakup  berbagai bidang
kehidupan. Maka setiap orang, agar tercapai kedewasaan  moral,
selalu  tergantung  kepada  perjuangannya  yang  terus menerus
untuk  mencari  petunjuk  dari  kitab-kitab  Allah  -khususnya
al-Qur'an-   yang   didalamnya   seluruh   wahyu  Allah  sudah
disempurnakan turunnya.
 
Bila  pada  waktu  Nabi  Muhammad  masih  hidup,  umat  Muslim
menjadikan beliau nara sumber, tempat bertanya, untuk menjawab
persoalan-persoalan sosial dan keagamaan  mereka.  Dan  ketika
beliau  sudah  tidak  ada  lagi  yang dijadikan sebagai tempat
bertanya masalah-masalah sosial dan keagamaan umat Islam, maka
umat  Islam  haruslah  senantiasa  merujuk  dua  pedoman  yang
ditinggalkan oleh beliau, yakni  al-Qur'an  dan  Sunnah  Nabi.
Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah
berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how"
dalam  kehidupan,  itu menjadi wewenang kaum Muslim. Tidak ada
sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa.  Hadits
mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-masalah duniamu."
 
Sesuai  dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat
Islam paska Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an  dan
Sunnah  atas masalah-masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan
cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka  bahwa  banyak
sekali   masalah   yang   dijumpai   dalam   kehidupan  mereka
sehari-hari tidak diberikan  penyelesaiannya  dalam  al-Qur'an
dan  Sunnah.  Bahkan  tidak jarang masalah-masalah yang muncul
tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.
 
Situasi seperti itu ditemui oleh kaum Muslim generasi  pertama
tersebut manakala Islam sudah meluas keluar semenanjung Arabia
dan masuk ke Suria, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan
Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum Muslim
bertambah   banyak,   bertambah   ragamnya    dan    bertambah
kepelikannya.
 
Secara geografis, daerah kekuasaan Islam, pada waktu kewafatan
Nabi Muhammad tahun  632  M,  hanya  semenanjung  Arabia  yang
tandus,   dengan  etnis  Arab  yang  mempunyai  kehidupan  dan
kebudayaan sederhana sekali. Tetapi  ketika  berbagai  kawasan
sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam terutama di masa
pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar  Umayyah
dan   Abbasiyah,  daerah  kekuasaan  Islam  tidak  lagi  hanya
penduduk  yang  satu  kebangsaannya,  yakni  Arab,  dan   satu
agamanya,   yaitu   Islam,  tetapi  penduduknya  terdiri  dari
berbagai bangsa dan menganut berbagai agama, terutama Kristen,
Yahudi,  Zoroaster,  disamping juga memakai bahasa yang saling
berbeda dengan  satu  sama  lain.  Maka  masalah-masalah  yang
timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda
dengan masalah-masalah yang timbul tatkala  umat  Islam  masih
berada di Medinah.
 
Inilah  yang  digambarkan  oleh  Ali  Hasan  Abdul  Qadir yang
mengatakan,  "Sekiranya   bangsa   Arab   tetap   tinggal   di
Semenanjung  mereka  dan  tidak keluar dari sana, mereka tidak
akan menghadapi masalah-masalah yang pelik.  Tetapi  kekuasaan
Islam   dengan   tiba-tiba   meluas  ke  seberang  batas-batas
Semenanjung Arabia dan tunduk kepadanya umat dan  bangsa  yang
berbeda-beda  yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang
berlainan dengan apa yang dimiliki oleh  bangsa  Arab.  Dengan
adanya  kontak  dan  perang dengan bangsa-bangsa itu timbullah
banyak masalah baru,  baik  dalam  bidang  keakhiratan  maupun
dalam   bidang  keduniaan,  masalah-masalah  yang  tak  pernah
terlintas dalam pikiran mereka."
 
Demikianlah  setelah  Muhammad  Rasulullah  sudah  tiada  lagi
petunjuk  Allah  hanya  bisa diperoleh dengan selalu melakukan
rujukan pada  al-Qur'an  dan  Hadits  yang  ditinggalkan  oleh
Muhammad  s.a.w.  itu.  Dan  sebagaimana  yang  dikatakan oleh
beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua  sumber
tersebut  umat  Islam  tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap
kaum beriman mempunyai kewajiban  untuk  secara  terus-menerus
mempelajari   dan   memahami   al-Qur'an   dan   hadits  untuk
mendapatkan kebenaran yang dikandungnya, yang dengan kebenaran
itu arah moral kehidupan menjadi jelas.
 
