Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

I.2. MASALAH TA'WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL- QUR'AN
oleh Nurcholish Madjid                                   (2/2)
 
Unsur  Neo-Platonis  Kaum  Kebatinan ini kemudian muncul dalam
karya kefilsafatan besar  --yang  ditulis  sekelompok  sarjana
yang  menamakan  diri  mereka  Ikhwan  al-Shafa' (Persaudaraan
Suci)-- Risalat Ikhwan al-Shafa.
 
Selain  unsur   Neo-Platonis,   paham   kebatinan   ini   juga
menunjukkan  tanda-tanda  adanya pengarah Manicheanisme, yaitu
suatu pecahan agama  Majusi  (Zoroastrianisme).  Diduga  bahwa
orang-orang  Persi  penganut  Manicheanisme di zaman Abbasiyah
secara  rahasia  masuk  Islam  dan  memeluk  paham   kebatinan
kalangan  kaum  Isma'ili.  Paham  Sy'iah  Isma'iliyyah bertemu
dengan Manicheanisme dalam ajaran  yang  hendak  memberi  pada
penganutnya  "kearifan  dan  martabat  kosmis" yang budi kasar
orang umum tak mampu menggapainya. Sedikit sekali  kemungkinan
orang   luar   lingkungan   sendiri   akan   diberi  pengakuan
kemanusiann yang penuh. Pandangan  hidup  kaum  Isma'ili  yang
sangat  esoteris  (bathini)  itu  telah membuat mereka sebagai
salah satu kelompok yang paling eksklusifistik dalam Islam.
 
Tapi lain dari Manucheanisme, kebatinan kaum  Isma'ili  sangat
menekankan   pembangunan  praktis  susunan  masyarakat  dunia,
sebagai  bentuk  keterlibatan  nyata  mereka   dalam   sejarah
kemanusiaan.  [6]  Mereka  itu  kini  dipimpin  Aga  Khan yang
terkenal itu. Mereka tidak saja menjadi sponsor atas  kegiatan
kultural  dan ilmiah yang antusias, tapi juga banyak mendorong
kemajuan masyarakat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat
Islam  sendiri.  (Sebagai  misal,  mereka memberi award bidang
arsitektur Islam  kepada  Pesantren  Pabelan,  Magelang,  Jawa
Tengah,  atas dasar konsep tentang arsitektur Islam masa depan
yang  cukup  revolusioner,  yang  menurut   penilaian   mereka
diwakili  rintisannya  oleh pesantren itu). Mereka juga banyak
mengadakan  pameran  benda-benda  seni  peninggalan  Islam  di
kota-kota  besar  dunia  (1983  di  New  York),  suatu  bentuk
kegiatan yang dimungkinkan oleh minat mereka yang besar kepada
usaha  memelihara  warisan  sejarah Islam. Mereka juga terdiri
dari kaum bisnis dan wirausahawan yang sukses, seperti  tampak
nyata di banyak kawasan Afrika Timur.
 
PANDANGAN KAUM SUNNI
 
Dari  satu  segi,  pertumbuhan  historis paham Sunni merupakan
gabungan dua komponen, yang pertama  komponen  ideologis,  dan
yang  kedua  komponen  politik pragmatis. Yang ideologis ialah
"Aliran Penduduk Madinah"  (Madzhab  Ahl  al-Madinah)  seperti
dikemukakan    mereka    yang    tak    mau   terlibat   dalam
pertikaian-pertikaian politik saat itu, khususnya antara  'Ali
dan  Mu'awiyah  beserta  pengikut  masing-masing.  Mereka  ini
dipelopori 'Abdullah ibn 'Umar, Muhammad  ibn  Maslamah,  Said
ibn  Abi  Waqqash, Usamah ibn Zayd, Abu Bakrah, dan 'Imran ibn
Hasyim. Bahkan, menurut Ibn Taymiyyah, madzab Madinah itu juga
didukung   oleh   sebagian   besar   "para   pelopor  pertama"
(al-sabiqun al-awwalun). [7]
 
Yang  politik  pragmatis,  ialah  sikap   mendukung   sebagian
terbesar  kaum  Muslim  kepada Mu'awiyah sebagai Khalifah yang
sah berkedudukan di Damaskus, Syria.  Khususnya  yang  terjadi
pada  tahun 41 H yang sering disebut para ahli sejarah sebagai
"Tahun Persatuan" ('Am al-Jama'ah). [8]
 
