Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

RITUALISME ISLAM DAN ETIKA SOSIAL                        (2/2)
Syu'bah Asa
 
Keutamaan yang seperti  itu  hampir  tidak  pernah  dinyatakan
terdapat   dalam   ibadah-ibadah  nonritual,  dalam  amal-amal
duniawi. Memang ditegaskan bahwa  jihad,  dan  khususnya  mati
dalam  jihad,  merupakan puncak kebaktian kepada Allah. Tetapi
bukankah  jIhad  dinyatakan  mensyaratkan  niat  yang   benar?
Bukankah  orang  yang  mati  dalam  perang membela agama, tapi
perang  itu  disertainya  karena  dorongan  kemegahan  duniawi
misalnya,  kesyahidannya tidak diterima? Memang benar infaq fi
sabil-i 'l-Lah, derma untuk kepentingan umum  maupun  menolong
orang  lain,  ditekankan  dengan  kuat sekali dalam al-Qur'an.
Tapi bukankah untuk itu dituntut keikhlasan,  sementara  untuk
berdzikir,  yang  diberi  janji pahala yang begitu besar dalam
kitab-kitab yang  banyak  beredar,  kita  paling-paling  hanya
memerlukan   kekhusyukan,   praktis   tanpa   hubungan  dengan
keikhlasan? Benar, ada pula  hadits  (tidak  populer)  seperti
yang diriwayatkan Nasai: "Orang yang memikirkan para janda dan
anak-anak yatim sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah
atau  yang  (selalu)  sembahyang malam hari dan puasa di siang
hari". Bahkan Ghazali sendiri  memuatkan  hadits  (daif)  ini:
"sebagian  dari  umatku  tidak  masuk  surga  karena  (banyak)
melakukan  salat  atau  puasa,  tetapi  masuk   surga   karena
kedermawanan  jiwa".  Tapi, "berani bertaruh", dua-duanya jauh
kalah  populer  dibanding  hadits  lain  yang  juga  dimuatkan
Ghazali   dalam   Ihya  menggiatkan  kedermawanan  itu  dengan
iming-iming  yang  tidak  urung  kembali  menjadikan  tindakan
kemurahhatian  itu  sebuah  ritus. "Datangnya rizki", demikian
seolah-olah disabdakan Nabi, "kepada orang yang memberi makan,
lebih  cepat  dibanding  sampainya  pisau  ke leher onta (yang
disembelih  untuk  keperluan  makan-makan  itu)."  Ini  sebuah
iming-iming  duniawi,  hanya  salah  satu  dari  sekian banyak
hadits yang boleh menumbuhkan  kebiasaan  sedekah  dalam  arti
selamatan yang ritual itu.
 
Demikian  pula, sanksi resmi untuk dosa sosial --kecuali untuk
tindakan   membunuh,   merampok    atau    mencuri    (mencuri
konvensional)--   tidaklah  terasa  se-"seram"  puasa  ataupun
melakukan tindak sosial yang dewasa ini dianggap banyak  orang
lebih  ber-scope  pribadi, misalnya melacur. Memang ada hadits
Bukhari-Muslim  seperti  "Kedzaliman  adalah  kegelapan   demi
kegelapan  di  hari  kiamat",  atau  "Takutlah kamu kepada dua
orang yang didzalimi, sebab antara doa itu dan Allah tidak ada
dinding."  Tapi "berapa orang"-kah yang mengenal hadits-hadits
ini? Bukankah ada hadits yang jauh  lebih  populer,  dan  jauh
lebih  "menyenangkan",  seperti  "Ibadah haji yang mabrur, tak
ada balasannya yang lain kecuali surga", yang boleh menjadikan
ibadah  ritual  yang agung ini idaman semoa orang untuk, kalau
bisa, dilakukan berulang kali?
 
Sama sekali tidak berarti Ghazali tidak bicara tentang  dunia.
Ihya  'Ulum  al-Din  menjadi  istimewa  karena ia adalah kitab
tasawuf  (terpandang)  yang  pertama  yang  berjalan  di  atas
landasan  syari'at  dan  berusaha mencari "rahasia" (asrar) di
balik semua isi syariat itu, termasuk bab mu'amalah,  meskipun
dalam  kadar  lebih sedikit. Disamping bagian-bagian yang khas
tasawuf seperti Kitab Syarah  Keajaiban  Hati,  Kitab  Latihan
Jiwa, Kitab Celaan Kepada Dunia, Kitab Cinta dan Rindu (kepada
Tuhan) atau Kitab Tafakkur, terdapat juga --dalam porsi  lebih
kecil--  Kitab Etika Profesi dan Penghidupan serta Kitab Halal
dan  Haram  yang  berisi  mu'amalah   atau   hubungan-hubungan
duniawi.  Bahkan  ada  satu  bab  yang  menuntun  seorang yang
bertaubat cara-cara keluar dari kedzaliman-kezalimannya  dalam
soal   harta   benda.   Semuanya   dengan  hadits-hadits  yang
menunjukkan pahala maupun dosa yang  lebih  "wajar"  dibanding
pada  kelompok  ritual (yang lebih banyak hadits daifnya) itu.
Misalnya hadits (sahih)  "Tidak  diterima  shalat  orang  yang
memakai  pakaian yang dibelinya dengan harga 10 dirham, dan di
antaranya terdapat satu dirham  yang  haram",  ataupun  hadits
(daif)  "Barangsiapa  menimbun  bahan  makanan sampai 40 hari,
kemudian menyedekahkannya, nilai sedekah itu tidak cakup untuk
menebus dosa penimbunannya itu."
 
