Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (15/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
KEUTAMAAN KESABARAN KELUARGA SI SAKIT
 
Keluarga  si  sakit  wajib  bersabar terhadap si sakit, jangan
merasa sesak dada karenanya  atau  merasa  bosan,  lebih-lebih
bila  penyakitnya itu lama. Karena akan terasa lebih pedih dan
lebih sakit dari penyakit itu sendiri  jika  si  sakit  merasa
menjadi  beban bagi keluarganya, lebih-lebih jika keluarga itu
mengharapkan dia segera dipanggil ke  rahmat  Allah.  Hal  ini
dapat  dilihat  dari  raut wajah mereka, dari cahaya pandangan
mereka, dan dari gaya bicara mereka.
 
Apabila kesabaran si sakit atas penyakit yang dideritanya akan
mendapatkan pahala yang sangat besar --sebagaimana diterangkan
dalam beberapa hadits  sahih--  maka  kesabaran  keluarga  dan
kerabatnya  dalam merawat dan mengusahakan kesembuhannya tidak
kalah  besar  pahalanya.  Bahkan  kadang-kadang   melebihinya,
karena  kesabaran si sakit menyerupai kesabaran yang terpaksa,
sedangkan  kesabaran  keluarganya  merupakan  kesabaran   yang
diikhtiarkan   (diusahakan).  Maksudnya,  kesabaran  si  sakit
merupakan kesabaran karena ditimpa cobaan, sedangkan kesabaran
keluarganya merupakan kesabaran untuk berbuat baik.
 
Diantara  orang yang paling wajib bersabar apabila keluarganya
ditimpa sakit ialah  suami  atas  istrinya,  atau  istri  atas
suaminya.  Karena  pada  hakikatnya kehidupan adalah bunga dan
duri, hembusan angin sepoi  dan  angin  panas,  kelezatan  dan
penderitaan,  sehat dan sakit, perputaran dari satu kondisi ke
kondisi lain. Oleh sebab itu, janganlah  orang  yang  beragama
dan  berakhlak  hanya  mau  menikmati istrinya ketika ia sehat
tetapi merasa jenuh ketika ia menderita sakit.  Ia  hanya  mau
memakan  dagingnya untuk membuang tulangnya, menghisap sarinya
ketika masih muda lalu  membuang  kulitnya  ketika  lemah  dan
layu.  Sikap  seperti  ini  bukan  sikap  setia tidak termasuk
mempergauli  istri  dengan  baik,  bukan  akhlak  lelaki  yang
bertanggung jawab, dan bukan perangai orang beriman.
 
Demikian   juga   wanita,  ia  tidak  boleh  hanya  mau  hidup
bersenang-senang  bersama  suaminya  ketika  masih  muda   dan
perkasa,  sehat  dan kuat, tetapi merasa sempit dadanya ketika
suami jatuh sakit dan  lemah.  Ia  melupakan  bahwa  kehidupan
rumah  tangga  yang  utama ialah yang ditegakkan di atas sikap
tolong-menolong dan bantu-membantu pada waktu manis dan ketika
pahit, pada waktu selamat sejahtera dan ketika ditimpa cobaan.
 
Seorang  penyair  Arab  masa  dulu  pernah  mengeluhkan  sikap
istrinya "Sulaima" ketika merasa bosan terhadapnya  karena  ia
sakit,  dan  ketika  si istri ditanya tentang keadaan suaminya
dia menjawab, "Ia tidak hidup sehingga  dapat  diharapkan  dan
tidak  pula mati sehingga patut dilupakan." Sementara ibu sang
penyair sangat sayang kepadanya, berusaha untuk kesembuhannya,
dan  sangat  mengharapkan  kehidupannya. Lalu sang penyair itu
bersenandung duka:
 
"Kulihat Ummu Amr tidak bosan dan tidak sempit dada
Sedang Sulaima jenuh kepada tempat tidurku dan tempat tinggalku
Siapakah gerangan yang dapat menandingi bunda nan pengasih
Maka tiada kehidupan kecuali dalam kekecewaan dan kehinaan
Demi usiaku, kuingatkan kepada orang yang tidur
Dan kuperdengarkan kepada orang yang punya telinga."
 