Mungkin disebabkan latar belakang pertumbuhan historisnya  itu
maka   paham   Sunni   ditandai  semangat  umum  moderasi  dan
akomodasi. Salah satu wujud semangat itu  tampak  dalam  paham
Sunni  menghadapi  masalah  ta'wil  itu.  Kaum  Sunni  umumnya
menerima   adanya   intepretasi   metaforis,    tapi    dengan
pembatasan-pembatasan   begitu   rupa   sehingga   masih  bisa
dikuasai. Kaum Sunni  --yang  secara  garis  besar  perjalanan
sejarahnya   hampir   selalu   paralel  dengan  susunan  mapan
masyarakat   Islam--   sangat   mengkhawatirkan,    pendekatan
metaforis   pada   agama   akan   mempunyai   efek  melemahnya
sendi-sendi dan kesadaran hukum masyarakat banyak. Sebab  jika
pintu  interpretasi  metaforis  itu  ditenggang  dengan  tidak
hati-hati, maka bagaikan membuka Kotak Pandora,  semua  bagian
dari ajaran agama akan habis diinterpretasikan, sehingga tidak
ada lagi sisa yang bersifat pasti. Interpretasi metaforis atau
ta'wil tidak saja selalu bersifat abstrak dan intelektualistik
--yang tak terjangkau masyarakat banyak-- tapi juga senantiasa
menyediakan "lubang pelarian" (loop hole) di bidang hukum bagi
mereka  yang  kesadaran  hukumnya  lemah.  Tapi,   sebaliknya,
menutup   samasekali   kemungkinan   mengadakan   ta'wil  akan
menghadapkan orang-orang Muslim  yang  serius  pada  kesulitan
mengartikan    berbagai    pelukisan    tentang   Tuhan   yang
antropomorfis (yakni, menyerupai manusia; misalnya, keterangan
dalam  al-Qur'an bahwa Tuhan mempunyai tangan, wajah dan mata,
bahwa Dia bertahta di  Singgasana,  merasa  senang  dan  tidak
senang,  dan  seterusnya).  Sebab  pelukisan antropomorfis itu
tidak sesuai dengan penegasan Kitab Suci sendiri  bahwa  Tuhan
tidak  sebanding,  dan tidak bisa disamakan dengan sesuatu apa
pun  juga.  Paling   jauh,   jika   mereka   tidak   melakukan
interpretasi,  mereka  tetap  menolak  antropomorfisme, dengan
mengatakan bahwa sekali pun  disebutkan  Tuhan  itu  mempunyai
tangan,  wajah,  mata  dan  lain-lain, namun tangan, wajah dan
mata Tuhan itu tidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti
manusia,  dan  "tanpa  bagaimana" (bi-la kayfa). Inilah metode
al-Asy'ari, rujukan utama paham  Sunni  dalam  ilmu  Ketuhanan
atau akidah. [9]
 
Masih  dalam  konteks  paham  Sunni  tentang  ta'wil  ini, Ibn
Taymiyyah   mengemukakan   pandangan   yang   cukup   menarik.
Berdasarkan firman Allah, "Kitab Suci penuh berkah, yang telah
Kami turunkan kepada engkau (Muhammad), agar mereka  (manusia)
merenungkan  ayat-ayatnya, dan agar mereka yang berpengetahuan
mendalam menangkap pesannya"  [10]  Ibn  Taymiyyah  mengatakan
bahwa   yang  harus  direnungkan  itu  ialah  semua  ayat-ayat
al-Qur'an,  baik  yang  muhkamat  maupun  mutasyabihat.  Hanya
hal-hal   yang   maknanya  tak  masuk  akal  saja  yang  tidak
direnungkan, dan hal yang tak masuk akal  itu  tak  ada  dalam
al-Qur'an.   Maka   Allah   memuji   mereka  yang  merenungkan
firman-firman-Nya,   baik   yang    muhkamat    maupun    yang
mutasyabihat,  sebagaimana  perintah  untuk itu dapat dipahami
dari firman-Nya, "Apakah mereka  (manusia)  tidak  merenungkan
al-Qur'an,  ataukah  sebenarnya  hati mereka telah tersumbat?"
[11] Karena itu,  kata  Ibn  Taymiyyah,  Allah  dan  Rasul-Nya
tidaklah   mencela  orang  yang  merenungkan  makna  di  balik
ungkapan-ungkapan ayat-ayat  mutasyabihat    dalam   al-Qur'an
kecuali  jika  dilakukan  dengan maksud menimbulkan perpecahan
dan mencari-cari interpretasinya yang tidak masuk akal. [12]
 
