Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH                (8/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
"Lingkaran  yang  kedua,  merupakan  madzhab  yang menggunakan
rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab
ini  disebut  mazhab  Hanbali  yang  dipelopori Imam Ahmad ibn
Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa  hadits  dha'if  harus
lebih   diprioritaskan   daripada  akal.  Madzhab  ini  banyak
dilaksanakan di Saudi Arabia.
 
"Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab  Maliki  yang
dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus
diperhatikan guna  pertimbangan  kemaslahatan.  Kaidah  mereka
adalah al-Mashalih al-Mursalah.
 
"Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi'i yang dipelopori Imam
Syafi'i. Dalam proses pengambilan  hukum,  madzhab  ini  lebih
banyak menggunakan analogi atau qiyas.
 
"Sedangkan  kelompok  kelima,  terakhir,  adalah  mazhab  yang
frekuensi  penggunaan  akalnya  lebih   banyak.   Akal   lebih
dipentingkan  dalam  proses pengambilan hukum daripada hadits.
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi."
 
Untuk memberikan contoh madzhab yang paling  "Umari",  marilah
kita  melihat  madzhab  Hanafi.  Ketika  Raqabah  ibn Musqilah
ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: "Abu Hanifah  adalah
orang  paling  pandai  tentang  apa  yang sudah terjadi." Yang
dimaksud dengan apa yang sudah  terjadi  adalah  hadits-hadits
Nabi.   Apa   yang   belum   terjadi  adalah  ketetapan  hukum
berdasarkan qiyas.
 
Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn
Khaldun,  hal  itu  dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat
syarat-syarat  penerimaan  hadits.  Kata   Dr.   Ahmad   Amin,
kurangnya  hadits  pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak
merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits
dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah
pernah dilaporkan  berkata:  "Seandainya  Rasulullah  berjumpa
denganku,  ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama
itu ra'yu yang  baik?"  Barangkali  ini  penegasannya  tentang
keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat
yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: "Musuh-musuh  Abu
Hanifah  menuduhnya  tidak  memberikan  perhatian  besar  pada
hadits. Ia memprioritaskan ra'yu dalam mengeluarkan  keputusan
fiqh.  Ia menolak banyak hadits demi ra'yu. Abu Shalih al-Fura
menuturkan, "aku  mendengar  Yusuf  ibn  Asbath  berkata,  Abu
Hanifah  menolak  400  atau lebih hadits Nabi saw. ... Kataku:
"Berikan sebagian contohnya."  Katanya:  "Rasulullah  berkata,
kuda  mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata
Abu Hanifah: "Aku tidak akan menjadikan bagian binatang  lebih
banyak  daripada  bagian seorang Mukmin." Rasulullah melakukan
isy'ar  (melukai  punggung  unta)  sebelum  menyembelih  hewan
kurbannya.  Kata  Abu  Hanifah:  "Isy'ar adalah penganiayaan."
Nabi bersabda: "Dua jual beli dengan khiyar  sebelum  keduanya
berpisah."  Kata Abu Hanifah: "Bila jual beli wajib, tidak ada
khiyar." Nabi mengundi  istri-istrinya  kalau  mau  bepergian.
Kata  Abu Hanifah: "Undian itu judi." Kata mereka: "Pada zaman
Abu Hanifah,  ada  empat  orang  sahabat.  Abu  Hanifah  tidak
tertarik untuk menemui mereka." Ibn Abu Syaibah dalam bukunya,
pada bab  khusus,  menyebut  hadist-hadist  yang  ditolak  Abu
Hanifah dan mencapai 150 hadits.
 
Salah  satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf.
Ia  memegang  jabatan  qadhi   pada   masa-masa   kekhalifahan
'Abbasiyyah,  antara  lain  pada  masa  al-Mahdi,  al-Hadi dan
al-Rasyid.  Lewat  tangan-tangan  kekuasaan,  madzhab   Hanafi
tersebar  ke  seluruh  kekuasaan  Islam. Daerah-daerah madzhab
Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen
mereguk  ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak
heran kalau Fazlur  Rahman  sering  --bahkan  paling  sering--
menyebut  Abu  Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya.
Ia  memuji  Abu  Yusuf  karena  memberikan   penafsiran   yang
situasional  kepada  hadits  yang  "berdiri sendiri", menerima
hadits  dengan  sikap  kritis,  dan  menetapkan  "sunnah  yang
dikenal  baik"  sebagai  kriteria terhadap "semangat dan sikap
kolektif" dari hadits.
 
Kita tidak  akan  membicarakan  pengaruh  Abu  Yusuf  terhadap
metodologi  Rahman  (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan
untuk   menjelaskan   dasar-dasar   pemikiran   Rahman    pada
perkembangan  pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa
dengan  mempelajari  fiqh-fiqh  klasik,  kita  akan   terkejut
menemukan  bahwa  klaim  orisinalitas  pembaruan Rahman --yang
berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam  bukunya,  Tafsir
Kontekstual--  hanya  dapat  diterima  oleh  orang  yang tidak
mempunyai dasar dalam  pemikiran  Islam  tradisional.  Rahman,
bagi  madzhab  Hanafi,  tidak  berbeda  dari Ibn Taimiyah bagi
madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya
berhak  disebut  Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap
Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap
fuqaha  al-ra'y;  sebagaimana  kritik  Rahman  terhadap hadits
(sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra'y  terhadap
fuqaha al-atsar.
 