Yang lebih wajib lagi daripada  kesabaran  suami-istri  ketika
teman  hidupnya  sakit ialah kesabaran anak laki-laki terhadap
penyakit kedua orang tuanya. Sebab hak mereka  adalah  sesudah
hak  Allah  Ta'ala, dan berbuat kebajikan atau berbakti kepada
mereka termasuk pokok keutamaan yang  diajarkan  oleh  seluruh
risalah  Ilahi.  Karena  itu  Allah  menyifati Nabi Yahya a.s.
dengan firman-Nya:
 
    "Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan
    bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka." (Maryam:
    14)
 
Allah menjadikannya  --yang  masih  bayi  dalam  buaian  itu--
berkata menyifati dirinya:
 
    "Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku
    seorang yang sombong lagi celaka." (Maryam: 32)
 
Demikian juga dengan anak perempuan, bahkan dia  lebih  berhak
memelihara  dan  merawat  kedua  orang tuanya, dan lebih mampu
melaksanakannya karena Allah telah mengaruniainya  rasa  kasih
dan  sayang  yang  melimpah,  yang tidak dapat ditandingi oleh
anak laki-laki.
 
Al-Qur'an sendiri menjadikan  kewajiban  berbuat  baik  kepada
kedua  orang  tua  ini dalam urutan setelah mentauhidkan Allah
Ta'ala, sebagaimana difirmankan-Nya:
 
    "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
    dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua
    orang ibu bapak..." (an-Nisa': 36)
 
    "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
    menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
    kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya ..." (al-lsra':
    23)
 
Dalam ayat  yang  mulia  ini  Al-Qur'an  mengingatkan  tentang
kondisi khusus atau pencapaian usia tertentu yang mengharuskan
bakti dan perbuatan baik  seorang  anak  kepada  orang  tuanya
semakin  kokoh.  Yaitu, ketika keduanya telah lanjut usia, dan
pada saat-saat seusia itu mereka amat sensitif terhadap setiap
perkataan  yang  keluar  dari  anak-anak  mereka,  yang sering
rasakan sebagai bentakan  atau  hardikan  terhadap  keberadaan
mereka.  Kata-kata  yang  mempunyai konotasi buruk inilah yang
dilarang dengan tegas oleh Al-Qur~an:
 
    "... Jika salah seorang diantara keduanya atau
    kedua-duanya sampai ke umur lanjut dalam pemeliharaanmu,
    maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
    keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak
    mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
    mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
    dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku,
    kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
    telah mendidik aku waktu kecil.'" (al-Isra': 23-24)
 
Diriwayatkan  dari  Ali  bin  Abi  Thalib  r.a.  bahwa  beliau
berkata,  "Kalau  Allah  melihat  ada  kedurhakaan  yang lebih
rendah daripada perkataan 'uff (ah), niscaya diharamkan-Nya."
 
Ungkapan   Al-Qur'an   "sampai   ke    usia    lanjut    dalam
pemeliharaanmu"  menunjukkan  bahwa  si anak bertanggung jawab
atas  kedua   orang   tuanya,   dan   mereka   telah   menjadi
tanggungannya.  Sedangkan  bersabar terhadap keduanya --ketika
kondisi mereka telah lemah atau  tua--  merupakan  pintu  yang
paling  luas  yang  mengantarkannya  ke surga dan ampunan; dan
orang  yang   mengabaikan   kesempatan   ini   berarti   telah
mengabaikan  keuntungan  yang besar dan merugi dengan kerugian
yang nyata.
 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
 
