Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.16. MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI
oleh Komaruddin Hidayat
 
Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak
ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang
prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah
juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum
selesai atau setengah  jadi,  sehingga  masih  harus  berjuang
untuk    menyempurnakan    dirinya   (QS.   91:7-10).   Proses
penyempurnaan  ini  amat  dimungkinkan  karena  pada  naturnya
manusia  itu  fithri,  hanif  dan berakal. Lebih dari itu bagi
seorang mukmin petunjuk primordial  ini  masih  ditambah  lagi
dengan  datangnya  Rasul  Tuhan  pembawa  kitab  suci  sebagai
petunjuk hidupnya (QS. 4:174).
 
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat  postulat  yang  berbunyi:
Man  'arafa  nafsahu  faqad  'arafa rabbabu --Siapa yang telah
mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,
pengenalan  diri  adalah  tangga yang harus dilewati seseorang
untuk mendaki  ke  jenjang  yang  lebih  tinggi  dalam  rangka
mengenal Tuhan.
 
Persoalan  serius  yang  menghadang adalah, sebagaimana diakui
kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada  umumnya,  kini
manusia  semakin  mendapatkan  kesulitan  untuk mengenali jati
diri dan hakikat kemanusiaannya
 
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu  pengetahuan  dan
berkembangnya   differensiasi  dalam  profesi  kehidupan  maka
protret atau konsep tentang realitas manusia semakin  terpecah
meniadi   kepingan-kepingan   kecil  sehingga  keutuhan  sosok
manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin
ilmu   seperti   psikologi,  sosiologi,  biologi,  kedokteran,
politik, ekonomi, antropologi, teologi  dan  lainnya  semuanya
menjadikan  manusia  sebagai  obyek kajian materialnya, tetapi
masing-masing  memiliki  metode  dan  tujuan   yang   berbeda.
Differensiasi   metodologis   setiap   ilmu,   meskipun  obyek
materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang
berbeda  pula  mengenai  siapa  dan  apa  hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri  yang
melekat  pada  dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah
misteri yang  melekat  pada  dirinya  dan  misteri  ini  telah
mengundang  kegelisahan  intelektual  pare  ahli  pikir  untuk
mencoba  berlomba  menjawabnya.  Semakin  seorang  ahli  pikir
mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula
ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki,  yang  berarti
semakin  terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan  jati  diri  manusia  ini  secara  eksplisit
dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
 
Nietzsche  proclaims  the  will to power, Freud signalizes the
sexual instinct, Marx enthrones the  economic  instinct.  Each
theory  becomes a Procrustean bed in which the empirical facts
are stretched to fit a preconceived  pattern.  Owing  to  this
development  our  modern  theory  of man lost its intellectual
center. We acquired instead a  complete  anarchy  of  thought.
(Ernst Cassier, 1978, p.21)
 
Krisis  pengenalan  diri  sesungguhnya  tidak  hanya dirasakan
kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga  di  kalangan
Islam.   Terjadinya  ideologisasi  terhadap  ilmu-ilmu  agama,
secara sadar atau tidak,  telah  menghantarkan  pada  persepsi
yang  terpecah  dalam  melihat  manusia dan hubungannya dengan
Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak  langsung
ilmu  ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha
Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek  yang  cenderung
membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan
Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada  akhirnya
akan  menuntut  imbalan  pahala  atas ketaatannya melaksanakan
dekrit-Nya.
 
Demikianlah,  bila  ilmu  fiqih  cenderung  mengenalkan  Tuhan
sebagai  Maha  Hakim,  maka  ilmu  kalam lebih menggarisbawahi
gambaran Tuhan  sebagai  Maha  Akal,  sementara  ilmu  tasawuf
memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
 
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada
dasarnya yang bertuhan adalah manusia,  di  mana  manusia  itu
lahir,  tumbuh  dan  berkembang  dibentuk dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
Jadi,   bila  langkah  pertama  untuk  mengenal  Tuhan  adalah
mengenal diri  sendiri  terlebih  dahulu  secara  benar,  maka
langkah   pertama  yang  harus  kita  tempuh  ialah  bagaimana
mengenal diri kita secara benar.
 
Meskipun   Cassirer   secara   gamblang   menunjukkan   krisis
pengenalan  diri,  secara  sederhana  kita bisa membedakan dua
paradigma  pemahaman   terhadap   manusia,   yaitu   paradigma
materialisme-atheistik    dan   spiritualisme-theistik.   Yang
pertama berkeyakinan pada teori bahwa  semua  realitas  materi
(downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa
dunia  materi  ini  hakikatnya  berasal  dari  realitas   yang
bersifat imateri (upward causation).
 
