Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB?     Dr. Yusuf Qardhawi (4/6)
 
10.Tuntutan Muamalah Mengharuskan Mengenal/Mengetahui
   Pribadi yang Bersangkutan
   
   Muamalah (pergaulan) seorang wanita dengan orang lain dalam
   berbagai persoalan hidup mengharuskan pribadinya dikenal
   oleh orang-orang yang bermuamalah dengannya, baik sebagai
   penjual maupun pembeli, yang mewakilkan maupun yang menjadi
   wakil, menjadi saksi, penggugat, ataupun tergugat. Karena
   itu, para fuqaha telah sepakat bahwa seorang wanita harus
   membuka wajahnya apabila sedang beperkara di muka
   pengadilan, sehingga hakim bisa mengetahui personalia saksi
   dan orang-orang yang beperkara. Seseorang (wanita) tidak
   mungkin dapat diketahui atau dikenal identitasnya jika
   sebelumnya wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat. Maka
   tidak ada artinya bagi seorang wanita membuka wajahnya di
   sidang pengadilan jika sebelumnya memang tidak pernah
   dikenal oleh masyarakat di sekitarnya.
   
   Dalil-dalil Golongan yang Mewajibkan Cadar
   
   Setelah kita mengetahui dalil-dalil cemerlang dari jumhur
   ulama, sekarang kita coba lihat dalil-dalil golongan
   minoritas yang menentangnya.
   
   Sebetulnya saya tidak menemukan - bagi golongan yang
   mewajibkan cadar dan menutup muka dan tangan - dalil syara'
   yang shahih tsubut (jalan periwayatannya) dan sharih
   dilalahnya (jelas petunjuknya) yang selamat dari sanggahan,
   yang sekiranya dapat melapangkan dada dan menenangkan hati.
   
   Semua dalil mereka merupakan nash-nash yang mutasyabihat
   (samar) yang ditolak oleh nash-nash muhkamat dan
   bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas dan terang.
   
   Berikut ini saya kemukakan beberapa dalil yang mereka anggap
   paling kuat berikut sanggahan saya terhadapnya.
   
A. Penafsiran sebagian ahli tafsir terhadap ayat "jilbab"
   yang termaktub dalam firman Allah berikut:
   
   "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
   perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka
   mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang
   demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
   itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab: 59)
   
   Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf
   mengenai penafsiran "mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh
   mereka" bahwa mereka menutupkan jilbab mereka ke seluruh
   wajah mereka, dan tidak ada yang tampak sedikit pun kecuali
   sebelah matanya untuk melihat.
   
   Penafsiran tersebut di antaranya diriwayatkan dari Ibnu
   Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Ubaidah as-Salmani. Tetapi, tidak
   ada kesepakatan mengenai makna "jilbab" dan "mengulurkan"
   dalam ayat tersebut.
   
   Yang mengherankan justru dijumpai penafsiran dari Ibnu Abbas
   yang bertentangan dengan penafsiran tersebut ketika
   menafsirkan firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak
   daripadanya" (an-Nur: 31). Yang lebih mengherankan lagi
   ialah sebagian ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan
   surat al-Ahzab, tetapi mereka memilih penafsiran yang justru
   bertentangan dengan penafsiran surat an-Nur.
   
   Didalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadits Ummu Athiyah
   tentang shalat Id (artinya): "Salah seorang diantara kami
   tidak mempunyai jilbab ..." Imam Nawawi berkata: "An-Nadhr
   bin Syamil berkata, 'jilbab itu ialah kain (pakaian) yang
   lebih pendek tetapi lebih lebar daripada kerudung, yaitu
   tutup kepala yang dipakai wanita untuk menutup kepalanya.
   Ada juga yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang
   luas tetapi masih dibawah selendang, yang digunakan oleh
   wanita untuk menutup dada dan punggungnya. Ada pula yang
   mengatakannya seperti selimut. Ada yang mengatakannya
   sarung, serta ada pula yang mengatakannya kerudung."20
   
