Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid                                   (1/4)
 
Di antara perbendaharaan kata dalam agama  Islam  ialah  iman,
Islam  dan  ihsan.  Berdasarkan  sebuah  hadits yang terkenal,
ketiga istilah itu memberi  umat  Islam  (Sunni)  ide  tentang
Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup.  Dalam
penglihatan  itu  terkesan  adanya semacam kompartementalisasi
antara  pengertian  masing-masing  istilah  itu,   seolah-olah
setiap  satu  dari  ketiga  noktah  itu  dapat dipahami secara
tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.
 
Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam
mengetahui  dengan  pasti  bahwa  Islam (al-Islam) tidak absah
tanpa iman (al-iman), dan  iman  tidak  sempurna  tanpa  ihsan
(al-ihsan).  Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan
iman juga tidak mungkin  tanpa  inisial  Islam.  Dalam  telaah
lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga
istilah itu terkait satu  dengan  yang  lain,  bahkan  tumpang
tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung
makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam  dan
ihsan,  dalam  Islam  terdapat  iman dan ihsan dan dalam ihsan
terdapat iman dan Islam. Dari  sudut  pengertian  inilah  kita
melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
 
Trilogi  itu  telah  mendapatkan ekspresinya dalam banyak segi
budaya Islam. Arsitektur masjid Indonesia yang banyak diilhami
oleh,  dan  pinjam  dari, gaya arsitektur kuil Hindu, mengenal
adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga.  Seni  arsitektur
itu  sering  ditafsirkan  kembali sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan  penghayatan  keagamaan  manusia,  yaitu  tingkat
dasar  atau  permulaan  (purwa),  tingkat menengah (madya) dan
tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Dan ini  dianggap
sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan, selain
juga ada tafsir kesejajarannya dengan syari'at,  thariqat  dan
ma'rifat.  Dalam  bahasa  simbolisme,  interpretasi  itu hanya
berarti penguatan pada apa yang secara laten telah  ada  dalam
masyarakat.
 
Berikut  ini  kita  akan  mencoba, berdasarkan pembahasan para
ulama,  apa  pengertian  ketiga  istilah  itu  dan   bagaimana
wujudnya   dalam   hidup   keagamaan  seorang  pemeluk  Islam.
Diharapkan  bahwa  dengan  memahami  lebih   baik   pengertian
istilah-istilah yang amat penting itu kemampuan kita menangkap
makna luhur agama dan pesan-pesan sucinya dapat ditingkatkan.
 
Pembahasan secara berurutan pengertian istilah-istilah di atas
-  pertama Islam, kemudian iman dan akhirnya ihsan - dilakukan
tanpa harus dipahami sebagai pembuatan kategori-kategori  yang
terpisah  -  sebagaimana sudah diisyaratkan - melainkan karena
keperluan untuk memudahkan pendekatan analitis belaka. Dan  di
akhir  pembahasan  ini  kita  akan  mencoba  melihat relevansi
nilai-nilai keagamaan dari iman,  Islam  dan  ihsan  itu  bagi
hidup  modern,  dengan  mengikuti pembahasan oleh seorang ahli
psikologi yang sekaligus seorang pemeluk  Islam  yang  percaya
pada  agamanya  dan mampu menerangkan bentuk-bentuk pengalaman
keagamaan Islam.
 
MAKNA DASAR ISLAM
 
Ada indikasi bahwa Islam adalah  inisial  seseorang  masuk  ke
dalam  lingkaran  ajaran  Ilahi.  Sebuah  Ayat Suci melukiskan
bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah  beriman  tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka
belumlah beriman melainkan baru ber-Islam,  sebab  iman  belum
masuk  ke  dalam  hati  mereka  (lihat, QS. al-Hujarat 49:14).
Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam  konteks
firman  itu,  kaum  Arab  Badui tersebut barulah tunduk kepada
Nabi secara lahiriah, dan itulah  makna  kebahasaan  perkataan
"Islam",  yaitu  "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang
terkenal yang menggambarkan  pengertian  masing-masing  Islam,
iman  dan  ihsan,  Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang
terdiri dari tiga unsur: Islam, iman  dan  ihsan,  yang  dalam
ketiga  unsur  itu  terselip  makna  kejenjangan:  orang mulai
dengan Islam, berkembang ke  arah  iman,  dan  memuncak  dalam
ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman
Allah,  "Kemudian  Kami  (Allah)  wariskan  Kitab  Suci   pada
kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada
yang (masih) berbuat  zalim,  dari  mereka  ada  yang  tingkat
pertengahan  (muqtashid),  dan  dari  mereka ada yang bergegas
dengan berbagai  kebijakan  dengan  izin  Allah"  (QS.  Fathir
35:32).  Menurut  Ibn  Taimiyah,  orang  yang menerima warisan
Kitab  Suci  (yakni,   mempercayai   dengan   berpegang   pada
ajaran-ajarannya)  namun masih juga berbuat zalim adalah orang
yang baru ber-Islam, menjadi  seorang  Muslim,  suatu  tingkat
permulaan  pelibatan  dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi  seorang  mu'min,  untuk
mencapai  tingkat  yang  lebih  tinggi, yaitu tingkat menengah
(muqtashid), yaitu orang yang telah  terbebas  dari  perbuatan
zalim,  namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam
tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri  dalam  kebenaran
itu  membuat  ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau
dzalim dan berbuat baik,  bahkan  ia  "bergegas"  dan  menjadi
"pelomba"  atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan
itulah orang yang telah ber-ihsan,  mencapai  tingkat  seorang
muhsin.  Orang  yang  telah  mencapai tingkat muqtashid dengan
imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah,
akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai  tingkat
ber-Islam  sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk
surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu.  Jika  ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn
Taimiyah, al-Iman  [Kairo:  Dar  al-Thiba'at  al-Muhammadiyah,
tt.], hal. 11).
 