Penjelasan  di  atas menunjukkan bahwa posisi Muhammad sebagai
penutup utusan  Allah  tersebut  mengandung  makna  penyerahan
mandat  kepada kaum Muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan
keagamaan mereka  dengan  selalu  merujuk  kepada  dua  sumber
al-Qur'an  dan  hadits.  Malah bila al-Qur'an dan hadits tidak
memberikan jawaban  terhadap  masalah-masalah  yang  dihadapi,
kaum Muslim boleh mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka.
 
Segera  setelah  Nabi  Muhammad  wafat, umat Islarm dihadapkan
kepada masalah yang cukup pelik, yang  tak  pernah  timbul  di
kala  Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya
dalam   al-Qur'an,   yakni   masalah   suksesi.   Siapa   yang
menggantikan  Nabi  Muhammad  sebagai  kepala  negara Madinah.
Sebagai diketahui Madinah telah menjadi ibu kota  dari  negara
yang  bercorak  konfederasi  dari  suku-suku  bangsa Arab yang
terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau
wafat,  beliau  mempunyai  kedudukan  bukan saja sebagai Rasul
Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.
 
Untuk menyelesaikan persoalan  ini,  para  muasrikh  mencatat,
telah  terjadi  pertemuan  antara  pemuka-pemuka Muhajirin dan
Ansar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena  tidak  adanya  petunjuk
yang  jelas  dalam  al-Qur'an  tentang  siapa  pengganti  Nabi
sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris  pertemuan  itu
menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
 
Kaum  Ansar  memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan
kepada Nabi sehingga beliau berhasil  menaklukkan  Makkah  dan
menyebarkan   Islam   di   seluruh  Semenanjung  Arabia.  Kaum
Muhajirin mengajukan pula  argumentasi  mereka,  yakni  karena
merekalah   orang  yang  pertama-tama  pendukung  dakwah  Nabi
Muhammad. Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam
berkembang  dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan
bertambah besar. Di samping argumen di  atas,  kaum  Muhajirin
juga  membawa  perkataan  Nabi  "al-Aimmah  min Quraisy" (Para
Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta  perbuatan  Nabi,  yakni
mewakilkan  pelaksanaan  tugas  menjadi imam shalat kepada Abu
Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau  sakit.  Terhadap
argumen-argumen  yang  diajukan  oleh kaum Muhajirin itu, kaum
Ansar mundur, maka  terpilihlah  Abu  Bakar  sebagai  khalifah
pertama,  pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala
negara. Jabatan itu pun ketika itu  disebut  dengan  khalifatu
Rasulillah.
 
Di  sini  timbul  pertanyaan,  kenapa orang-orang Ansar mundur
dari maksud mereka untuk menjadi  khalifah?  Karena  di  dalam
memajukan  argumen,  maka  argumen  yang  dianggap kuat adalah
argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an  dan  hadits.  Kaum
Ansar  tidak  mempunyai  argumen  itu,  mereka hanya mempunyai
argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai  argumen
perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari
suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran  Islam  semenjak
Abu  Bakar  sebagai Khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan
pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.
 
Bagaimana  sebenarnya  penjelasan  al-Qur'an  tentang  suksesi
tersebut?  Karena  tidak  ada penjelasan yang tegas, timbullah
berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan
bahwa  para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah umpamanya,
lebih spesifik dalam  pandangan  mereka  tentang  suksesi  ini
yakni  haruslah  dari  keluarga  sedarah  yang terdekat dengan
Nabi.  Maka  para  imam  dari  kaum  Syi'ah,  memang  rentetan
keturunan  yang  mempunyai  hubungan  darah  dengan Nabi, yang
dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda
dengan   kedua  pandangan  Sunni  dan  Syi'ah  tersebut,  kaum
Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah  mesti  dari
suku  Quraisy  ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja
dari  kaum  Muslim,  bukan  Arab  sekalipun,  kalau   memenuhi
persyaratan   sebagai  pemimpin  ia  boleh  menggantikan  nabi
sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij  ini,  dalam
perkembangan  berikutnya,  terutama  sesudah abad XVI M dianut
oleh Sunni.
 
Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum Muslim  masa  awal
itu  adalah  masalah  siapa yang disebut mukmin dan siapa yang
disebut kafir. Al-Qur'an dan  hadits  Nabi  memang  memberikan
kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak
adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai
pandangan yang berbeda pula.
 
Persoalan  mukmin  dan kafir dimunculkan oleh kaum Khawarij ke
permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin
Affan,   yang   kemudian  memunculkan  protes  keras  terhadap
kepemimpinan Ali bin  Abi  Thalib,  selaku  Khalifah  keempat,
karena  tidak  mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
Malah  lebih  ekstrem  lagi,  Ali  bin  Abi   Thalib   dituduh
berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman
bin Affan.
 
Persengketaan itu kemudian diselesaikan  dengan  jalan  tahkim
antara  Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari
dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin  'Ash.
Jalan   tahkim   yang   dipergunakan  menyelesaikan  persoalan
tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang  kemudian
dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka tahkim itu adalah
tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan  berpedoman
kapada  apa  yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka
dengan membawa ayat 44  surat  al-Maidah,  "Siapa  yang  tidak
menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah
orang kafir." Dengan dasar  pandangan  itu  Khawarij  kemudian
memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir.
Orang muslim  yang  kemudian  beralih  menjadi  kafir  berarti
murtad.  Pesan  Nabi  orang  murtad  darahnya  halal dan wajib
dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk  membunuh  keempat-empat
tokoh tersebut.
 
Dalam  perkembangannya timbul masalah baru apakah orang mukmin
yang  melakukan  dosa  besar  tetap  mukmin?   Karena   mereka
merupakan  kelompok  sempalan  dalam  dinasti  Umayyah, mereka
menganggap bahwa pemuka  pemuka  dinasti  Bani  Umayyah  sudah
berbuat  kedhaliman  dan  oleh  karena  itu telah berbuat dosa
besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar,  itu
berarti   tidak  sah  lagi  menjadi  khalifah.  Demikian  kaum
Khawarij  memasukkan  semua  perbuatan  dosa  besar,   seperti
berzina,   bersumpah   palsu,  mendurhaka  ibu  bapa,  syirik,
mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir.
 
Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem  di  atas,
sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan
muslim adalah orang-orang  yang  sudah  mengucap  dua  kalimah
syahadat  "La  ilaha  illa  'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah"
(Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu  utusan  Allah).
Dosa  besar  yang  dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam
sejarah  teologi  Islam,  golongan  yang  menganut  paham  ini
dikenal  dengan  nama  Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang
yang telah melakokan dosa besar tetap  mukmin,  tidak  menjadi
kafir.    Berbeda    dengan   Khawarij,   Murji'ah   memandang
pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah.
 
Kemudian  timbul  paham  ketiga,  yakni  bila  seseorang  yang
mengucap  dua  kalimah  syahadat  itu melakukan dosa besar, ia
hanya boleh disebut muslim. Di sini  dibedakan  antara  mukmin
dengan  muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa
besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa
besar.  Paham  ini  dianut  oleh  Mu'tazilah.  Mereka  memberi
predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati  posisi
antara  tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk
dalam  doktrin  dasar  mereka   al-Ushul   al-Khamsah,   yakni
al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
 
Dua  kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan
dan masalah teologi, memperlihatkan,  betapa  generasi  muslim
pertama  itu  menunjukkan  bagaimana  cara  mereka  menghadapi
masalah-masalah sosial dan keagamaan, di  kala  Nabi  Muhammad
tidak ada lagi.
 
Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan
wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang  rasul  utusan
sesudah  Muhammad.  Oleh  sebab itu tidak ada otoritas pribadi
mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah  pembawa  dan
penterjemah  yang  paling  sah  dari  wahyu-wahyu  Tuhan dalam
al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan  serta  ketetapan
Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.
 
Dengan  tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum
Muslim   telah   diberi   kewenangan    untuk    menyelesaikan
masalah-masalah   yang   timbul  dalam  kehidupan  sosial  dan
keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam
bentuk  ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah
itu, pernah berkata, bahwa tidak  ada  yang  salah  (kerugian)
dalam  berijtihad.  Bila  ijtihadnya  benar  akan mendapat dua
pahala, dan bila ijtihadnya salah masih  diberi  satu  pahala.
Persoalan   angkatan   kita   sekarang  ini  adalah  bagaimana
memunculkan orang-orang yang mempunyai kapasitas  untuk  mampu
melakukan ijtihad tersebut.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team