Hampir  bisa  dipastikan  bahwa  seorang pengikut Ghazali yang
baik akan berusaha hidup  suci,  baik  dari  menyerempet  dosa
individual  maupun dari kecampuran satu butir nasi yang haram.
Tetapi, sebenarnya hanya bagian kecil saja orang  yang  sempat
mendengar  Ihya  secara  utuh.  Apa  yang  lebih  masyhur dari
kehidupan kesufian khususnya dewasa ini,  ketika  orang  sudah
mengartikan  zubud  bukan  lagi  sebagai "menolak dunia" dalam
arti  harfiah,  melainkan  sekadar  "tidak   bergantung   pada
(walaupun  mengumpulkan  banyak)  harta dunia" --adalah dzikir
dan ritus-ritus individual. Bahkan oleh jasa kitab-kitab kecil
semacam Usfuriyah, kitab-kitab ratib, risalah-risalah selawat,
atau beberapa majemuk maulud, yang semuanya  hanya  berada  di
bawah  wibawa  Ghazali,  dzikir dan seterusnya itu sudah tidak
selalu  punya  hubungan  dengan  dunia   kesufian,   melainkan
semata-mata  amalan  penambah  pahala  ataupun, paling-paling,
ikhtiar ketentraman batin. Haji Betawi dalam  contoh  di  muka
itupun  belum  tentu seorang mutasawwif. Tapi, ia seorang yang
sadar benar akan "tugas hidup"-nya untuk  mengumpulkan  pahala
sebanyak-banyakuya; ibadah haji baginya bukanlah seremoni yang
mencapai  tingkat  keagungannya  karena   faktor-faktor   yang
menggetarkan  hati  seperti  rasa  kebersamaan  dan  persamaan
sesama insan atau  sesama  muslim  sedunia,  melainkan  karena
ibadah  yang  satu ini penuh pahala (yang bahkan bisa ditunjuk
dan bisa dihitung menurut hadits-hadits yang daif maupun  yang
"kelas dua") pada tiap bagian dan tiap langkah.
 
Tetapi  itulah  hal  yang,  tidak  urung,  tidak memustahilkan
seorang pengikut Ghazali yang  relatif  taat,  bahkan  mungkin
berpengetahuan,  akhirnya  terjerumus juga untuk menjadi hanya
ghazalian dalam hal dzikir dan latihan-latihan ritual  (dengan
pengenduran kontrolnya terhadap ibadah maupun dosa sosial).
 
Hal ini lebih-lebih menjadi mungkin oleh dua sebab.
 
Pertama,   oleh   semangat  fiqh  -yang,  seperti  digambarkan
kitab-kitab  kuning  yang  begitu  komprehensif  dan  canggih;
tergolong  intelektualistis;  dan memang, seperti dalam contoh
orang  pintar   yang   berusaha   menghindari   zakat   dengan
(pura-pura)   mengalihkan  pemilikan  pada  masa  haul,  tanpa
imbangan tasawuf yang benar  bisa  menjadikan  seorang  muslim
sekadar  seorang  formalis  yang  begitu pintar, verbal, penuh
lelah dan tanpa jiwa. Hukum-hukum yang mana pun, terutama yang
menyangkut  urusan  dunia,  oleh kecanggihan fiqh yang seperti
ini akan bisa "diputar."
 
Kedua, pengenduran dalam kontrol amal sosial itu lebih khasnya
lagi  terjadi  oleh  tidak  dikenalinya lagi medan yang aktual
--karena perubahan yang berlangsung, bila dibandingkan  dengan
contoh-contoh  yang  ditulis  dalam kitab-kitab yang kuno itu.
Korupsi, misalnya,  dengan  jenis  dan  liku-likunya,  seperti
halnya  bentuk-bentuk  kelembagaan  modern  sendiri, kbususnya
dalam dunia  bisnis,  sebagiannya  tentu  merupakan  hal  yang
kadang-kadang  susah  dicari padanannya dalam kitab, terkadang
pula berwajah ganda dan dalam keadaan itu,  dalam  banyak  hal
bisa  "diputar"  yakni  bila  yang  ghazalian, dengan semangat
fiqhuya, tiba-tiba memilih untuk "memegangi lafal". Kyai  yang
"korupsi,"  dalam  contoh  di atas, maupun yang tidak mengenal
fatsoen politik, bisa bertindak demikian karena campuran  dari
kedua sebab di atas.
 
