Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.28. FIQH DAN REAKTUALISASI AJARAN ISLAM
 
Oleh Atho' Mudzhar
 
Sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum  Islam  yang
kita  kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab
fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama,
dan    peraturan    perundangan   di   negeri-negeri   Muslim.
Masing-masing  produk  pemikiran  hukum  itu  mempunyai   ciri
khasnya tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri
pula.
 
Fatwa-fatwa ulama atau mufti, sifatnya adalah kasuistik karena
merupakan   respon   atau  jawaban  terhadap  pertanyaan  yang
diajukan peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam
arti  si  peminta  fatwa tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa
yang  diberikan  kepadanya,  tapi  fatwa  biasanya   cenderung
bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan
baru yang sedang dihadapi masyarakat  si  peminta  fatwa.  Isi
fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tapi sifat responsifnya
itu yang sekurang-kurangaya dapat dikatakan dinamis.
 
Jenis   produk   pemikiran   Islam    yang    kedua,    adalah
keputusan-keputusan  pengadilan  agama.  Berbeda dengan fatwa,
keputusan-keputusan pengadilan  agama  ini  sifatnya  mengikat
kepada   pihak-pihak   yang  berperkara,  dan  sampai  tingkat
tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha  memberi
jawaban atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan
pada suatu titik waktu tertentu.
 
Jenis  produk  pemikiran   hukum   ketiga,   yaitu   peraturan
perundangan  di negeri Muslim. Ini juga bersifat mengikat atau
mempunyai daya ikat yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam
perumusannya  juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama,
tapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya.
 
Jenis produk pemikiran hukum keempat, ialah  kitab-kitab  fiqh
yang  pada  saat  di tulis pengarangnya, kitab-kitab itu tidak
dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum  di  suatu  negeri,
meskipun  dalam  sejarah  kita  mengetahui, beberapa buku fiqh
tertentu  telah  diperlakukan  sebagai  kitab   undang-undang.
Kitab-kitab  fiqh ketika ditulis juga tidak dimaksudkan, untuk
digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya
masa  laku ini, maka kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus
berlaku untuk  semua  masa,  yang  oleh  sebagian  orang  lalu
dianggap  sebagai  jumud  atau  beku  alias  tidak berkembang.
Selain itu kitab-kitab fiqh juga mempunyai karakteristik lain.
Kalau  fatwa dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik
--yaitu membahas  masalah  tertentu--  maka  kitab-kitab  fiqh
sifatnya  menyeluruh  dan  meliputi  semua aspek bahasan hukum
Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang menyeluruh
ini,  maka  perbaikan  atau revisi terhadap sebagian isi kitab
fiqh  dianggap  dapat,  atau  akan  mengganggu  keutuhan   isi
keseluruhannya.  Karena itu kitab-kitab fiqh cenderung menjadi
resisten terhadap perubahan.
 
Inilah kedudukan kitab fiqh sebagai salah satu  bentuk  produk
pemikiran     hukum     Islam    dan    karakteristik    serta
kecenderungan-kecenderungannya dibanding dengan  produk-produk
pemikiran  hukum  lainnya:  fatwa, keputusan pengadilan agama,
dan  peraturan  perundangan   negeri   Muslim.   Dengan   cara
meletakkan  fiqh  pada  proporsinya  yang  demikian  itu  maka
diharapkan  kita  akan  memperlakukannya  secara  proporsional
pula,  seperti pertama, fiqh hanyalah salah satu dari beberapa
bentuk produk pemikiran hukum Islam.  Kedua,  karena  sifatnya
sebagai  produk  pemikiran,  maka  fiqh sebenarnya tidak boleh
resisten terhadap pemikiran baru  yang  muncul  kemudian.  Dan
ketiga,  membiarkan  fiqh  sebagai  kumpulan aturan yang tidak
mempunyai   batasan   masa   lakunya,   adalah   sama   dengan
menghalalkan   produk   pemikiran   manusia   yang  semestinya
temporal.
 
SIKAP MUSLIM TERHADAP FIQH
 
Setelah kita  melihat  bagaimana  seharusnya  memandang  fiqh,
sekarang  kita  lihat  bagaimana  dalam  kenyataan, masyarakat
memandang fiqh. Gambaran ini diperlukan, sebelum kita  mencoba
memberi  analisa  lebih jauh tentang mekanisme kerja fiqh, dan
saran-saran pemecahan masalahnya, dalam  rangka  reaktualisasi
ajaran Islam.
 