   Tetapi bagaimanapun, sesungguhnya firman Allah "hendaklah
   mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak
   memastikan menutup wajah, baik dilihat dari segi bahasa
   maupun dari segi adat kebiasaan, dan tidak ada satu pun
   dalil dari Al- Qur'an As-Sunnah, maupun ijma, yang
   menetapkan begitu. Disamping itu pendapat sebagian ahli
   tafsir bahwa ayat itu memastikan menutup muka, bertentangan
   dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan bahwa
   ayat itu tidak menetapkan menutup muka, sebagaimana yang
   dikatakan oleh pengarang Adhwa'ui Bayan rahimahullah
   
   Dengan demikian, pengajuan ayat tersebut sebagai dalil untuk
   menetapkan kewajiban menutup wajah menjadi gugur.
   
B. Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan
   firman Allah: "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
   mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya," bahwa apa
   yang biasa tampak dari perhiasan itu ialah selendang dan
   pakaian luar.
   
   Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran yang sahih
   dari sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
   Aisyah, Anas, dan para tabi'in bahwa yang dimaksud ialah
   celak dan cincin, atau bagian tubuh yang ditempati celak dan
   cincin, yakni wajah dan tangan. Ibnu Hazm mengemukakan bahwa
   ketetapan riwayat dari sahabat mengenai penafsiran ini
   sangat sahih.
   
   Penafsiran (yang kedua) ini didukung oleh keterangan yang
   dikemukakan oleh Al-Allamah Ahmad bin Ahmad Asy-Syanqithi di
   dalam kitab Mawahibul Jalil min Adillati Khalil, beliau
   berkata, "Barangsiapa yang bergantung pada penafsiran Ibnu
   Mas'ud terhadap ayat 'kecuali yang biasa tampak daripadanya'
   bahwa yang dimaksud ialah selimut, maka dapat diberi
   jawaban: sebaik-baik perkara untuk menafsirkan Al-Qur'an
   adalah Al-Qur'an, dan Al-Qur'an menafsirkan zinatul mar'ah
   dengan al-huliyi (perhiasan). Allah SWT berfirman:
   
   "... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
   perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31 )21
   
   Maka nyatalah bahwa arti zinatul mar'ah ialah perhiasan
   (gelang kaki dan sebagainya).22
   
   Ini diperkuat pula dengan apa yang saya katakan sebelumnya
   bahwa pengecualian dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk
   memberi keringanan dan kemudahan. Sedangkan terlihatnya
   pakaian luar seperti selimut dan sebagainya itu merupakan
   sesuatu yang pasti terlihat, bukan rukhshah (keringanan)
   juga bukan pemberian kemudahan.
   
C. Apa yang dikemukakan oleh pengarang Adhwa'ul Bayan tentang
   berdalil dengan firman Allah mengenai istri-istri Nabi:
   
   "... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
   (istri-istri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara
   yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka
   ..." (al-Ahzab: 53)
   
   Sesungguhnya penetapan 'illat dari Allah terhadap hukum
   mewajibkan hijab - karena hati laki-laki dan perempuan akan
   lebih suci dari keragu-raguan sebagaimana tersebut dalam
   firman-Nya "yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan
   hati mereka" - merupakan indikasi yang jelas yang
   menunjukkan tujuan hukum. Karena tidak ada seorang pun
   diantara kaum muslimin yang mengatakan bahwa selain
   istri-istri Nabi saw. tidak memerlukan kesucian hati (tidak
   perlu disucikan hatinya) dari keraguan/kecurigaan.
   