Perubahan  itu  pulalah  yang  dalam  bidang  fiqh menyebabkan
bagian mu'amalah, lengkap dengan  pengajarannya  akan  hak-hak
dan  kewajiban-kewajiban sosial yang suci, menjadi lebih sulit
diajarkan  --karena  kasus-kasusnya  yang  kuno,  dan   karena
sedikitnya  elastisitas umat dalam merespon bentuk-bentuk baru
dengan lebih berpegang pada roh.  Dan  kekurangan  (ketiadaan)
elastisitas itu pula yang menyebabkan bagian sosial yang masih
tinggal  dari  pengajaran  fiqh,  yakni  zakat  dan  selingkar
wilayahnya,  tidak  urung lebih dipahami sebagai ajaran ritual
pula:  bahkan  sejak  awal  para  imam  madzhab,  kecuali  Abu
Hanifah,  seperti dalam contoh indentifikasi jenis-jenis harta
yang dizakati, praktis tidak menggunakan rasio.
 
Dan itu tidak urung akan berpulang akhirnya pada masalah besar
yang  menyangkut  metodologi  pengambilan  hukum sendiri, Ilmu
Ushul Fiqh, yang sejak abad-abad 2-3 Hijri telah tumbuh dengan
makin lama kemenangan golongan naqli (skriptual) atas golongan
ra'y-i  (rasional),  dengan  memegangi  secara   tanpa   jarak
ayat-ayat   dan  hadits-hadits,  walaupun  hadits-hadits  yang
berasio ditapis dalam kenyataan menunjukkan  kepincangan  yang
kentara antara bagian yang ritual dan yang sosial, yang segera
akan kita rasakan bila  saja  kita  membandingkan  dengan  ruh
al-Qur'an.
 
Dan,  dalam  keadaan  seperti  itu,  masuklah  tema baru dalam
kegiatan dakwah. Inilah  tema  solidaritas  keumatan,  bersama
dengan semangat yang besar untuk selalu sadar diri (ber-inward
looking), yang bisa melahirkan kesukaan pengagung-agungan, isu
kebangkitan,   semboyan   kesempurnaan  Islam,  praktis  tanpa
sentuhan dengan realitas dan, dalam konteks  pembicaraan  kita
ini,  tanpa  implikasi  yang  jelas  dalam hal kemajuan maupun
kemunduran akhlak sosial.
 
Dan semua itu berada dalam "iklim" yang  aktual  kini.  Yakni,
"iklim"  yang, tidak boleh tidak, memang dilihat orang sebagai
sebab pertama dari  berkembangnya  akhlak  sosial  yang  makin
tidak  bisa  dibanggakan  itu.  "Iklim" itu melihat siapa saja
--termasuk para ustadz atau para ulama yang, sambil  beralasan
dengan  berbagai  "keterpaksaan"  yang  mereka  hadapi sendiri
dalam masalah halal-haram dalam mencari  rizki--  menggeserkan
isi  dakwahnya  ke  hal-hal  yang  "lebih  menentramkan."  Ini
seiring dengan usaha kalangan  umat  untuk  "menempatkan  diri
secara   baik"   dalam   tatanan   bersama  dan  dalam  proyek
pembangunan bersama yang telah terbukti membawa kemajuan  yang
mengesankan  dalam pertumbuhan, di dalam suatu suasana semacam
bulan  madu,  yang  menyebabkan  orang  mungkin   lebih   bisa
mentolerir  kemungkaran-kemungkaran  dan kedzaliman-kedzaliman
"yang kontroversial"(?) di masyarakat daripada harus mengalami
keraguan politis dengan keuntungan yang pesaing. Dalam "iklim"
ini pula, harus kita sebutkan,  lahir  gelombang  besar  orang
yang  menjadi  santri  karena secara formal pemerintah sendiri
"kesantri-santrian",  dengan  segala  aturan  bertakwa   untuk
pegawai sipil dan ABRI dan seterusnya. Mereka ini, yang bagian
signifikannya adalah aparat pemerintah, kelihatan sebagai  tak
punya  hubungan  apa-apa  dengan  Ghazali,  atau tasawuf, atau
fiqh, atau  halal-haram.  Aneh,  kadang-kadang  mereka  tampak
sebagai ciri zaman ini.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Al Imam Al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, maktabah Daru Ihya
al-Kutub al-'Arabiyah, Indonesia.
 
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilatul Ahaditsidh Dha'ifah
wa-Atsaruhas Saiy'fil Ummah, Lajnah Ihaya-is Sunnah, Assiyut.
 
As Saiyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Darul Fikr, 1980.
 
Abu Ishaq Ibrahim ibn "Ali ibn Yusuf Al Fairuzabadi Asy
Syirazi, al-Muhadzdza fi Fiqh-i 'l-Imami al-Syafi'i, Darul
Fikr.
 
Muhammad ibn Rusyd Al Qurthubi, Bidayatul Mujtahid
wa-Nihayat-u 'l-Muqtashid, Darul Ma'rifah, Beirut, 1985.
 
Ali Ahmad Al Jurjawi, Ni'mat-u 'l-Tasyri ma Falsafatuh-u, Al
Haramain, Jeddah.
 
AJ. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li 'l-fazh-i 'l-ahadits-in
Nabawi, Concordance et Indices de la Tradition Musulmane EJ.
Brill, Leiden, 1936.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team