Bagi  mereka  yang  berpandangan  atau  terbiasa dengan metode
berpikir  empirisme-materialistik  akan  sulit  diajak   untuk
menghayati  makna  penyempurnaan  kualitas  insani sebagaimana
yang lazim diyakini di kalangan  pare  sufi.  Kritik  terhadap
aliran  materialisme  akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan
mudah dijumpai  pada  berbagai  bidang  studi  keilmuan  Barat
kontemporer   dengan  dalih,  antara  lain,  faham  ini  telah
mereduksi keagungan  manusia  yang  dinyatakan  Tuhan  sebagai
moral and religious being.
 
Ralph  Ross,  misalnya,  memberikan contoh yang amat sederhana
tetapi gamblang betapa miskinnya penganut  materialisme  dalam
memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.
 
Progressive  reductionism  works  as follows. An art object is
only mass and light waves; an act of love only  chemiphysical,
only  electrical  charges; therefore, the art object or act of
love is only a flow of electricity. (Ralph  ross,  1962,  hal.
8).
 
Pandangan  yang  begitu  dangkal  tentang manusia secara tegas
dikritik oleh al-Qur'an. Menurut  doktrin  al-Qur'an,  manusia
adalah   wakil   Tuhan   di   muka   bumi  untuk  melaksanakan
'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS.
2:3).  Lebih  dari  itu  dalam tradisi sufi terdapat keyakinan
yang begitu populer bahwa  manusia  sengaja  diciptakan  Tuhan
karena   dengan   penciptaan   itu   Tuhan  akan  melihat  dan
menampakkan kebesaran diri-Nya.
 
Kuntu kanzan makhfiyyan  fa  ahbabtu  an  u'rafa  fa  khalaqtu
al-khalqa  fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk
maka melalui Aku mereka kenal Aku.
 
Terlepas  apakah  riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya
orang sufi menerima hadits  tersebut,  namun  dengan  beberapa
penafsiran  yang  berbeda.  Meski  demikian,  mereka cenderung
sepakat  bahwa  manusia  adalah  microcosmos   yang   memiliki
sifat-sifat   yang   menyerupai  Tuhan  dan  paling  potensial
mendekati Tuhan  (Bandingkan  QS.  41:53).  Dalam  QS.  15:29,
misalnya,  Allah  menyatakan  bahwa  dalam diri manusia memang
terdapat unsur Ilahi  yang  dalam  al-Qur'an  beristilah  "min
ruhi."  Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang
dan mata rantai eksistensi. Bila diurut  dari  bawah  unsurnya
ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
 
Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau
manusia masih berada dalam  lingkup  dunia  materi  dan  dunia
materi  selalu  menghadirkan  polaritas  atau fragmentasi yang
saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks  inilah
yang  dimaksud  bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia
materi adalah realitas yang terpecah  berkeping-keping.  Makin
berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran
realitas dunia,  dan  makin  jauh  pula  manusia  untuk  mampu
mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis
bahwa man has gained the mistery of the material world  before
knowing himself.
 
Dalam   kaitan   definisi,  tradisi  tasawuf  belum  mempunyai
definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti
tasawuf  adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran
nilai  seseorang  bukanlah  terletak   pada   wujud   fisiknya
melainkan  pada  kesucian  dan  kemuliaan hatinya, sehingga ia
bisa sedekat mungkin  dengan  Tuhan  yang  Maha  Suci.  Ajaran
spiritualitas  seperti  ini  tidak  hanya  terdapat pada Islam
melainkan pada agama  lain,  bahkan  dalam  tradisi  pemikiran
filsafat  akan  mudah  pula  dijumpai. Dari kenyataan ini maka
tidak  terlalu  salah  bila   ada   yang   berpendapat   bahwa
sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia
ke arah  kehidupan  mistik  bersifat  natural  dan  universal.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci
yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan)  karena
dalam  kontak  dan  kedekatan  antara  nurani dan Tuhan itulah
muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling  prima.  Kalangan
sufi  yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah
hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan  merupakan  natur
manusia   yang   paling   dalam,  yang  pertumbuhannya  sering
terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan  hewani
yang  melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang
bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir"  bagi  kendaraan
"jasad"  kita  ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan
otonominya  sebagai  master.  Bila  hal   ini   terjadi   maka
terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi
difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada  prestasi  akumulasi
dan  konsumsi  materi.  Artinya,  jiwa  yang tadinya duduk dan
memerintah   dari    atas    singgasana    "imateri"    dengan
sifat-sifatnya  yang  mulia seperti: cinta kasih, penuh damai,
senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci  dan
Abstrak,  lalu  turunlah  tahtanya ke level yang lebih rendah,
yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
 
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf  adalah  membantu  seseorang
bagaimana  caranya  seseorang bisa memelihara dan meningkatkan
kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia  merasa  damai  dan
juga  kembali  ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.
89:27).
 
