Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

V.35. MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME
      DALAM EKSPRESI KEAGAMAAN                           (1/2)
 
Oleh Nurcholish Madjid
 
Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju  cita-cita
reformasi   Islam  di  Indonesia,  beliau  memperkenalkan  dan
mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur'an dari Juz 'Amma,
yaitu  surat  al-Ma'un  (QS  107).  Surat  itu  sendiri  sudah
merupakan bagian dari hafalan baku para santri, khususnya para
imam shalat, dan termasuk yang sering dibaca dalam shalat itu.
Tetapi,   sampai   dengan   tampilnya   Kyai   Dahlan   dengan
Muhammadiyahnya,  kaum  muslim  Indonesia seperti tidak pernah
tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan  tidak
pula  menyadari  betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal
gerakan  kemanusiaan   yang   besar   dan   mendalam   seperti
Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya. Seperti kita ketahui,
surat al-Ma'un itu terjemahnya, kurang lebih adalah:
 
    Pernahkah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang
    mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
    yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang
    miskin. Maka celakalah untuk orang-orang yang shalat,
    yaitu mereka yang akan shalat tetapi lalai, yaitu
    mereka yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan
    memberi pertolongan. [1]
 
Jelas sekali firman Allah itu menegaskan bahwa kepalsuan dapat
terjadi  dalam  sikap  keagamaan kita jika kita tidak memiliki
komitmen  batin  kepada  usaha-usaha,  yang  menurut   istilah
sekarang, menegaskan keadilan sosial. Disebutkannya anak yatim
dan   orang   miskin,   adalah   karena    mereka    merupakan
kelompok-kelompok  sosial yang paling memerlukan usaha bersama
untuk memperbaiki nasib mereka. Anak yatim  dan  orang  miskin
mewakili  seluruh anggota masyarakat yang tidak beruntung oleh
berbagai sebab dan cara.
 
Penilaian diri  kita  sebagai  pendusta  agama  atau  beragama
secara  palsu karena tidak memiliki komitmen sosial yang makin
diperburuk oleh tingkah laku lahiriah kita sendiri yang nampak
seperti  menjalankan ibadat formal, namun tidak menghayati dan
tidak mewujud-nyatakan hikmahnya. Dikatakan semakin diperburuk
karena   kepalsuan  kita  dalam  beragama  memperoleh  bungkus
kebajikan berupa  amalan  ibadat  lahiriah,  dan  bungkus  itu
dengan  sendirinya  akan  mempunyai  dampak  penipuan.  Karena
itulah Allah mengutuk orang  yang  menjalankan  ibadat  formal
serupa  itu  namun  ia  lupa  atau  lalai  akan  ibadat mereka
sendiri. Artinya, sementara  kita  mungkin  rajin  menjalankan
ibadat-ibadat  formal  seperti  shalat, namun ibadat itu tidak
mempengaruhi tingkah  laku  kita  yang  lebih  mendalam,  yang
tingkah laku itu bakal membentuk budi pekerti luhur [2]. Sebab
mungkin  kita   sendiri   tidak   merasa,   kita   menjalankan
ibadat-ibadat   hanyalah  untuk  memenuhi  kemestian-kemestian
sosial kultural semata, seperti kemestian yang ada  pada  pola
pergaulan    dalam   suatu   kelompok,   misalnya,   "kelompok
orang-orang Islam."  Artinya,  kita  melakukan  ibadat  karena
menghayati  bahwa  shalat  adalah  perintah  Allah  lalu tidak
menghayati apa makna shalat itu yang lebih mendalam dan  luas.
Jadi  sesungguhnya  kita  menjalankan ibadat itu karena pamrih
atau riya', sekurang-kurangnya  mungkin  sekali  kita  sekedar
pamrih kepada sesama anggota kelompok Islam. Indikasinya ialah
keseganan untuk  berkorban  guna  memberi  pertolongan  kepada
orang yang perlu, biarpun sedikit. [3]
 
AGAMA DAN AKHLAQ
 
Surat al-Ma'un memperingatkan kita bahwa beragama dengan tulus
tidaklah  cukup  hanya  dengan  mengerjakan  segi-segi  formal
keagamaan  seperti  shalat,  puasa,  haji, dll. Keagamaan yang
sejati menuntut adanya wujud nyata konsekuensi  ibadat,  yaitu
budi  pekerti  yang  luhur,  yang  dibidikkan oleh ibadat itu.
Sebuah Hadits yang amat terkenal mengisyaratkan  bahwa  tujuan
tugas  suci  atau  risalah  dibangkitkannya Nabi s.a.w. adalah
untuk menyempurnakan  berbagai  keluhuran  budi.  [4]  Sejalan
dengan  ini  Nabi  juga  menggambarkan  bahwa  diantara  semua
kualitas manusia, tidak ada yang timbangan  atau  bobot  nilai
kebaikannya  lebih  erat daripada budi pekerti luhur. [5] Lalu
beliau gambarkan bahwa yang paling banyak menyebabkan  manusia
masuk surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi. [6]
 
