Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.48. KETERKAITAN DAN HUBUNGAN UMARA DAN ULAMA DALAM ISLAM
 
Oleh Aswab Mahasin
 
Hubungan antara Umara dan Ulama  sebenarnya  merupakan  gejala
mutakhir.  Sebab, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan negara; atau lebih khusus lagi, antara gereja
dan negara, sebagaimana halnya dalam agama Kristen. Masalahnya
sederhana, yakni kalau dalam Islam tidak ada institusi  gereja
sehingga   dari   segi   ajaran   apa  yang  dianggap  sebagai
pertentangan antara gereja dan negara tidak pernah ada.  Dalam
sejarah,  sejak  awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan
antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan  dan  pada
masa  Nabi  baik  kepemimpinan  keagamaan  maupun kepemimpinan
kenegaraan bersatu pada  diri  beliau.  Demikian  juga  halnya
semasa  para  Khalifah  mengganti Nabi. Mungkin sekali hal itu
terjadi karena masyarakatnya masih lebih sederhana dalam  arti
belum  banyak  lembaga  dan  pranata  yang majemuk sebagaimana
dalam masyarakat mutakhir. Bahkan  pengertian  tentang  negara
saja  tumbuh  secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau
federasi kesukuan, kemudian berkembang menjadi umat dan lambat
laun menjelma menjadi negara.
 
Istilah umat sebenarnya sudah dipakai dalam masa sebelum Islam
yang berarti kelompok agama. Konon,  dalam  masyarakat  Arabia
Selatan  Kuno  dikenal istilah lumiya yang berarti konfederasi
suku-suku, dan istilah umat pada masa Nabi agaknya  berdekatan
dengan  istilah  ini yang dimaksudkan untuk menunjuk komunitas
Islam yang pertama di Madinah. Perkataan Madinah  yang  semula
menjadi  gelar  kehormatan  untuk kota Yathrib kemudian sering
dipakai Yunani. Dari  pengertian  inilah  lambat  laun  muncul
negara sebagaimana kita kenal dalam masa sekarang.
 
Sesudah  Nabi,  istilah  yang  banyak  dipakai  untuk menyebut
pimpinan  negara  adalah  Khalifah.  Pada  masa   Abu   Bakar,
istilahnya  adalah  Khalifat-u  Rasul-u  'l-Lah  yang  berarti
pengganti Nabi. Pada  masa  Umar  diusulkan  penggunaan  gelar
Khalifat-u  Khalifat-i  Rasul-u  'l-Lah yang berarti pengganti
Nabi. Konon, Umar berkeberatan dengan istilah yang panjang ini
sehingga    kemudian   diperkenalkan   istilah   baru   Amir-u
'l-Mukmin-in. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Amir ini
banyak  dipakai  untuk menyebut penguasa-penguasa pada tingkat
yang lebih rendah seperti Gubernur atau Walikota. Konon,  pada
tahun  935,  seorang  Amir  di Baghdad mulai menggunakan gelar
Amir al-Umara' untuk menegaskan bahwa  dia  adalah  Amir  yang
tertinggi atau Amir di atas Amir.
 
Istilah  lain yang juga sering dipakai untuk menunjuk pimpinan
negara  adalah  Sultan.  Gelar  ini  konon   pertama   kalinya
diberikan oleh Khalifah Harun al-Rashid kepada Wazirnya. Konon
pada abad ke X sudah banyak dipakai  secara  tak  resmi  untuk
menunjuk  kepada  penguasa-penguasa  daerah yang merdeka. Pada
masa kesultanan Seljuk, istilah Sultan lantas dipakai  sebagai
gelar  untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara
istilah Khalifah  lebih  terbatas  kepada  pimpinan  keagamaan
saja.  Hal  ini  menunjukkan telah merosotnya istilah Khalifah
yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah  Abbasiah
di  Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258, maka
gelar  Khalifah  hanyalah  semacam  gelar   kehormatan   tanpa
wewenang  politik.  Ini  terbukti  misalnya dengan diterimanya
seorang Pangeran Abbasiah yang  melarikan  diri  dari  Baghdad
pada  tahun  1261 dengan gelar Khalifah tetapi tanpa kekuasaan
politik. Khalifah  lalu  diartikan  sebagai  Imam  yang  hanya
mengurusi    soal-soal    peribadatan,   sedangkan   soal-soal
kenegaraan menjadi urusan Sultan.
 