   Namun demikian, apabila orang mau merenungkan makna dan
   susunan kalimat ayat tersebut niscaya akan dia dapati bahwa
   "kesucian yang disebutkan sebagai 'illat hukum bukanlah dari
   keraguan mereka (para istri Nabi saw.), sebab keraguan
   semacam ini jauh dari mereka yang memiliki kedudukan
   demikian luhur. Selain itu, tidak terbayangkan jika di hati
   ummahatul mu'minin serta para sahabat - yang masuk ke tempat
   mereka - terdapat keraguan atau kecurigaan seperti itu.
   Tetapi kesucian itu semata-mata dari memikirkan perkawinan
   yang halal yang kadang-kadang memang terlintas dalam hati
   salah satu pihak - sepeninggal Rasulullah saw..
   
   Sedangkan argumentasi mereka dengan ayat "maka mintalah
   kepada mereka dari belakang tabir" tidaklah benar, karena
   hal ini khusus mengenai istri-istri Nabi sebagaimana yang
   tampak dengan jelas. Demikian juga, perkataan mereka: ("Yang
   dipakai ialah keumuman lafal, bukan khusus yang berkaitan
   dengan sebabnya") tidaklah berlaku disini, sebab lafal ayat
   tersebut bukan lafal umum. Begitupun halnya dengan qiyas
   yang mereka lakukan - yang menyamakan semua wanita dengan
   istri-istri Nabi-merupakan qiyas yang tertolak. Qiyas
   seperti itu termasuk qiyas ma'a al-faariq (qiyas yang
   berantakan, tidak memenuhi syarat), karena mereka
   (istri-istri Nabi) terkena hukum yang berat yang tidak
   dikenakan kepada selain mereka. Karena itu Allah berfirman:
   
   "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
   yang lain ..." (al-Ahzab: 32)
   
D. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari
   Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
   
   "Janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar dan jangan
   memakai kaos tangan."23
   
   Hadits tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahwa cadar dan
   kaos tangan sudah terkenal di kalangan wanita yang tidak
   sedang ihram.
   
   Saya tidak menyangkal bahwa sebagian wanita mengenakan cadar
   dan kaos tangan atas kemauan mereka sendiri, ketika tidak
   sedang melakukan ihram. Tetapi, mana dalil yang menunjukkan
   bahwa yang demikian itu wajib? Bahkan kalau peristiwa atau
   hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan yang
   sebaliknya, maka itulah yang rasional, sebab
   larangan-larangan dalam ihram itu pada asalnya adalah mubah,
   seperti mengenakan pakaian yang berjahit, wangi-wangian,
   berburu, dan sebagainya. Tidak ada sesuatu pun yang asalnya
   wajib kemudian dilarang dalam ihram.
   
   Karena itu, banyak fuqaha - sebagaimana telah saya sebutkan
   sebelumnya - yang justru berdalil dengan hadits ini untuk
   menetapkan bahwa wajah dan tangan itu bukan aurat; sebab
   kalau tidak demikian maka tidak mungkin beliau mewajibkan
   membukanya (pada waktu ihram).
   
E. Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari
   Aisyah, ia berkata:
   
   "Ada beberapa orang yang menunggang kendaraan yang melewati
   kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah saw..
   Apabila mereka berpapasan dengan kami, masing-masing kami
   mengulurkan jilbabnya dan kepalanya ke atas wajahnya, dan
   apabila mereka telah melewati kami maka kami buka jilbab
   itu."
   
   Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:
   
 1.Hadits ini dha'if, karena di dalam isnadnya terdapat Yazid
   bin Abi Ziyad, sedangkan dia menjadi pembicaraan. Sedangkan
   hadits dha'if tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
   hukum.
   
 2.Apa yang dilakukan Aisyah dalam hadits ini (seandainya
   bersanad sahih) tidak menunjukkan kepada wajib, karena
   perbuatan Rasul sendiri tidak menunjukkan hukum wajib, maka
   bagaimana lagi dengan perbuatan orang yang selain beliau?
   
 3.Kita mengenal kaidah dalam ushul: "bahwa suatu kejadian
   yang mengandung serba kemungkinan, maka ia adalah mujmal
   (global) karena itu tidak dapat dijadikan dalil."
   
   Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi disini ialah bahwa
   hal itu merupakan hukum khusus mengenai para ummul mu'minin
   (istri-istri Nabi saw.) disamping hukum-hukum khusus lainnya
   untuk mereka, seperti haramnya mengawini mereka sepeninggal
   Rasulullah saw., dan sebagainya.24
   
F. Riwayat Imam Tirmidzi secara marfu':
   
   "Wanita itu aurat; apabila ia keluar maka ia didekati oleh
   setan."25
   
   Sebagian ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menjadikan hadits
   ini sebagai dasar untuk menetapkan bahwa seluruh tubuh
   wanita adalah aurat, serta mereka tidak mengecualikan wajah,
   tangan, dan kaki. Sebenarnya hadits ini tidak menetapkan
   hukum secara menyeluruh sebagaimana yang mereka kemukakan
   itu, tetapi hanya menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita itu
   terlindungi dan tertutup, tidak terbuka dan terhina. Dan
   hadits ini cukup menetapkan bahwa sebagian besar tubuh
   wanita itu aurat. Andaikata hadits ini hanya diambil
   pengertian lahiriahnya, niscaya tidak boleh membuka sedikit
   pun tubuhnya dalam shalat dan haji, tetapi hal ini
   bertentangan dengan dalil yang sahih dan meyakinkan -
   tentang dibukanya wajah dan tangan dalam shalat dan haji.
   
   Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bahwa wajah dan
   tangan itu aurat, padahal sudah disepakati tentang dibukanya
   pada waktu shalat dan wajib membukanya pada waktu ihram?
   Apakah masuk akal bahwa syara' memperbolehkan membuka aurat
   pada waktu shalat dan mewajibkan membukanya pada waktu ihram
   - kalau wajah dan tangan itu termasuk aurat?
   
G. Ada dalil lain yang dipakai golongan yang mewajibkan cadar
   ini apabila mereka tidak mendapatkan dalil nash yang
   muhkamat, yaitu mereka menggunakan saddudz dzari'ah (menutup
   pintu kerusakan/usaha preventif) . Inilah senjata mereka
   yang termasyhur apabila senjata-senjata lainnya sudah
   tumpul.
   
   Saddudz dzari'ah ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu yang
   mubah karena dikhawatirkan akan terjatuh pada yang haram.
   Tetapi' hal ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha,
   antara golongan yang melarang dan memperbolehkan (penggunan
   teori ini), serta antara yang memperlapang dan mempersempit.
   Al-Allamah Ibnul Qayyim mengemukakan sembilan alasan yang
   menunjukkan disyariatkannya saddudz dzari'ah ini dalam kitab
   beliau llam al-Muwaqqi'in.
   
   Tetapi, yang sudah menjadi ketetapan para muhaqqiq dari
   kalangan ulama fiqih dan ushul ialah bahwa berlebih-lebihan
   dalam menutup "pintu/jalan" sama dengan berlebih-lebihan
   dalam membukanya. Berlebihan dalam membuka "jalan" akan
   mengakibatkan banyak kerusakan yang membahayakan manusia
   dalam urusan agama dan dunia mereka. Sedangkan berlebihan
   dalam menutup "jalan" akan menghilangkan banyak sekali
   kemaslahatan manusia dalam urusan kehidupan dan urusan
   akhirat mereka.
   
   Apabila Asy-Syari' (Allah dan Rasul-Nya) telah membuka
   sesuatu dengan nash dan kaidah, maka kita tidak boleh
   menutupnya dengan pemikiran dan kekhawatiran-kekhawatiran
   kita, lantas kita halalkan apa yang telah diharamkan Allah
   atau kita membuat syariat yang tidak diizinkan Allah.
 
                       (Bagian 1/6, 2/6, 3/6, 4/6, 5/6, 6/6)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team