Penegasan-penegasan  Nabi itu merupakan kelanjutan dari ajaran
al-Qur'an tentang apa yang dinamakan nilai kebajikan  (al-birr
atau 'amal shalih). Allah swt. menegaskan "Kamu sekalian tidak
akan memperoleh kebajikan sebelum  kamu  mendermakan  sebagian
dari  (harta)  yang  kamu cintai." [7] Dan penegasan-Nya lagi,
yang lebih terinci:
 
    Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan mukamu
    ke timur dan ke barat.Tetapi kebajikan ialah (jika)
    orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para
    malaikat, kitab-kitab suci dan para nabi;
    dan orang yang mendermakan hartanya, betapapun cinta
    orang itu kepada harta tersebut. Untuk kerabat,
    anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di
    perjalanan, peminta-minta, dan untuk membebaskan para
    budak; dan orang yang menepati janji jika membuat
    janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan,
    kesusahan dan masa perang. Mereka itulah orang-orang
    benar (tulus), dan mereka itulah orang-orang yang
    berbakti (bertaqwa). [8]
 
Dalam kaitan itu  menarik  sekali  memperhatikan  komentar  A.
Yusuf Ali atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya:
 
    Seakan untuk menekankan lagi peringatan melawan
    formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang
    indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan.
    Orang itu harus mentaati aturan-aturan yang membawa
    kebaikan, tapi ia harus memusatkan pandangannya kepada
    cinta Tuhan dan cinta sesama manusia. Kita diberi empat
    pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita
    harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan
    kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi
    warga masyarakat yang baik, yang mendukung
    organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita
    sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala
    keadaan. Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih
    dapat dipandang secara terpisah.
    
    Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus
    menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita
    sadari itu, hal-hal besar menjadi kecil di depan mata
    kita segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini
    akan tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat
    Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini. Kita
    juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan
    ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari
    kita, melainkan datang dalam pengalaman kita sendiri.
    
    Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai nilai
    hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari
    motif-motif yang lain. Dalam hal ini, juga, kewajiban
    kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud jenjang
    yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim
    (termasuk siapa saja yang tidak punya topangan hidup
    atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan
    pertolongan tetapi tidak pernah meminta (kewajiban kita
    menemukan mereka itu), dan mereka didahulukan sebelum
    orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta,
    yakni, bukan sekedar pengemis yang malas tetapi orang
    yang memerlukan bantuan kita dalam bentuk tertentu
    (kewajiban kita untuk tanggap kepada mereka); dan
    budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat
    kita lakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan
    mereka). Perbudakan mengandung berbagai bentuk yang
    tersembunyi dan berbahaya dan semuanya tercakup di
    situ. [9]
    
    Dalam menafsir firman itu, Muhammad Asad menegaskan
    bahwa al-Qur'an menekankan prinsip yang semata-mata
    mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi
    persyaratan kebajikan. Disebutnya masalah menghadapkan
    wajah ke arah ini atau itu dalam sembahyang adalah
    kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan
    ayat-ayat sebelumnya.[l0] Dan memang menghadapkan muka
    ke arah tertentu dalam ibadat hanyalah bentuk formal
    lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak
    seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai tujuan
    dalam dirinya sendiri sementara tujuan yang sebenarnya
    terlupakan.
 
Jadi, agama kita mengajarkan bahwa  formalitas  ritual  belaka
tidaklah  cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu
juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita
menuju  kebahagiaan,  sebelum  kita  mengisinya dengan hal-hal
yang lebih esensial. Justru sikap-sikap membatasi  diri  hanya
kepada   hal-hal  ritualistik  dan  formal  akan  sama  dengan
peniadaan tujuan agama yang  hakiki.  Prinsip  ini  dipertegas
oleh Nabi saw dalam sebuah Hadits mengenai dua wanita:
 