Dari telaah tarikh ringkas ini barangkali kita bisa mengatakan
bahwa  walaupun  pada  mulanya  agama  dan  negara tidak dapat
dipisahkan   dalam   Islam,   perkembangan   masyarakat   bisa
menyebabkan  terpisahnya  kepemimpinan  agama dan kepemimpinan
negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja  karena
harapan  untuk  memperoleh  pimpinan  politik  yang  saleh dan
religius serta memperoleh dukungan yang luas dari  umat  tidak
berhasil.  Yang  kedua,  mungkin  juga karena makin majemuknya
masyarakat dan  makin  luasnya  kekuasaan  negara.  Dua  jenis
kekuasaan  itu  sulit  disatukan dalam satu tangan. Apakah hal
ini melanggar doktrin asli, para ahli fiqh yang bisa  menjawab
itu.
 
Memang, kemerosotan kedudukan Khalifah sebenarnya terjadi pada
saat kekuasaan politik mengalami kemerosotan.  Dan  pada  masa
semacam  itu  sering  terjadi  perebutan kekuasaan. Menghadapi
situasi semacam itu para ulama banyak yang memilih  berada  di
luar  kekuasaan  dan  berbakti  sebagai  penjaga  hati  nurani
umatnya. Karena itu sering kita  mendengar  cerita  ketegangan
antara  Sultan atau para umara dengan para ulama. Hal ini bisa
terjadi karena para ulama itu menilai bahwa Sultan tidak  lagi
berada di garis agama atau sedikitnya melakukan maksiat dengan
kekuasaannya. Karena para ulama ini  hidup  di  tengah  rakyat
dengan  gaya  hidup  sederhana  seperti masyarakat sekitarnya,
maka  fatwanya  tidak  saja   berbobot   agama   tetapi   juga
berpengaruh   luas   dan  sering  kali  mencerminkan  pendapat
masyarakatnya. Dalam kedudukan seperti itu  fatwa  para  ulama
lantas  menjadi  semacam sumber legitimasi. Karena itulah kita
mendengar banyak cerita tentang usaha Sultan  untuk  "membeli"
ulama  yang  berpengaruh,  dengan  memberinya  jabatan sebagai
qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita tentang  ulama
besar  yang  menolak  tawaran  Sultan  dan  kemudian mengalami
siksaan. Dalam bahasa sekarang  seakan-akan  ulama  besar  ini
menjadi  semacam  "tokoh oposisi" yang tidak mau tunduk kepada
kekuasaan Sultan. Tentu saja  ada  juga  ulama  yang  bersedia
menerima  tawaran  Sultan  dan  kemudian menjadi Ulama Negara.
Ketegangan semacam ini tampaknya agak  laten  di  dunia  Islam
yang  tidak lagi bisa menyatakan kembali kuasa agama dan kuasa
negara.
 
Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu  sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-u 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam  yang  semula  bersumbu  pada  ikatan  keagamaan  (umat)
pelan-pelan   terbawa   kembali   ke   dalam  ikatan  kesukuan
(qabilah). Hal ini terus  terjadi  sampai  kepada  tergesernya
kekuasaan  itu  dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa  Turki  Usmani.  Keummatan  memang  masih  menjadi  dasar
legitimasi  tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan  bahkan  cabang-cabang  keluarga.  Dari  segi   agama
barangkali  kita  bisa  menganggap  ini  sebagai  kemerosotan,
tetapi  dari  segi  sejarah  tampaknya  hal  itu   menunjukkan
kemustahilan   menegakkan  republik  keagamaan  dalam  susunan
masyarakat feodal.
 
Pada  masa  kita  sekarang  jarak  antara  umara   dan   ulama
diperbesar  oleh banyak faktor yang kompleks. Masyarakat telah
jauh mengalami proses deferensiasi dan para ulama  seakan-akan
hanya  mengkhususkan  diri  dalam  soal-soal  keagamaan.  Juga
perkembangan ilmu  pengetahuan  modern  menyebabkan  perbedaan
bidang   antara  ilmuwan  dan  ulama  walaupun  secara  bahasa
sebenarnya kedua kata itu  masih  searti.  Sekalipun  demikian
pengaruh  ulama  pada  masyarakat  masih  tetap besar sehingga
fatwa mereka  sedikit  banyak  masih  mempengaruhi  legitimasi
pemerintahan. Dengan kalimat yang lebih singkat para ulama ini
bagaimanapun juga masih  punya  peranan  politik.  Karena  itu
senantiasa  ada  usaha-usaha  untuk merangkul para Ulama; baik
itu dilakukan oleh Partai Politik, atau golongan-golongan lain
yang  ingin  turut  serta dalam pengambilan keputusan politik.
Dan seperti biasa,  senantiasa  ada  ulama  yang  ingin  tetap
merdeka  dan  ada  pula yang memutuskan untuk bergabung dengan
kekuatan politik. semua ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat
modern  sekalipun,  agama masih memiliki peranan penting dalam
proses politik.
 
