Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD                              (1/4)
MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS
DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA            oleh Nurcholish Madjid
 
Jika  masalah  taqlid  dan  ijtihad  harus   ditelusuri   ke
belakang,  barangkali  yang paling tepat ialah kita menengok
ke  zaman  'Umar  ibn  al-Khathtab,  Khalifah  ke  II.  Bagi
orang-orang  muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan
kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh
klasik  persoalan  taqlid  dan  ijtihad. Salah satu hal yang
memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar  berkenaan
dengan  persoalan  pokok  ini  ialah isi suratnya kepada Abu
Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak:
 
"Adapun  sesudah  itu,  sesungguhnya  menegakkan  hukum  (al
qadla)   adalah  suatu  kewajiban  yang  pasti  dan  tradisi
(Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka  pahamilah  jika  sesuatu
diajukan  orang  kepadamu.  Sebab,  tidaklah  ada manfaatnya
berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat  dilaksanakan.
Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu,
keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang  berkedudukan
tinggi  (syarif)  tidak  sempat  berharap  akan  keadilanmu.
Memberi bukti adalah wajib  atas  orang  yang  menuduh,  dan
mengucapkan   sumpah   wajib  bagi  orang  yang  mengingkari
(tuduhan).    Sedangkan    kompromi    (ishlah,    berdamai)
diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi
yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan  hal  yang
halal.  Dan  janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali
pada yang benar berkenaan  dengan  perkara  yang  telah  kau
putuskan  kemarin  tetapi  kemudian engkau memeriksa kembali
jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu
yang  benar;  sebab  kebenaran  itu tetap abadi, dan kembali
kepada yang benar adalah lebih  baik  daripada  berketerusan
dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang
terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab  dan
Sunnah,   kemudian   temukanlah   segi-segi   kemiripan  dan
kesamaannya,  dan  selanjutnya   buatlah   analogi   tentang
berbagai  perkara  itu,  lalu  berpeganglah  pada  segi yang
paling  mirip  dengan   yang   benar.   Untuk   orang   yang
mendakwahkan  kebenaran  atau  bukti, berilah tenggang waktu
yang  harus  ia  gunakan  dengan  sebaik-baiknya.  Jika   ia
berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya
untuk dia sesuai dengan  haknya.  Tetapi  jika  tidak,  maka
anggaplah  benar  keputusan  (yang  kau  ambil) terhadapnya,
sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan,
dan  lebih  jelas  dari  ketidakpastian  (al-a'ma, kebutaan,
kegelapan) ... Barang siapa  telah  benar  niatnya  kemudian
teguh  memegang  pendiriannya, maka Allah akan melindunginya
berkenaan dengan apa  yang  terjadi  antara  dia  dan  orang
banyak.  Dan  barang  siapa  bertingkah laku terhadap sesama
manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari
dirinya  (tidak  tulus), maka Allah akan menghinakannya ..."
[1]
 
Dari kutipan surat  yang  lebih  panjang  itu  ada  beberapa
prinsip  pokok  yang  dapat  kita simpulkan berkenaan dengan
masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah:
 
Pertama, prinsip  keotentikan  (authenticity).  Dalam  surat
'Umar  itu  prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya
bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih
dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.
 
Kedua,  prinsip  pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas
ajaran dari Kitab dan Sunnah  untuk  mencakup  hal-hal  yang
tidak  dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu.
Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi.
Pengembangan  ini  diperlukan,  sebab  suatu  kebenaran akan
membawa manfaat hanya kalau  dapat  terlaksana,  dan  syarat
keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.
 
Ketiga,  prinsip  pembatalan  suatu  keputusan  perkara yang
telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah,  dan
selanjutnya,  pengambilan  keputusan  itu kepada yang benar.
Ini bisa  terjadi  karena  adanya  bahan  baru  yang  datang
kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.
 
Keempat,  prinsip  ketegasan dalam mengambil keputusan yang
menyangkut perkara yang kurang jelas  sumber  pengambilannya
(misalnya,  tidak  jelas  tercantum dalam Kitab dan Sunnah),
namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam
hal  ini  bagaimanapun  lebih  baik  daripada  keraguan  dan
ketidakpastian.
 
Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa  apapun
yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu
benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi  akibatnya  dalam
hubungan   dengan   sesama   manusia   (seperti   terjadinya
kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak  (dalam
bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").
 
Dari  prinsip-prinsip  itu,  prinsip keotentikan adalah yang
pertama dan utama, disebabkan  kedudukannya  sebagai  sumber
keabsahan.  Karena  agama  adalah sesuatu yang pada dasarnya
hanya  menjadi  wewenang  Tuhan,  maka   keotentikan   suatu
keputusan  atau  pikiran  keagamaan  diperoleh hanya jika ia
jelas memiliki dasar referensial dalam  sumber-sumber  suci,
yaitu  Kitab  dan  Sunnah.  Tanpa  prinsip  ini  maka  klaim
keabsahan keagamaan  akan  menjadi  mustahil.  Justru  suatu
pemikiran  disebut  bernilai  keagamaan  karena ia merupakan
segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci
agama itu.
 