Kita  akan  membicarakan  kritik  pembaruan  Rahman  di  akhir
tulisan ini. Sebelum sampai ke situ,  ada  baiknya  kita  juga
meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur'an, sebagai
latar belakang teoretis dalam  memahami  penafsiran  al-Qur'an
yang dirumuskan oleh Rahman.
 
TAFSIR BI 'L-RIWAYAT DAN TAFSIR BI 'L-DIRAYAT
 
Fiqh  al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat,
sebagaimana fiqh al-ra'y mempunyai persamaannya  dalam  tafsir
bi  'l-dirayat.  Tafsir  --menurut  Muhammad  Ali al-Shabuni--
adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan  kepada
Nabi-Nya,   Muhammad   saw,  dan  menjelaskan  maknanya  serta
menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh
dengan  menukil  penjelasan  dari  al-Qur'an  lagi, al-Hadits,
pendapat sahabat dan tabi'in, maka tafsir itu  disebut  tafsir
bi  'l-riwayat  atau  tafsir  bi  'l-ma'tsur.  Bila tafsir itu
berpijak pada ijtihad mufasir --dengan  mengerahkan  kemampuan
nalar  dan/atau  intuisinya--  maka kita menyebutnya tafsir bi
al-dirayah atau tafsir bi 'l-ra'y.
 
Di antara kedua jenis  tafsir  itu,  para  mufasir  menganggap
taisir  bi  'l-riwayat  adalah yang paling dapat dipercaya. Di
antara jenis-jenis  tafsir  bi  'l-riwayat,  tafsir  al-Qur'an
dengan  al-Qur'an  adalah  yang paling baik. Sesudah itu, baru
tafsir  al-Qur'an  dengan  al-Sunnah  (misalnya,  lewat  asbab
al-nuzul).  Rupanya,  dari  sinilah Rahman mengajak kita untuk
menafsirkan  al-Qur'an   dengan   melihat   al-Qur'an   secara
keseluruhan   dan   dengan  melihat  "sebab-sebab  pewahyuan".
Anehnya, tafsir  bi  'l-riwayat  seperti  ini  diambil  Rahman
ketika  berbicara  tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman
ketika membahas aspek teologis dan eskatologis  ajaran  Islam.
Untuk  yang  terakhir  ini,  Rahman hampir sepenuhnya berpijak
pada  tafsir  bi  'l-dirayat.   Untuk   mengapresiasi   metode
penafsiran  Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita
lihat.
 
Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur'an yufassir
ba'dhuhu  bad'dhan,  yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya,
kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul,  yang  --menurut
Rahman--   dapat  mengungkapkan  latar  belakang  situasional,
membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan  al-Qur'an,
serta   menggali   prinsip-prinsip   universal  ajaran  Islam.
Akhirnya, kita akan  menelusuri  akar-akar  penafsiran  Rahman
pada tafsir bi 'l-dirayat.
 
Tafsir   al-Qur'an  dengan  al-Qur'an  mempunyai  basis  dalam
petunjuk-petunjuk al-Qur'an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan
al-Sunnah.  Nabi  saw.  menafsirkan  kata  zhulm dalam, wa lam
yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk  berdasarkan
ayat inn al-syirk la-zhulm 'azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini
dilanjutkan oleh  para  sahabat.  Ibn  Abbas  menafsirkan  dua
kematian  dan  dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan
merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia  mati,
ketika  berada  dalam  tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian
Allah  menghidupkan  mereka  di  dunia.  Setelah   itu   Allah
mematikan  mereka  dan  menghidupkan  mereka kembali pada Hari
Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan  bahwa  waktu  minimal
kehamilan  adalah  enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan
QS 46:15.
 
Banyak  kitab  tafsir  mengaku  menggunakan  metoda  ini.  Abd
al-Karim  al-Khathib  al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya
al-Tafsir  al-Qur'ani   li   al-Qur'an.   Bila   kita   teliti
kitab-kitab  itu,  kita  akan  menemukan  prosedur  penafsiran
Qur'ani  yang  bermacam-macam.  Paling   tidak,   kita   dapat
membaginya  ke  dalam  kelompok:  tafsir Qur'ani yang murattab
(berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah  sampai  al-Nas)  dan
tafsir    Qur'ani   maudhu'i   (berdasarkan   tema-tema   atau
topik-topik tertentu)
 
Untuk mengetahui prosedur  penafsiran  qurani  yang  murattab,
kita  uraikan  jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba'i, dalam
Tafsir al-Mizan.
 