    "Merugi, merugi, dan merugi orang yang mendapat kedua
    orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau
    kedua-duanya, lantas ia tidak masuk surga."57 (HR Ahmad
    dan Muslim)58
 
Juga diriwayatkan dalam hadits lain dari Ka'ab bin  Ujrah  dan
lainnya  bahwa  Malaikat  Jibril pembawa wahyu mendoakan buruk
untuk orang yang menyia-nyiakan kesempatan ini, dan doa Jibril
ini diaminkan oleh Nabi saw.59
 
Sedangkan  yang  sama  kondisinya  dengan  usia  lanjut  ialah
kondisi-kondisi sakit yang menjadikan  manusia  dalam  keadaan
lemah  dan  memerlukan perawatan orang lain, serta tidak mampu
bertindak sendiri untuk menyelenggarakan keperluannya.
 
Jika demikian sikap umum terhadap kedua orang tua, maka secara
khusus   ibu   lebih   berhak   untuk  dijaga  dan  dipelihara
berdasarkan penegasan Al-Qur'an dan pesan Sunnah Rasul.
 
Allah berfirman:
 
    "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
    kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya
    dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
    (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
    puluh bulan ..." (al-Ahqaf: 15)
 
    "Dan Kami perintahkan manusia (berbuat baik) kepada dua
    orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
    keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya
    dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
    orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."
    (Luqman: 14)
 
Imam Thabrani  meriwayatkan  dalam  al-Mu'jamush-Shaghir  dari
Buraidah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu
ia berkata:
 
    "Wahai Rasululah, saya telah menggendong ibu saya di
    pundak saya sejauh dua farsakh melewati padang pasir
    yang amat panas, yang seandainya sepotong daging
    dilemparkan ke situ pasti masak maka apakah saya telah
    menunaikan syukur kepadanya?" Nabi menjawab, "Barangkali
    itu hanya seperti talak satu."60
 
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada  Umar  bin
Khattab,  "Ibuku  sangat  lemah  dan  tua renta sehingga tidak
dapat  memenuhi  keperluannya  kecuali  punggungku  ini  telah
menjadi  hamparan  tunggangannya  --dia  berbuat  untuk ibunya
seperti ibunya berbuat untuk dia  dahulu--  maka  apakah  saya
telah   melunasi   utang   saya   kepadanya?"  Umar  menjawab,
"Sesungguhnya engkau berbuat  begitu  terhadap  ibumu,  tetapi
engkau  menantikan  kematiannya esok atau esok lusa; sedangkan
ibumu berbuat begitu  terhadapmu  justru  mengharapkan  engkau
berusia panjang."
 
Selain   itu,   tanggung  jawab  keluarga  terhadap  si  sakit
bertambah  berat  apabila  ia  tidak  punya  atau   kehilangan
kelayakan untuk berbuat sesuatu, misalnya anak kecil --apalagi
belum  sampai  mumayiz--  atau  seperti   orang   gila,   yang
masing-masing membutuhkan perawatan ekstra dan penanganan yang
serius. Karena orang yang mumayiz dan berpikiran normal  dapat
meminta  apa  saja yang ia inginkan dapat menjelaskan apa yang
ia  butuhkan,  dapat  minta  disegerakan   kebutuhannya   bila
terlambat,  dan  dapat  memuaskan  orang  yang  mengobati atau
merawatnya.
 
Sedangkan anak kecil, orang gila, dan  yang  sejenisnya,  maka
tidak   mungkin  dapat  melakukan  hal  demikian.  Karena  itu
berlipatgandalah beban keluarganya.  Dengan  demikian,  mereka
harus   benar-benar   menyadari   kondisi   kesehatannya   dan
mengusahakan   pengobatannya,   sehingga    terkadang    harus
membawanya  ke  dokter,  memasukkannya  ke  rumah  sakit, atau
hal-hal lain yang tidak dapat dibatasi.
 
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
     13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team