TAQLID
 
Prinsip  keotentikan  juga  menyangkut  masalah  konsistensi
ketaatan pada asas. Konsistensi itu,  pada  urutannya,  akan
menjadi  batu  penguji  lebih lanjut tingkat keabsahan suatu
pemikiran. Karena itu  dalam  pengembangan  suatu  pemikiran
keagamaan  tidak  mungkin  dihindari kewajiban memperhatikan
hal-hal parametris dalam sistem ajaran  sumber-sumber  suci,
sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung
kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan
tempat).  Hal-hal  parametris  itu  dalam Kitab Suci disebut
sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna  jelas),
yang  juga  disebut  sebagai prinsip dasar atau induk ajaran
Kitab  Suci  (umm  al-Kitab),  kebalikan   petunjuk-petunjuk
metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat). [2]
 
Karena   keontentikan   dan   konsistensi   mengimplikasikan
penerimaan terhadap  suatu  postulat,  premis  atau  formula
dasar,  dengan  sendirinya  ia  juga mengandung makna taqlid
menurut makna asli (generik) kata-kata itu,  yakni,  sebelum
ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini
umum dipahami. Sebab, taqlid dalam  arti  generik  merupakan
unsur  sikap  menerima  kebenaran suatu postulat berdasarkan
pengakuan  bahwa  sumber  atau  pembuat  postulat  mempunyai
wewenang penuh dan tinggi.
 
Karena  salah  satu  konsekuensi  konsep tentang Tuhan ialah
konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan
penuh   keyakinan   terhadap   kebenaran  ajaran-Nya  dengan
sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman  kepada
Rasul  dan  ajaran-ajaran  yang  dibawa-Nya.  [3]  Iman yang
sempurna dengan sendirinya mengandung semangat sikap  pasrah
sepenuhnya.
 
Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut
masalah akumulasi informasi dan pengalaman.  Taqlid  sebagai
pola    penerimaan   otoritas   pendahulu   dalam   rentetan
pengembangan  ilmu  dan  pemikiran  hampir   tidak   mungkin
dihindari.   Sebab,   ekonomi  pemikiran  tidak  mengizinkan
terlalu  banyak  bersandar  pada  kemampuan  pribadi  secara
terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi
tanggung jawab sendiri,  dengan  keharusan  merintis  setiap
pengembangan  dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan
manusia seperti yang ada sekarang ini  yang  menandai  zaman
modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi
dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat  manusia
sepanjang  sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan
pengalaman   dan   pengawetan   serta   pelembagaan    dalam
karya-karya  intelektual  sepanjang  masa  itu menjadi pohon
tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa  itu
kekayaan  dan  kesuburan  seperti  yang  ada  sekarang  akan
menjadi sama sekali  mustahil.  Memulai  suatu  pengembangan
pemikiran  dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya
manusia manapun dari titik nol akan  hanya  berakhir  dengan
kemiskinan  (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha
itu sendiri.
 
Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan
dasar  penumbuhan  kekayaan intelektual yang integral, yakni
integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual
memiliki   akar-akar   dalam   sejarah.   Jadi,  keotentikan
historis, yang  keontentikan  itu  sendiri  diperlukan  jika
diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka,
untuk sekedar misal,  seorang  Albert  Camus  dalam  tradisi
intelektual  Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat
kontemporernya  tentang  eksistensialisme   absurdity   yang
kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral
tradisi  intelektual  di   sana   yang   akar-akarnya   bisa
ditelusuri  jauh  ke  masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.
Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang  Barat,  tidak
dapat  dipahami  tanpa  melihat salah satu jalur konsistensi
dan benang merah  pemikiran  Barat  itu  sendiri,  melintasi
zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep
absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia
adalah  salah  satu  hasil  pertumbuhan  kumulatif pemikiran
Barat. [4] Ia memiliki  keabsahan  sebagai  pemikiran  Barat
yang integral.
 
Jadi  keintegralan  dan  keotentikan  diperkuat  oleh adanya
konstinuitas tradisi yang berkembang.  Tetapi  segi  positff
taqlid  ini  hanya  terwujud  jika  ia  tidak  menjadi paham
tersendiri  yang  tertutup,  yang  tumbuh   menjadi   "isme"
terpisah.  Sebab,  taqlid seperti ini (yang barangkali lebih
tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan  sikap  penyucian
masa  lampau  dan  pemutlakan otoritas tokoh sejarah. Memang
benar, masa lampau selalu mengandung otoritas. Tapi,  justru
demi  pengembangan  bidang  yang  menjadi  otoritasnya, masa
lampau beserta tokoh-tokohnya harus senantiasa terbuka untuk
diuji  dan  diuji  kembali.  Pengujian  itu dilakukan dengan
pertama-tama,  menemukan  dan  menginsafi   segi-segi   yang
merupakan  imperatif  ruang  dan  waktu  yang ikut membentuk
suatu sosok pemikiran. Sebab, suatu  sosok  pemikiran  tidak
pernah  muncul  dan  berkembang  dari  kevakuman.  Ia selalu
merupakan hasil interaksi berbagai faktor, dan faktor  ruang
dan waktu acap kali dominan.
                                            (bersambung 2/4)
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team