Pertama,  "maka  ayat-ayat  al-Qur'an  dilihat  dari   konteks
ayat-ayat  itu"  (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks
adalah "semua yang mengungkapkan ( makna)  lafadz  yang  ingin
kita  pahami  dari  petunjuk-petunjuk  yang  lain,  baik  yang
bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang  membentuk  kalimat
tunggal  yang  berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami,
atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena  yang
menjadi  petunjuk bagi topik yang dibicarakan." Misalnya, ayat
"Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu  perbuat"  (QS
37:96).  Tanpa  melihat  konteks  ayat,  kita akan terjatuh ke
dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam  kisah  ucapan
Ibrahim  kepada  para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah
barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah  menciptakan
kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa
"apa yang kamu perbuat" adalah berhala-berhala itu.
 
Kedua, "ayat-ayat lain dipergunakan untuk  memahami  ayat-ayat
yang  mujmal  atau  sama,  mempermudah  makna yang sulit, atau
menjelaskan   istilah-istilah    yang    dipergunakan    dalam
al-Qur'an."   Yang  dimaksud  dengan  "khalifah"  dalam  surah
al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam,  tetapi  meliputi
anak-cucunya,  dengan  melihat  surah  al-A'raf ayat 69, Yunus
ayat 14, dan  al-Naml  ayat  62.  Yang  dimaksud  dengan  kata
al-mustaqar  dalam  surah  al-Qiyamah  ayat  12 adalah "tempat
kembali" dengan melihat surah  al-Insyiqaq  ayat  6,  al-'Alaq
ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.
 
Tafsir  maudhu'i  baru  muncul  belakangan.  Perbedaan  antara
tafsir maudhu'i dengan tafsir murattab mirip dengan  perbedaan
antara  thesaurus  dengan  dictionary. Tafsir maudhu'i dimulai
dari topik,  kemudian  dikumpulkan  ayat-ayat  yang  berkenaan
dengan  topik  tersebut. Pengantar pada tafsir ini --sepanjang
pengetahuan saya dari  kalangan  kaum  Muslim--  ditulis  oleh
Muhammad  al-Baqir  al-Abthahi.  26.  Ja'far  Subhani  menulis
serial mafahim al-Qur'an (sampai sekarang sudah  selesai  lima
jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: "... (Kita)
kumpulkan  setiap  ayat  yang  berkaitan   dengan   pengertian
tertentu  dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu
kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan
kesatuan  pandangan  yang  lengkap dan kesatuan pemikiran yang
menghimpun dan meliputi seluruh ayat  tersebut.  Kadang-kadang
ayat-ayat  yang  berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada
surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang  berbeda
dalam  surah  yang  sama.  Al-Qur'an  menunjukkan dalam setiap
surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu
itu.
 
"...  Kita  memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik  tertentu  dengan  tetap  berpijak
pada  pandangan  Qur'ani  yang  utuh  tentang  topik tersebut.
Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami  ayat  atau
mengetahui  tujuannya  karena  jarak kita yang jauh dari zaman
wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya  ayat
itu  atau  petunjuk-petunjuk  situasional  yang  berlaku  pada
masyarakat  Islam  saat  itu.  Mengumpulkan  ayat-ayat   dalam
hubungannya   satu   sama  lain,  dapat  membantu  kita  dalam
menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan."
 
POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME
 
Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia  ini  pernah  mengajukan  saran-saran bagi pembaruan
pemikiran keagamaan di Indonesia.  Ia  mengusulkan  enam  hal.
Pertama,  kita  harus  meninggalkan pemahaman harfiah terhadap
al-Qur'an  dan  menggantinya  dengan   pemahaman   berdasarkan
semangat  dan  jiwa  al-Qur'an.  Kedua,  kita  harus mengambil
sunnah Rasul dari  segi  jiwanya  untuk  tasyri  al-ahkam  dan
memberikan  keleluasaan  sepenuhnya untuk mengembangkan teknik
dan  pelaksanaan  masalah-masalah  keduniawian.  Ketiga,  kita
harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan
pendekatan ta'aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari
masalikul'illah  gaya  lama dan mengembangkan perumusan 'illat
hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser  perhatian  dari
masalah   pidana  yang  ditetapkan  oleh  nash  kepada  tujuan
pemidanaan. Terakhir,  kita  harus  mendukung  hak  pemerintah
untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.
 
TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN
 
Rahman   dalam  Tema  Pokok  al-Qur'an  memperinci  metodologi
penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah.  Pertama,  pendekatan
historis  untuk  menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara
ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan  al-Qur'an;  ketiga,
pemahaman   sasaran   al-Qur'an   dengan  memperhatikan  latar
belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan  pemikirannya  yang
kemudian,  ketiga  langkah ini merupakan langkah pertama dalam
perumusan prinsip-prinsip hukum Islam;  yaitu,  bergerak  dari
yang  khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di
atas, kita harus  sanggup  menyimpulkan  prinsip-prinsip  umum
ajaran   al-Qur'an.   Nanti,  prinsip-prinsip  umum  ini  kita
aplikasikan untuk memecahkan  masalah-masalah  konkret  dewasa
ini.  Secara  operasional,  Amal  dan  Pangabean memperincinya
dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.
 
-------------------------------------------- (bersambung 9/10)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team