Secara garis besar tahapan seorang mukmin  untuk  meningkatkan
kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau
ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan
kesadaran  hati  dan  pikiran  kita  kepada  Allah. Di manapun
seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan
berdzikir   untuk   Tuhannya  (QS.  3:191).  Dari  dzikir  ini
meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu,  secara  sadar
meniru  sifat-sifat  Tuhan  sehingga  seorang  mukmin memiliki
sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa  juga
disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri
manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan
Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
 
Maqam   ketiga   tahaqquq.   Yaitu,   suatu   kemampuan  untuk
mengaktualisasikan kesadaran  dan  kapasitas  dirinya  sebagai
seorang  mukmin  yang  dirinya  sudah "didominasi" sifat-sifat
Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan
mulia.  Maqam  tahaqquq  ini  sejalan dengan Hadits Qudsi yang
digemari kalangan sufi  yang  menyatakan  bahwa  bagi  seorang
mukmin  yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan
intimnya  dengan  Tuhan  maka  Tuhan  akan  melihat  kedekatan
hamba-Nya.
 
Dalam  tradisi  tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa
yang  disebut  gaib  atau  hati   dalam   pengertiannya   yang
metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa
hati seseorang bagaikan raja, sementara badan  dan  anggotanya
bagai  istana  dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan
kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
 
Dalam sebuah hadits Qudsi  disebutkan  bahwa  meskipun  secara
fisik  hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia,
namun  luasnya  hati  Insan  Kamil  (qalb  al-'arif)  melebihi
luasnya  langit  dan  bumi  karena  ia  sanggup menerima 'arsy
Tuhan,  sementara  bumi  langit  tidak  sanggup.  Menurut  Ibn
'Arabi,  kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub
yang bergerak atau berubah secara konstan.  Taqallub-nya  hati
sang  sufi,  kata  'Arabi,  adalah  seiring dengan tajalli-nya
Tuhan.  Tajalli  berarti  penampakan  diri  Tuhan   ke   dalam
makhluk-Nya   dalam  pengertian  metafisik.  Dan  dari  sekian
makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang  paling
mampu  menangkap  lalu  memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku
kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).
Dalam  konteks  inilah,  menurut  Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan
dengan  ungkapan  siapa  yang  mengetahui  jiwanya,  ia   akan
mengetahui  Tuhannya  karena manusia adalah "microcosmos" atau
jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di  situ,  tetapi  Tuhan
bukan  pengertian  huwiyah-Nya  atau  "ke-Dia-annya" yang Maha
Absolut dan Maha Esa, melainkan  Tuhan  dalam  sifat-Nya  yang
Dhahir, bukannya Yang Bathin.
 
KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA
 
Bila  upaya  penyucian  jiwa  merupakan  inti tasawuf, dan itu
dilakukan dalam upaya mendekati  dan  menggapai  kasih  Tuhan,
maka  tasawuf  bisa  dikatakan  sebagai  inti  keberagaman dan
karenanya setiap  muslim  semestinya  berusaha  untuk  menjadi
sufi.
 
Pandangan  semacam  itu  tentu  saja  kurang populer dan sulit
diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah  cukup
tegas  isyarat  al-Qur'an  maupun Hadits yang menyatakan bahwa
kewajiban setiap muslim  adalah  mensucikan  jiwanya  sehingga
kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?
 
Melalui   tahapan  ta'alluq,  takhalluq,  dan  tahaqquq,  maka
seorang mukmin akan mencapai  derajat  khalifah  Allah  dengan
kapasitasnya  yang  perkasa  tetapi  sekaligus penuh kasih dan
damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang  saleh  adalah
sekaligus  juga  wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga
di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print  dan  proyek
untuk  memakmurkan  bumi,  dan  bukankah  hamba-hamba-Nya yang
saleh telah dinyatakan sebagai  mandataris-Nya?  Jadi,  secara
karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak
asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di  hotel
mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,
1980.
 
Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul
'Arabi, Lahore, 1938
 
Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.
 
Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in
Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.
 
Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan
III, Princeton, 1982.
 
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, 1973
 
Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.
 
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,
1976.
 
Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team