Pada  abad  kita  sekarang  masalah   yang   menonjol   adalah
tarik-menarik antara agama dan kebangsaan sebagai dasar ikatan
kenegaraan. Hal ini muncul, sebagaimana umum  diketahui,  dari
proses  modernisasi  yang  mulai  di  Eropa  kemudian menyebar
keseluruh  dunia.  Gejala  yang  kita  kenal  adalah  jatuhnya
imperium-imperium besar dan munculnya negara-negara kebangsaan
sebagai pengganti.  Di  dunia  Islam  mula-mula  dasar  ikatan
keagamaan  dan kebangsaan bersama-sama digunakan sebagai dasar
untuk melawan  imperialisme.  Patriotisme  dinyatakan  sebagai
bagian dari iman. Di negara kita pada masa pergerakan nasional
juga  muncul  perlawanan  dengan   kombinasi   keagamaan   dan
kebangsaan.  Pada  Sarekat Islam misalnya istilah "selam" sama
artinya dengan "Bumiputera". Dengan kata lain  menjadi  muslim
sama  artinya  dengan  menjadi  Pribumi.  Tetapi  perkembangan
kemudian,  terutama   pada   saat   konsolidasi   kemerdekaan,
menunjukkan  meningkatnya  persaingan  antara  kedua dasar ini
yang akhirnya dimenangkan oleh dasar kebangsaan. Hal ini tidak
saja  terjadi  di negeri kita tapi juga di negara-negara Islam
lannya. Di Turki  misalnya,  sekalipun  semula  Mustafa  Kemal
Ataturk  juga  berusaha  memperoleh legitimasi keagamaan untuk
perjuangan  nasionalnya,  pada  akhirnya  Turki  modern  lebih
didasarkan pada ikatan kebangsaan. Juga di negara-negara Arab,
ikatan keakraban kemudian  lebih  ditekankan  daripada  ikatan
ke-Islam-an.  Dan  sudah wajar bila dalam semua masyarakat itu
timbul  persoalan  hubungan  antara  ulama  dan  umara  karena
keduanya  merupakan  peranan  yang berbeda tetapi punya kaitan
dalam legitimasi politik. Dalam situasi serupa itu agama masih
senantiasa  diperlukan  untuk  memberi  motivasi religius pada
program-program yang sesungguhnya  profan.  Demikianlah  agama
masih  diharapkan  menjadi pemberi motivasi untuk pembangunan,
untuk keluarga berencana dan untuk  modernisasi  itu  sendiri.
Sehingga  bagaimana  pun  juga  peranan ulama senantiasa masih
cukup besar.
 
Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu  sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-n 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam  yang  semula  bersumbu  pada  ikatan  keagamaan  (umat)
pelan-pelan   terbawa   kembali   ke   dalam  ikatan  kesukuan
(qabilah). Hal ini terus  terjadi  sampai  kepada  tergesernya
kekuasaan  itu  dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa  Turki  Usmani.  Keumatan  memang  masih  menjadi   dasar
legitimasi  tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan  bahkan  cabang-cabang  keluarga.  Dari  segi   agama
barangkali  kita  bisa  menganggap  ini  sebagai  kemerosotan,
tetapi  dari  segi  sejarah  tampaknya  hal  itu   menunjukkan
kemustahilan   menegakkan  republik  keagamaan  dalam  susunan
masyarakat feodal.
 
Pada  masa  kita  sekarang  jarak  antara  umara   dan   ulama
diperbesar  oleh banyak faktor yang kompleks. Masyarakat telah
jauh mengalami proses differensiasi dan para ulama seakan-akan
hanya  mengkhususkan  diri  dalam  soal-soal  keagamaan.  Juga
perkembangan ilmu  pengetahuan  modern  menyebabkan  perbedaan
bidang   antara  ilmuwan  dan  ulama  walaupun  secara  bahasa
sebenarnya kedua kata itu  masih  searti.  Sekalipun  demikian
pengaruh  ulama  pada  masyarakat  masih  tetap besar sehingga
fatwa mereka  sedikit  banyak  masih  mempengaruhi  legitimasi
pemerintahan. Dengan kalimat yang lebih singkat para ulama ini
bagaimanapun juga masih  punya  peranan  politik.  Karena  itu
senantiasa  ada  usaha-usaha  untuk merangkul para Ulama; baik
itu dilakukan oleh Partai Politik, atau golongan-golongan lain
yang  ingin  turut  serta dalam pengambilan keputusan politik.
Dan seperti biasa,  senantiasa  ada  ulama  yang  ingin  tetap
merdeka  dan  ada  pula yang memutuskan untuk bergabung dengan
kekuatan politik. Semua ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat
modern  sekalipun,  agama masih memiliki peranan penting dalam
proses politik.
 