    Abu Hurayrah meriwayatkan prinsip penting yang
    diajarkan Nabi ini, yang memberi peringatan keras
    kepada orang yang suka pamer kebajikan palsu dan
    kemunafikan dalam menekuni segi-segi forma keagamaan.
    Seseorang yang datang kepada Nabi dan menceritakan
    tentang seorang wanita yang rajin mengerjakan shalat,
    puasa dan zakat, tetapi lidahnya selalu menyakiti sanak
    keluarganya. Maka Nabi saw bersabda, "Tempat dia di
    neraka!." Kemudian orang itu menceritakan tentang
    seorang wanita yang kedengarannya jelek, karena ia
    melalaikan shalat dan puasa, namun ia rajin memberi
    pertolongan kepada orang-orang sengsara, dan tidak
    pernah menyakiti hati sanak keluarganya. Maka Rasul saw
    bersabda, "Tempat dia di surga."
 
Seorang tokoh Islam Indonesia,  Prof.  A.  Mukti  Ali,  pernah
mengatakan  bahwa  orang-orang  Muslim  banyak yang lebih peka
kepada  masalah-masalah  keagamaan  daripada   masalah-masalah
sosial.  Yang  dimaksud  ialah,  banyak orang Islam yang lebih
cepat bereaksi kepada gejala-gejala  yang  dinilai  menyimpang
dari  ketentuan  lahiriah keagamaan, seperti soal pakaian atau
tingkah "tidak sopan" dan  "tidak  bermoral"  tertentu,  namun
reaksi   kepada  masalah-masalah  kepincangan  sosial  seperti
kemiskinan dan kezaliman masih  lemah.  Maka  Hadits  di  atas
dapat  dirujuk  sebagai  sebuah  ilustrasi  tentang  apa  yang
dikatakan Prof. Mukti Ali itu, dan di situ nampak  bahwa  Nabi
saw  justru  lebih peka pada masalah-masalah sosial yang lebih
substantif daripada masalah-masalah  formal  keagamaan  semata
yang simbolik.
 
TAUHID ESENSI, BUKAN TAUHID NAMA
 
Dzikr atau ingat kepada Tuhan adalah salah satu  bentuk  ritus
yang  amat penting dalam agama Islam. Sebetulnya dzikir adalah
lebih banyak sikap hati (dzat al-shadr), yang secara  langsung
atau  tidak,  dapat  dipahami  dari berbagai sumber suci dalam
al-Qur'an dan Sunnah. Namun dzikr juga dapat melahirkan gejala
formal,  seperti  pengucapan  atau  pembacaan  kata-kata  atau
lafal-lafal tertentu dari perbendaharaan keagamaan,  khususnya
kata-kata  atau  lafal  yang  berkaitan  dengan  Tuhan seperti
"Allah" dan "La  ilaha  illa  'l-lah".  Selain  lafal  "Allah"
sebagai  lafal  keagungan  (lafzh al-jalalah) karena merupakan
nama Wujud Maha Tinggi yang utama  juga  terdapat  lafal-lafal
lain  yang  merupakan nama-nama Wujud Maha Tinggi itu, seperti
al-Rahman, al-Rahim, al-Ghaffar, al-Razzaq, dll,  dari  antara
nama-nama terbaik (al-asma al-husna) Tuhan.
 
Dalam  Kitab Suci al-Qur'an terdapat sebuah firman yang isinya
petunjuk kepada Nabi saw menghadapi orang-orang  musyrik  Arab
yang menolak adanya nama lain, selain nama "Allah" untuk Wujud
Maha Tinggi.  Sebab  pada  saat  itu  al-Qur'an  mulai  banyak
menggunakan  nama  al-Rahman,  yang  selama  ini tidak dikenal
orang Arab yang selama ini menggunakan  nama  Allah  (al-Lah).
Karena salah paham, kaum musyrik Arab mengira bahwa Nabi tidak
konsisten dalam mengajarkan paham  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.
Dalam  pandangan mereka yang keliru itu, jika Dzat Yang Mutlak
itu mempunyai nama lain, berarti Ia tidak Maha Esa,  melainkan
berbilang  sebanyak  nama yang digunakan. Maka turunlah firman
Allah, memberi petunjuk kepada Nabi dalam menghadapi mereka:
 
    "Katakan (hai Muhammad), "Serulah olehmu sekalian
    (nama) Allah atau serulah olehmu sekalian (nama)
    al-Rahman, nama manapun yang kamu serukan, maka bagi
    Dia adalah nama-nama yang terbaik". Dan janganlah
    engkau (Muhammad) mengeraskan shalatmu, jangan pula kau
    lirihkan, dan carilah jalan tengah antara keduanya."
    [12]
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team