Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH                (4/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan
pemikiran-pemikiran  madzhab.  Dr.  Muhammad  Farouq al-Nabhan
menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara
ulama  dan  khulafa.  Banyak  tokoh  sahabat  dan tabi'in yang
menganggap daulat Umawiyyah  ditegakkan  di  atas  dasar  yang
batil.  Para  khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar
sunnah Rasulullah saw b)  Terputusnya  hubungan  antara  pusat
khilafah  dengan  pusat  ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan
berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah  berada  di  Iraq
dan  Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang
Arab di atas orang bukan  Arab.  Dinasti  Umawiyah  memisahkan
Arab  dan  mawali.  Kebijakan  ini  menyebabkan timbulnya rasa
tidak senang pada para mawali - yang justru lebih banyak  pada
daerah  kekuasaan  Islam.  Banyak di antara mereka adalah para
sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.
 
Karena itu pada permulaan pemerintahannya,  Dinasti  Abbasiyah
disambut   dengan  penuh  antusias  baik  oleh  mawali  maupun
pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah  Abu  Hanafi
dan  di  antara  imam  ahl al-Bayt adalah Ja'far bin Muhammad.
Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.
 
IMAM-IMAM MADZHAB YANG TERLUPAKAN
 
Sudah disebutkan di muka,  bahwa  madzhab-madzhab  besar  yang
kita kenal sekarang --kecuali mazhab Ja'fari-- membesar karena
dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika  Abu
Yusuf,   murid  Abu  Hanifah,  diangkat  menjadi  qadhi  dalam
pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi,  al-Hadi,  dan
al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan
al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.
 
Madzhab Maliki berkembang  di  khilafah  Timur  atas  dukungan
al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di
Afrika,  al-Mu'iz  Badis  mewajibkan  seluruh  penduduk  untuk
mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi'i  membesar  di  Mesir
ketika  Shalahuddin  al-Ayyubi  merebut  negeri  itu.  Madzhab
Hanbali menjadi kuat  pada  masa  pemerintahan  al-Mutawakkil.
Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali
dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.
 
Dalam menyimpulkan semua ini, Syah  Wali  al-Dahlawi  menulis:
"Bila  pengikut  suatu  madzhab  menjadi  masyhur  dan  diberi
wewenang  untuk  menetapkan  keputusan  hukum  dan  memberikan
fatwa,  dan  tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang
mempelajari  madzhab  itu  terang-terangan.   Dengan   begitu,
tersebarlah  madzhabnya  di  seluruh  penjuru  bumi. Bila para
pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai
hakim  dan  tidak  berwewenang  memberi  fatwa, maka orang tak
ingin mempelajari madzhabnya.  Lalu  madzhab  itu  pun  hilang
setelah beberapa lama."
 
Beberapa  madzhab  yang  hilang  itu  secara singkat diuraikan
sebagai berikut:
 
1. Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd
   Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun
   65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad
   menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut
   dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada
   Ja'far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya
   termasuk perawi hadits yang ditsiqatkan Ibn Ma'in.
   Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia
   berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia
   melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian.
   Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;
   
2. Madzhab Ibn 'Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad
   Sufyan ibn 'Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil
   ilmu dari Imam Ja'far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq
   dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari
   padanya adalah Syafi'i. Ia memberi komentar: "Seandainya
   tidak ada Malik dan Ibn 'Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz.
   Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi
   setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.
   
3. Madzhab al-Awza'iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr
   al-Awza'iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat
   dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya
   tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan
   qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab
   Syafi'i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara
   yang empat (Abu Hanifah, al-Awza'iy, Malik dan
   al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata:
   "Al-Awza'iy." Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302
   H;
   
4. Madzhab al-Thabary. Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ibn
   Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di
   Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia
   termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid
   kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham
   al-Qur'an; mengetahui betul makna al-Qur'an. Ia faqih,
   mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan
   yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh
   dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui
   sampai kapan madzhabnya diikuti orang.
   
5. Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn 'Ali
   dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad
   sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad
   VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn
   Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara
   harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah
   Maroko, ketika Ya'qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu'min
   meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan
   perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.
 
Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak  lagi
dianut  secara  resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka
madzhab yang  terkenal.  Karena  riwayat  hidup  mereka  sudah
disebutkan  di  atas  --kecuali  Imam  Ja'far--  di sini hanya
disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya
dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.
 
IMAM JA'FAR IBN MUHAMMAD AL-SHIDIQ (82-140 H)
 
Ja'far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn  Fathimah
binti  Rasulullah  saw  lahir  di Madinah tahun 82 H pada masa
pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia
tinggal  bersama  kakeknya,  Ali Zainal Abidin keturunan Rasul
yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah  Ali  wafat,
ia  diasuh  oleh  ayahnya  Muhammad al-Baqir dan hidup bersama
selama sembilan belas tahun.
 
Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan  Zaid
ibn  Ali,  dan  penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl
al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan  al-Manshur
dengan  memanipulasikan  kecintaan  orang pada ahl al-Bayt. Ia
juga menyaksikan bahwa para  khalifah  Abbasiyah  tidak  lebih
baik  dari  para  khalifah  Umawiyah dalam kebenciannya kepada
keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:
 
   Dinasti 'Abbasiyah selalu merasa terancam dalam
   kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum 'Alawi
   menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan
   dengan Rasulullah yang tidak dimililki 'Abbasiy.
   Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari
   'Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena
   itu, bila para penguasa 'Abbasiyah melihat ada dakwah
   'Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat
   ada pejabat yang memuji Bani 'Ali, mereka segera
   mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli
   membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam
   pemerintahannya.
 
Dalam  suasana  seperti   itulah,   Imam   Ja'far   memusatkan
perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan
ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara  murid-muridnya  adalah
Imam Malik, al-Tsawry, Ibn 'Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu'bah ibn
al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi.
 
Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja'far dalam  hal  fiqh,  kita
tuliskan   percakapannya  dengan  muridnya  selama  dua  tahun
seperti diceritakan Abu Nu'aim:
 
   Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap
   Imam Ja'far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya,
   yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui
   agama. "Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan
   agama?," tanya Ja'far. "Benar."
   
   Ja'far bertanya kepada Abu Hanffah: "Siapa namamu?"
   "Nu'man."
   
   "Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun." kata
   Ja'far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak
   bisa dijawab Abu
   
   "Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku
   bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan
   qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah
   menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih
   baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat
   dari tanah. Barang siapa yang menggiyas dalam agama, Allah
   akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya
   dengan qiyas.
   
   Manakah yang lebih besar dosanya - membunuh atau berzinah?
   "Membunuh."
   
   "Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk
   pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah."
   
   "Mana yang lebih besar kewajibannya - shalat atau shawm
   (puasa)?"
   
   "Shalat"
   
   "Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi
   tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu
   menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan
   melakukan qiyas dalam agama."
 
Dari percakapan di  atas  kita  melihat  perbedaan  pendekatan
hukum  di  antara  dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik
khas dari madzhab Ja'fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal
berikut:  a) Sumber-sumber syar'iy adalah al-Qur'an, al-Sunnah
dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl  al-Bayt:
yakni  para  imam  yang  ma'shum.  Mereka tidak mau menjadikan
hujjah  hadits-hadits  yang  diriwayatkan  para  sahabat  yang
memusuhi  ahl  al-Bayt;  b) Istihsan tidak boleh dipergunakan.
Qiyas hanya dipergunakan bila  'illat-nya  manshush  (terdapat
dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya,
digunakan  akal   berdasarkan   kaidah-kaidah   tertentu;   c)
Al-Qur'an  dipandang  telah lengkap menjawab seluruh persoalan
agama.  Tugas  mujtahid  adalah  mengeluarkan  dari  al-Qur'an
jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena
Rasulullah  dan  para  imam  adalah  orang   yang   mengetahui
rahasia-rahasia  al-Qur'an,  penafsiran  al-Qur'an yang paling
absah adalah yang berasal dari mereka.
 
IMAM ABU HANIFAH
 
Abu Hanifah terkenal sebagai alim  yang  teguh  pendirian.  Ia
menentang   setiap  kezaliman.  Beberapa  kali  ia  mengkritik
al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad  dan  Ibrahim  dari
ahl  al-Bayt  memberontak,  Abu  Hanifah  mendukungnya. Begitu
pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay'at
kepadanya.  Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis:
"Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi'ah dalam  kecenderungan  dan
pendapatnya  tentang  penguasa  di zamannya. Yakni, ia melihat
bahwa khalifah haruslah diserahkan  pada  keturunan  Ali  dari
Fathimah;  dan  bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka
telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim."
 
Sikap  Abu  Hanifah  itu,  ditambah  hasutan  Ibn  Abi  Layla,
menimbulkan  kemarahan  Al-Manshur.  Tapi karena kedudukan Abu
Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat  membunuhnya  tanpa
alasan.  Lalu  ia  menjebak  Abu Hanifah dengan jabatan qadhi.
Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan.  Setiap  hari,
ia  dicambuk  sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut
satu riwayat, karena diberi makanan beracun.
 
Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf,
yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam
kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan  al-Syaybany,  yang  pernah
berguru  pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits
dengan madrasah Ra'y; dan Zafr  ibn  al-Hudzail,  yang  sangat
ekstrem menggunakan qiyas.
 
Pokok  fiqih  madzhab  Hanafi  bersumber  pada  tiga  hal:  a)
Sumber-sumber naqliyah, yang  meliputi  al-Qur'an,  al-Sunnah,
ijma,  dan  pendapat  para  sahabat. Abu Hanifah berkata, "Aku
mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di  dalamnya.  Bila
tidak,  aku  ambil  Sunnah  Rasulullah  dan hadits-hadits yang
sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Jika  tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah,
aku mengambil pendapat para sahabat  yang  aku  kehendaki  dan
meninggalkan  yang  tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari
pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah  sampai
pada  tabi'in,  mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,", b)
Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas  dan
istihsan.   c)  Al-A'raf,  yakni  adat  kebiasaan  yang  tidak
bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah  perdagangan.
Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan 'urif.
 
-------------------------------------------- (bersambung 5/10)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team