Pandangan hampir serupa dianut juga oleh Abdullah  Yusuf  Ali,
sarjana  Muslim  di  zaman  modern ini, dan penafsir al-Qur'an
terkemuka Terhadap firman  Allah  berkenaan  dengan  ayat-ayat
muhkamat dan mutasyabihat  yang dikutip di atas tadi, Abdullah
Yusuf Ali memberi komentar sebagai berikut,
 
Ayat ini memberi kita suatu kunci penting  untuk  interpretasi
al-Qur'an.  Secara  garis  besar al-Qur'an itu dapat dibagi ke
dalam dua bagian, yang tidak diberikan secara  terpisah,  tapi
tumpang  tindih;  yaitu,  pertama, inti atau dasar Kitab Suci,
secara harfiah "Induk Kitab  Suci,"  dan  kedua,  bagian  yang
bersifat  figuratif, metaforis dikenakan kepada esensi itu, di
seluruh Kitab Suci. Kita harus    mencoba  memahaminya  sebaik
mungkin,  tetapi  tak  boleh  menyia-nyiakan energi kita dalam
memperdebatkan sesuatu yang  berada  di  luar  kedalaman  diri
kita. [13]
 
Seorang   sarjana   Muslim  modern  penafsir  al-Qur'an  lain,
Muhammad Asad, juga berpegang pada pandangan yang  sama  dalam
masalah  ta'wil  ini.  Asad berpendapat bahwa al-Qur'an memang
mengandung ayat-ayat yang pasti maknanya  tanpa  samar,  namun
kebanyakan   justru   firman-firman  yang  metaforis.  Menurut
sarjana     ini,     sifat     alegoris     atau     metaforis
keterangan-keterangan  dalam  Kitab  Suci  itu tak dapat tidak
harus digunakan sebagai metodologi  penyampaian  pesan,  sebab
manusia  tidak  akan  dapat  memahami  sesuatu yang samasekali
abstrak, yang tidak ada asosiasinya dengan apa yang sudah  ada
dalam  alam pikirannya. Namun manusia, dalam usahanya memahami
keterangan-keterangan  suci  itu,  tak  dibenarkan  menganggap
perolehannya  sebagai  mutlak  dan  final,  sebab  "tidak  ada
kesalahan   yang   lebih   besar   daripada   berpikir   bahwa
"terjemahan-terjemahan" (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa
manusia) itu dapat memberi  definisi  pada  sesuatu  yang  tak
mungkin didefinisikan." [14]
 
PENUTUP
 
Telah   dikatakan,   bahwa   tujuan  kita  membahas  persoalan
interpretasi metaforis ini antara lain ialah untuk mendapatkan
kesadaran  tentang  suatu  dimensi  pemahaman  keagamaan dalam
Islam yang ikut memberi corak keanekaragaman  kaum  Muslim  di
dunia.  Dari  uraian  di atas diharapkan ada sedikit kejelasan
bahwa masing-masing kelompok atau aliran dalam Islam  memiliki
reasoning  mereka sendiri dalam memilih suatu pemahaman agama.
Sebagian dari reasoning itu tentu saja,  bersumber  pada  atau
bersifat  murni keagamaan. Tapi juga tidak sedikit daripadanya
yang  semata-mata  merupakan  hasil  interaksi  antara  sesama
orang-orang  Muslim  sendiri  atau  antara  orang-orang Muslim
dengan non-Muslim dalam sejarah. Dan  sementara  kita  melihat
orang lain demikian, pada waktu yang sama kita harus menyadari
bahwa  orang  lain  pun  melihat  kita  demikian.  Dari  sudut
pandangan  inilah  absurd-nya  pengakuan  diri sendiri sebagai
yang  paling  benar,  meskipun  dari  sudut  pandangan   lain,
keyakinan,  misalnya,  pengakuan  itu mungkin dibenarkan saja,
atau malah secara logis diperlukan. Namun, --seperti dikatakan
Abdullah Yusuf Ali yang telah dikutip-- seorang yang bijaksana
tak boleh bersikap dogmatis,  sebab  --seperti  kata  Muhammad
Asad   tadi--   kita   sebenarnya   hendak  menggapai  sesuatu
(Kebenaran Mutlak) yang tidak bakal tergapai.
 
