Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.15. SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH (hal. 181)
oleh KH Ali Yafie
 
Kata syari'ah telah beredar luas di  kalangan  umat  muslim.
Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai
antara lain  pada  Surah  al-Jatsiyah:  18.  Pemakaian  kata
tersebut  mengacu  kepada  makna  ajaran dan norma agama itu
sendiri.  Dalam  perkembangan  Islam  munculnya  tiga   kata
thariqah,   haqiqah   dan   ma'rifah,   telah  mengakibatkan
terbatasnya  pengertian  syari'ah  sehingga   lebih   banyak
mengacu  pada  norma  hukum.  Sedangkan  tiga  kata  lainnya
menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf.  Karena  itu  ada
baiknya  kita  lebih  dahulu  berbicara  tentang tasawuf itu
sendiri.
 
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama,  mereka
adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam yang berada di
tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut  kelompok
formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri  dari   ulama-ulama   mutakallim   (ahli   teologi),
sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits
dan  fuqaha.  Kedua,  bahwa  tasawuf  itu   hanyalah   suatu
kecenderungan  spiritual  yang  membentuk  etika  moral  dan
lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya  kita  katakan
seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama sufiyah, begitu
pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
 
Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari
prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama   dalam   kehidupannya   sehari-hari.   Ibnu   Khaldun
mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf  adalah  kedisiplinan
beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah  (untuk
mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak
diperbudak   harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi
lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi  pada
kalangan   kaum   muslim  angkatan  pertama.  Pada  angkatan
berikutnya   (abad   2    H)    dan    seterusnya,    secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan  duniawi  menjadi  lebih  berat.   Ketika   itulah
angkatan  pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
 
Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak
perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga
di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra  "cerita  seribu
satu  malam"  dimasa  kejayaan  kekhalifahan Abbasiyah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga  mengalami  perkembangan  yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara
penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.
 
Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang
dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya
penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan
prinsip-prinsip  ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang  sudah  berkembang  selama  tiga
abad  -dengan  munculnya  disiplin  ilmu Tasawuf- terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk  penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya
para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.
 
Pada tahap  perkembangannya,  secara  berangsur-angsur  pola
pikir  dan  pola  hubungan  antara  ahli  syari'ah  dan ahli
haqiqah  makin   berbeda.   Dan   ini   menimbulkan   banyak
pertentangan   antara  kedua  kelompok  tersebut.  Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:
 
1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara
   berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
   formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
   para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran
   Islam.
 
2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para
   ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan
   diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan
   teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah
   al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal
   dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu
   dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.
 
3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan
   syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,
   kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas
   dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka
   sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.
 
4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai
   perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur
   dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan
   alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).
 
Jurang pemisah yang makin hari  makin  melebar  antara  ahli
syari'ah  dan  ahli  haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar
akhir  abad  kelima  Hijrah,  dan  Imam   Ghazali   berupaya
memulihkannya.  Dalam  kaitan  inilah  beliau  tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum  al-Din.  Dalam  buku  ini  beliau
mempertemukan   teori-teori   syari'ah   dengan  teori-teori
haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu  dalam
merukunkan  kembali  antara  para  ahli syari'ah dengan ahli
haqiqah.
 
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat
lembaga  keagamaan  non-formal  yang  namanya "tarekat" asal
kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat
Qadiriyah    yang    cukup    dikenal,   disamping   Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah.  Dalam
satu  dasawarsa  terakhir  ini,  kita melihat adanya langkah
lebih  maju  dalam  perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut
dengan  adanya  koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan   nama   Jam'iyah   Ahl
al-Thariqah   al-Mu'tabarah.   Pada   tahun   lima  puluhan,
pemerintah  Mesir  menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi
tarekat-terekat   tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan
Nasional  (Wizarah  al-Irsyad   al-Qaumi).   Pertimbangannya
ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu
merupakan  bagian  dari  potensi  bangsa/umat,  yang  berhak
mendapatkan  perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan
suatu negara.
 
Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,  ada  baiknya  kita
mempertanyakan   kapankah   munculnya   tarekat   (al-thuruq
al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan  tasawuf
Dr.  Kamil  Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan  sistem  thariqah  (tarekat)  itu Syekh Abdul
Qadir  al-Jilani  (w.  561  H/1166  M)  di  Baghdad.  Ajaran
tarekatnya  menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang
mendapat  sambutan  luas  di  Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa.
Sedangkan  di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i.  Dan  tempat
ketiga  diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal
al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273  M).  Beliau  membuat  tradisi
baru  dengan  menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana
dzikir. Kemudian sistem ini  berkembang  terus  dan  meluas.
Dalam  periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang
mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya,  dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya.
 
Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah munculnya Tarekat
Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip  disiplin
militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif  al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan
perlawanan  rakyat  yang  mampu memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris  secara  berturut-turut,  dan  akhirnya
membebaskan  wilayah  Libya.  Mungkin sifat keras dari iklim
yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah   yang   mewarnai
Mu'ammar  al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan berkuasa
sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
 
Nicholson mengungkapkan hasil  penelitiannya,  bahwa  sistem
hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat
yang  berbeda-beda  itu.  Semua  pengikutnya  dididik  dalam
disiplin  itu,  dan  pada  umumnya  tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya,  tapi  ada  beberapa
ciri yang menyamakan:
 
1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi
   penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan
   diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu
   menjalani masa persiapan yang berat.
 
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)
 
3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi
   dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa
   hari (kadang-kadang sampai 40 hari).
 
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam
   waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan
   alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat
   membina konsentrasi ingatan.
 
5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka
   yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang
   berlaku di luar kebiasaan.
 
6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau
   pembantunya yang tidak bisa dibantah
 
Dari sistem  dan  metode  tersebut  Nicholson  menyimpulkan,
bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi  untuk  membina  suatu  pendidikan  moral  dan
solidaritas  sosial.  Sasaran  akhir  dari pembinaan pribadi
dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih,  bersahaja,
tekun  beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah
yang diridlai Allah, dengan jalan  pengamalan  syari'ah  dan
penghayatan   haqiqah  dalam  sistem/metode  thariqah  untuk
mencapai ma'rifah.
 
Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah  dalam  terma  mereka
ialah  penghayatan  puncak  pengenalan  keesaan  Allah dalam
wujud  semesta  dan  wujud  dirinya  sendiri.   Pada   titik
pengenalan  ini  akan  terpadu  makna tawakkal dalam tawhid,
yang  melahirkan  sikap  pasrah  total  kepada  Allah,   dan
melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu
selain Allah.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa
   'l-Da'wah fi 'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.
Kamil Mushthafa al-Syibli,
   al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team