Pada  abad  kita  sekarang  masalah   yang   menonjol   adalah
tolak-tarik  antara  agama dan kebangsaan sebagai dasar ikatan
kenegaraan. Hal ini muncul, sebagaimana umum  diketahui,  dari
proses  modernisasi  yang  mulai  di  Eropa  kemudian menyebar
keseluruh  dunia.  Gejala  yang  kita  kenal  adalah  jatuhnya
imperium-imperium besar dan munculnya negara-negara kebangsaan
sebagai pengganti.  Di  dunia  Islam  mula-mula  dasar  ikatan
keagamaan  dan kebangsaan bersama-sama digunakan sebagai dasar
untuk melawan  imperialisme.  Patriotisme  dinyatakan  sebagai
bagian dari iman. Di negara kita pada masa pergerakan nasional
juga  muncul  perlawanan  dengan   kombinasi   keagamaan   dan
kebangsaan.  Pada  Sarekat Islam misalnya istilah "selam" sama
artinya dengan "Bumiputera". Dengan kata lain  menjadi  muslim
sama  artinya  dengan  menjadi  Pribumi.  Tetapi  perkembangan
kemudian,  terutama   pada   saat   konsolidasi   kemerdekaan,
menunjukkan  meningkatnya  persaingan  antara  kedua dasar ini
yang akhirnya dimenangkan oleh dasar kebangsaan. Hal ini tidak
saja  terjadi  di negeri kita tapi juga di negara-negara Islam
lainnya. Di Turki misalnya,  sekalipun  semula  Mustafa  Kemal
Ataturk  juga  berusaha  memperoleh legitimasi keagamaan untuk
perjuangan  nasionalnya,  pada  akhirnya  Turki  modern  lebih
didasarkan pada ikatan kebangsaan. Juga di negara-negara Arab,
ikatan keakraban kemudian  lebih  ditekankan  daripada  ikatan
ke-Islam-an. Dan sudah wajar bila dalam kesemua masyarakat itu
timbul  persoalan  hubungan  antara  ulama  dan  umara  karena
keduanya  merupakan  peranan  yang berbeda tetapi punya kaitan
dalam legitimasi politik. Dalam situasi serupa itu agama masih
senantiasa  diperlukan  untuk  memberi  motivasi religius pada
program-program yang sesungguhnya  profan.  Demikianlah  agama
masih  diharapkan  menjadi pemberi motivasi untuk pembangunan,
untuk keluarga berencana dan untuk  modernisasi  itu  sendiri.
Sehingga  bagaimana  pun  juga  peranan ulama senantiasa masih
cukup besar.
 
Bagi seorang yang beragama mungkin keadaan ini terasa  sebagai
suatu dilema yang sulit. Yang terang kondisi ideal sebagaimana
terkandung dalam doktrin asal dan  tradisi  awal  Islam  sudah
tidak  ada  lagi.  Hidup  dalam kondisi seperti sekarang, maka
menurut  hemat  saya  hubungan  ulama  dan  umara   itu   bisa
diibaratkan  sebagai  hubungan antara dua gajah yang sama-sama
besar, dan umat merupakan  lapangan  di  mana  dua  gajah  itu
hidup. Bencana akan terjadi jika dua gajah itu bertarung. Tapi
lapangan itu akan sama porak-porandanya  jika  dua  gajah  itu
kawin.  Karena  itu suasana yang ideal adalah jika kedua gajah
itu merumput bersama-sama tetapi  tidak  bertempur  dan  tidak
kawin.  Dalam  bahasa yang lebih teknis, sebaiknya ulama tetap
berada pada posisinya yang merdeka sebagai pembawa nilai-nilai
agama  dan  hati  nurani  masyarakatnya. Sehingga mereka tetap
bisa berperan korektif ketika terjadi sesuatu kesalahan  dalam
penggunaan  kekuasaan.  Demikian  juga  para  Umara  sebaiknya
menghormati kedudukan  yang  merdeka  dari  para  ulama  tanpa
berusaha "menggusur" atau "membeli" mereka. Sudah barang tentu
para umara harus senatiasa  mendengarkan  para  ulama  apalagi
karena  fatwa  mereka  mempunyai  pengaruh  yang  luas. Dengan
demikian ulama dan umara  akan  bertindak  sebagai  pengimbang
satu  sama  lain. Hanya jika perimbangan itu tetap terjaga dan
serasi maka kesejahteraan umat akan senantiasa terjaga.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team