Pada  umumnya  masyarakat  Islam,  khususnya  masyarakat Islam
Indonesia, memandang fiqh  identik  dengan  hukum  Islam,  dan
hukum  Islam  dipandang  identik  dengan aturan Tuhan. Sebagai
akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai  aturan  Tuhan  itu
sendiri.  Dengan  cara  pandang  itu,  maka  kitab-kitab  fiqh
dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan
adalah  hukum  yang  paling  benar dan tidak bisa dirubah maka
kitab-kitab  fiqh  bukan   saja   dipandang   sebagai   produk
keagamaan,  tapi  sebagai  buku  agama itu sendiri. Akibatnya,
selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang
sebagai  bagian  dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari
produk pemikiran keagamaan.
 
Akibat lebih lanjut  dari  kedudukan  fiqh  yang  diidentikkan
dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh yang biasanya
disebut fugaha, juga mempunyai kedudukan  tinggi,  bukan  saja
sebagai  orang  yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi
sebagai penjaga hukum agama  itu  sendiri.  Secara  sosiologis
kedudukan  demikian  itu  memberi hak-hak istimewa dan peranan
tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada
gilirannya  akan  mempengarahi  cara  pandang  dan  cara pikir
fuqaha itu sendiri.  Ketika  seorang  faqih  dari  suatu  masa
menuliskan  tintanya  menjadi  kitab fiqh, maka sebenarnya itu
tidak terlepas  dari  cara  pandang  dan  cara  pikirnya  yang
sebagian  atau  seluruhuya  diwarnai  oleh kedudukan sosialnya
tadi.
 
Di sini, sebenarnya terjadi siklus yang menarik diamati: bahwa
untuk  menjaga dan memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang
disebut faqih atau fuqaha, dan untuk  memelihara  status  diri
mereka,  maka  para  fuqaha  memerlukan  kehidupan  fiqh  yang
tinggi.  Kadang-kadang  fiqh  yang  dipeliharanya  itu  adalah
produk  para pendahulunya, tapi kadang-kadang juga produksinya
sendiri. Ironisnya, produk-produk pemikiran fiqh itu  dianggap
sebagai  identik  dengan  hukum Tuhan itu sendiri, sebagaimana
telah disebutkan di muka. Demikian kesalahpahaman yang terjadi
di   kalangan  sementara  orang  Islam,  tidak  terkecuali  di
Indonesia, dalam memandang fiqh. Kekeliruan ini rasanya  perlu
diperbarui dan dibetulkan, dan untuk itu terlebih dahulu perlu
dipahami faktor-faktor apa sebenarnya mengakibatkan kekeliruan
tersebut.
 
EMPAT PASANGAN PILIHAN
 
Terdapat  sejumlah  pasangan  pilihan  yang dapat mempengaruhi
pandangan  seseorang  tentang  fiqh,  empat  diantaranya  akan
disebutkan  dan  diuraikan  di  sini. Keempat pasangan pilihan
tersebut ialah sebagai berikut:
 
1. Pilihan Wahyu dan Akal
 
Dalam  sejarah  pertumbuhan  hukum  Islam   kita   mengetahui,
terdapat  dua  aliran  besar di kalangan para pendiri madzhab,
dalam hal porsi penggunaan akal, dalam  mencoba  memahami  dan
menjabarkan  ajaran  Islam  tentang  hukum.  Kelompok  pertama
adalah  mereka  yang  mengutamakan  penggunaan  hadits   dalam
memahami  ayat-ayat  Qur'an  dan kelompok kedua, adalah mereka
yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok  pertama  kemudian
dikenal  dengan  ahl  al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl
al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan
dipelopori  Imam  Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang
di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah.
 
Kedua aliran ini  telah  menghasilkan  kitab-kitab  fiqh  yang
berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi
tempat kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok
kedua  menghasilkan  kitab-kitab  fiqh yang bersifat rasional.
Imam Syafi'i  sebenarnya  telah  berusaha  menjembatani  kedua
kelompok  itu,  tapi  tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau
sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.
 