Maka yang benar  ialah  menerapkan  sikap  "ragu  yang  sehat"
(healthy scepticism), atau memberi orang lain apa yang disebut
"hikmah keraguan" (benefit of doubt)  dalam  pergaulan  sesama
manusia,  khususnya  sesama  Muslim.  Ini  sejalan dengan yang
dipesankan Tuhan  sendiri  dalam  ajaran-Nya  tentang  prinsip
persaudaraan  di  antara  orang-orang  beriman  dan  bagaimana
memeliharanya,  'Wahai  sekalian  orang-orang  yang   beriman,
janganlah  ada suatu kaum di antara kamu yang memandang rendah
kaum yang lain, kalau-kalau mereka yang dipandang  rendah  itu
lebih baik daripada mereka yang memandang rendah..." [15]
 
 
CATATAN
 
1. QS. 'All 'Imran 3:7.
   
2. Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-Hikmah wa
   al-Syari'ah min al-Ittishal. (Lihat terjemahnya, dalam buku
   kami, Khazanah Intelektual Islam [Jakarta: Bulan Bintang,
   1984], khususnya h. 217-8).
   
3. Tuduhan Ibn Taymiyyah itu dinyatakan dalam risalahnya,
   Ma'arij al-Wushul fi Ma'rifat anna Ushul al-Din wa Furu'a-hu
   qad Bayyana-ha al-Rasul. Lihat dalam buku kami, Khazanah,
   khususnya, h. 249).
   
4. Pandangan seperti ini, misalnya, dianut Ibn Sina
   (Avicenna). Lihat risalahnya, Itsbat al-Nubuwwat, yang kami
   terjemahkan dalam buku kami, Khazanah, hh. 137-51.
   
5. Ibn Rusyd, (dalam Khazanah), op. cit., hh. 230-1
   
6. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid,
   (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 1, h.
   378-9.
   
7. Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdl
   Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid, (Riyadl: Maktabat
   al-Riyadl al-Haditsah, tt.), jil. 1 h. 193.
   
8. Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri'
   al-lslami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H 1967 M), h. 110.
   
9. Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibanah'an Ushul al-Diyanah
   (Idarat al-Thiba'at al-Muniriyyah, 1348 H), h. 8-9.
   
10. QS. Shad/38:29.
   
11. QS. Muhammad/47:24.
   
12. Ibn Taymiyyah, al-Iklil fi al-Mutasyabih wa al-Ta'wil
   (Kairo: Dar al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1973), h. 8-9.
   
13. This passage gives us an important clue to the
   interpretation of the Qur'an. Broadly speaking it may be
   divided into two portions, not given separately, but
   intermingled; viz. (1) the nucleus or foundation of the Book,
   literally "the mother of the Book," and (2) the part which is
   figurative, metaphorical, allegorical. It is very fascinating
   to take up the latter, and exercise our ingenuity about its
   inner meaning, but it refers to such a profound spiritual
   matters that human language is inadequate to it, and though
   people of wisdom may get some light from it, no one should be
   dogmatic, as the final meaning is known to God alone. The
   Commentators usually understand the verses "of established
   meaning" (muhkam) to refer to the categarical orders of the
   Syari'at (or the Law), which are plain to everyone's
   understanding. But perhaps the meaning is wider: the "mother
   of the Book" must include the very foundation on which all Law
   rests, the essence of God's message, as distinguished from the
   various illustrative parables, allegoric, and ordinance
   
   If we refer to xi-1 and xxxix-23, we shall find that in a
   sense the whole of the Qur'an has both "established meaning"
   and allegorical meaning. The division is not between the
   verses, but between the meanings attached to them. Each verse
   is but a Sign or Symbol: what it presents is something
   immediately applicable, and something eternal and independent
   of time and space, --the "Forms of Ideas" in Plato's
   Philosophy. The wise man will understand that there is an
   "essence" and an illustrative clothing given to the essence,
   throughout the Book. We must try to understand it as best as
   we can but not waste our energies in disputing about matters
   beyond our dept (A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation
   and Commentary, [Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H], h. 123,
   catatan 347).
   
14. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, appendix 1, h.
   991.
   
15. QS. Al-Hujarat/49:11.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team