Pada  saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi
nama sebuah agama,  khususnya  agama  yang  dibawa  oleh  Nabi
Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis  atau  sebuah
proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu
yang lebih mendalam,  yang  justru  banyak  diketemukan  dalam
Kitab  Suci.  Perkataan  itu,  sebagai  kata benda verbal yang
aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini
sikap  pasrah  atau  menyerahkan  diri kepada Tuhan. Dan sikap
itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar  dan
diterima  Tuhan:  "Sesungguhuya  agama  bagi Allah ialah sikap
pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran  3:19).  Maka  selain
dapat  diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam,
perkataan al-Islam dalam  firman  ini  bisa  diartikan  secara
lebih  umum,  yaitu  menurut makna asal atau generiknya, yaitu
"pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran  yang  menjadikan
karakteristik  pokok  semua  agama  yang  benar.  Inilah dasar
pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar  adalah
agama  Islam,  dalam  pengertian  semuanya  mengajarkan  sikap
pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa  disimpulkan
dari firman.
 
Dan  janganlah  kamu sekalian berbantahan dengan para penganut
Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan  yang  lebih  baik,
kecuali  terhadap  mereka  yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada
mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab  Suci  yang  diturunkan
kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami
dan  Tuhan  kamu  adalah  Maha  Esa,  dan  kita  semua  pasrah
kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).
 
Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun"
dalam  firman  itu  lebih  tepat   diartikan   menurut   makna
generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan." Jadi
seperti diisyaratkan  dalam  firman  itu,  perkataan  muslimun
dalam  makna  asalnya  juga  menjadi  kualifikasi para pemeluk
agama lain, khususnya  para  penganut  Kitab  Suci.  Ini  juga
diisyaratkan dalam firman,
 
Apakah  mereka  mencari  (agama)  selain  agama Tuhan? Padahal
telah pasrah (aslama - "ber-Islam") kepada-Nya mereka yang ada
di  langit  dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa,
dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali.  Nyatakanlah,  "Kami
percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada
kami, dan yang  diturunkan  kepada  Ibrahim,  Isma'il,  Ishaq,
Ya'qub  serta  anak  turun mereka, dan yang disampaikan kepada
Musa dan 'Isa serta para Nabi yang  lain  dari  Tuhan  mereka.
Kami  tidak  membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama  selain
sikap  pasrah  (al-Islam)  itu, ia tidak akan diterima, dan di
akkirat termasuk orang-orang  yang  merugi.  (QS.  'Alu-'lmran
3:85).
 
Ibn   Katsir   dalam  tafsirnya  tentang  mereka  yang  pasrah
(muslimun) itu mengatakan yang  dimaksud  ialah  "mereka  dari
kalangan  umat  ini  yang percaya pada semua Nabi yang diutus,
pada  semua  Kitab  Suci   yang   diturunkan,   mereka   tidak
mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala
sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua  Nabi
yang  dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar
al-Fikr,  1404  H/1984  M),  jilid  1,  hal.  380).  Sedangkan
al-Zamakhsari  memberi  makna  pada perkataan Muslimun sebagai
"mereka yang bertawhid dan mengikhlaskan diri  pada-Nya,"  dan
mengartikan  al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tawhid)
dan  sikap  pasrah  diri  kepada  Tuhan"  (taisir  al-Kaskshaf
[Teheran:  Intisharat-e  Aftab,  tt.] jilid 1, hal. 442). Dari
berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama  tanpa
sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai
"muslim" atau penganut "Islam", adalah tidak benar  dan  tidak
bakal diterima oleh Tuhan.
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team