Jadi sejak awal  pertumbuhannya  telah  ada  pihak-pihak  yang
berpendirian,  aturan yang disebut hukum Islam itu tidak boleh
terkena intervensi akal manusia karena hukum Islam itu  adalah
kebenarannya  mutlak  yang hanya diatur dengan wahyu. Meskipun
pandangan ini bersifat utopis karena  kenyataan,  jumlah  ayat
al-Qur'an  mengenai  hukum  itu  hanya  sedikit sekali (kurang
lebih 276-500 ayat), dan karenanya tidak meliput  semua  aspek
kehidupan   manusia,   apalagi   aspek-aspek   kehidupan  yang
merupakan produk perkembangan zaman modern, tapi pandangan ini
telah  mempunyai  pengaruh dalam memberikan label bahwa produk
pemikiran fiqh itupun  merupakan  upaya  menafsirkan  kehendak
Tuhan  yang  bersifat  abadi  dalam  bidang hukum. Inilah yang
menyebabkan lahirnya  pandangan  yang  telah  membiarkan  fiqh
sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lalu
dan  cenderung  mengekalkan  produk  pemikiran  manusia   yang
semestinya  temporal  dan liable terhadap perubahan. Kesalahan
dalam melakukan pilihan antara  wahyu  dan  akal,  atau  lebih
tepatnya  kesalahan  dalam  memberikan porsi peranan wahyu dan
akal ternyata telah membawa pada kejumudan  fiqh  itu  sendiri
yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam
yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis  dalam  berpuluh-puluh
jilid,  sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus
ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran  dan
pemikiran  manusia.  Tapi karena hukum Islam dipandang identik
dengan fiqh, maka kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid  itupun
menjadi   tabu   mendapatkan  revisi.  Jadi,  kesalahan  dalam
melakukan pilihan yang tepat antara porsi  peranan  wahyu  dan
akal   telah   mempunyai  dampak  yang  serius  dalam  sejarah
perkembangan --atau lebih tepatnya ketidak-berkembangan fiqh.
 
2. Pilihan Kesatuan dan Keragaman
 
Pasangan pilihan kedua  adalah,  antara  hukum  Islam  sebagai
kesatuan  dan  hukum  Islam  sebagai  keragaman.  Hukum  Islam
sebagai kesatuan artinya, karena hukum Islam itu adalah  hukum
Tuhan  maka  semestinya  hukum  Islam itu hanya ada satu macam
saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat  Islam  di
dunia.  Tapi  pada kenyataan kita melihat, fiqh yang dipandang
identik dengan hukum Islam itu bermacam-macam. Kita mengetahui
terdapat  berbagai  madzhab  dalam fiqh. Sekarang kita melihat
madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam  hukum  Islam,
tapi  dulunya  lebih  merupakan  ekspresi  lokal.  Demikianlah
perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara
pandangan  yang  mengatakan  hukum Islam itu universal, dengan
pandangan yang mengatakan hukum Islam itu  partikular  .  Kita
mengetahui   dalam  sejarah,  bahwa  pandangan  pertama  telah
mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai
hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan.
 
Bagi  kita  kaum  Muslim  Indonesia,  lebih ironis lagi. Hukum
Islam yang dianggap universal  itu  sebenarnya  adalah  produk
fuqaha  dari  suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu
masa tertentu  di  masa  silam.  Kitab-kitab  fiqh  yang  kita
pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan
atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah  kitab-kitab  fiqh
yang  ditulis  lima  atau  enam  abad yang lalu, dan merupakan
ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur  Tengah.  Jadi,
selain  sudah  tua,  kitab-kitab  fiqh  yang kita pelajari itu
mengandung  ekspresi  lokal  di  Timur  Tengah  sana.  Artinya
kitab-kitab  fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab
yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia  dipandang
universal  tadi.  Begitulah,  mengidentikkan fiqh dengan hukum
Islam   yang   universal,   telah   mengakibatkan    mandeknya
perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini.
 
3. Pilihan Idealisme dan Realisme
 
Pasangan  pilihan  ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan
fiqh adalah pilihan  antara  idealisme  dan  realisme,  antara
cita-cita  dan  kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa
kitab-kitab fiqh itu pada umumnya ditulis para fuqaha, jurist,
atau  para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan
agama. Bahkan kita mengetahui banyak  fuqaha  menolak  jabatan
qadi  atau  hakim,  meskipun  untuk  itu  mereka  harus  masuk
penjara. Ini berarti  --sejarah  telah  membuktikannya--  fiqh
pada  umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada
praktisi   di   lapangan.   Sebagai   akibatnya,   fiqh   yang
dihasilkannya   lebih   mengekspresikan   hal-hal  yang  ideal
daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal
yang maksimal daripada minimal.
 
Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu,
ialah:  fiqh  semakin  hari  semakin   jauh   dari   kenyataan
masyarakat.  Ini  telah  terjadi  pada  saat  kitab  fiqh  itu
dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote
dari  masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun
tempat.
 
4. Pilihan Stabilitas dan Perubahan
 
Pasangan  pilihan  keempat  adalah  pilihan   stabilitas   dan
perubahan.  Pasangan  pilihan  ini sebenarnya tidak sepenuhnya
berdiri sendiri, melainkan akibat lanjutan dari  pilihan  pada
pasangan-pasangan  sebelumnya.  Karena hukum Islam harus hanya
ada satu, maka secara konseptual hukum  Islam  tidak  menerima
adanya  variasi.  Dari  dimensi waktu, ini berarti hukum Islam
itu harus stabil, statis, dan tidak boleh mengalami perubahan.
Sebagai  akibatnya kitab-kitab fiqh menjadi beku, dan resisten
terhadap perubahan.
 
Kebekuan fiqh  itu,  sebagaimana  disebutkan  di  muka,  telah
berlangsung   selama   berabad-abad.   Baru  pada  abad  ke-19
terdengar suara-suara untuk melakukan perubahan terhadap  fiqh
yang  ada. Beberapa negeri Muslim setelah pertemuan yang pahit
dengan  peradaban  Barat,  mulai  mencoba   melakukan   revisi
terhadap  fiqhnya,  dengan  mengintrodusir  dan  memperbaharui
peraturan perundangan, khususnya dalam hal hukum keluarga. Hal
ini  terjadi  di Tunisia, Mesir, Siria, dan Irak. Bahkan Saudi
Arabia pun dalam banyak hal  telah  mulai  melakukan  suplemen
terhadap   hukum-hukum   fiqh  Hambali  yang  umumnya  terlalu
literalis.
 
LANGKAH-LANGKAH REAKTUALISASI
 
Uraian di atas dapat disimpulkan: Kemandekan pemikiran fiqh di
dunia  Islam  selama  ini  adalah karena kekeliruan menetapkan
pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas,  atau
sekurang-kurangnya    kekeliruan    dalam   menentukan   bobot
masing-masing  pilihan  itu.  Fiqh  telah  dipandang   sebagai
ekspresi  kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai
ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam
bentuk   cita-cita   daripada  sebagai  respon  atau  refleksi
kenyataan yang ada secara  realis.  Fiqh  juga  telah  memilih
stabilitas  daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan
kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini.
 
Jika  kita  hendak  mereaktualisasikan  ajaran-ajaran   Islam,
khususnya  dalam  bidang  hukum,  dan  lebih khusus lagi dalam
bidang fiqh, maka kita harus membalik pilihan-pilihan tersebut
di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal
ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diotak-atik, dirubah atau
bahkan  dibuang pada setiap saat. Fiqh harus dipandang sebagai
varian suatu  keragaman  yang  bersifat  partikularistik  yang
terkait  dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari
yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada  realisme.  Pendek
kata,  fiqh  harus  dilihat sebagai mata rantai perubahan yang
tak  henti-hentinya  tanpa  harus  dipersoalkan   keabsahannya
karena toh pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang
dari agama. Tapi untuk melakukan  pilihan-pilihan  yang  tepat
diperlukan  beberapa  syarat,  sedikitnya ada tiga syarat yang
harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat  pendidikan  dan
tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua,
adanya keberanian  di  kalangan  umat  Islam  untuk  mengambil
pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan
pilihan tersebut di atas. Dan ketiga,  memahami  faktor-faktor
sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu
produk  pemikiran  fiqhiyah  tertentu,  agar  dapat   memahami
partikularisme   dari   produk  pemikiran  hukum  itu.  Dengan
demikian, jika di tempat lain atau pada waktu  lain  ditemukan
unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran
hukum itu dengan sendirinya  harus  dirubah.  Dengan  demikian
dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Atho' Mudzhar, Catatan-catatan kuliah Sejarah Sosial Hukum
Islam pada Fakultas Pasca Sarjana, IAIN Jakarta, 1990/1991.
 
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law (The
University of Chicago Press, Chicago, 1969).
 
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the
Orientalists (Islamic Publications Ltd., Pakistan, 1977).
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team