Sistem Masyarakat Islam dalam
Al Qur'an & Sunnah

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MENGAKUI HAK PEMILIKAN PRIBADI DAN MEMELIHARANYA

Sesungguhnya Islam merupakan agama fitrah, maka tidak ada satu pun prinsip yang bertentangan dengan fitrah atau merusak fitrah itu sendiri. Prinsip-prinsip itu sesuai dengan fitrah, bahkan terkadang meluruskannya dan meningkat bersamanya.

Di antara fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik (kepemilikan) sebagimana yang kita lihat. Sampai-sampai naluri kepemilikan ini ada pada anak-anak, tanpa ada yang mengajari dan menuntun. Allah SWT membekali manusia dengan insting seperti itu agar menjadi pendorong yang kuat sehingga dapat memotivasi mereka untuk bergerak dengan baik. Yaitu ketika ia mengetahui bahwa ada hasil dari setiap kerja dan kesungguhannya. Dengan begitu makmurlah kehidupan ini, pembangunan berkembang, dan produktifitas masyarakat bertambah meningkat dan semakin baik.

Pemilikan merupakan salah satu dari karakter kebebasan (kemerdekaan). Seorang hamba sahaya tidak memiliki sesuatu, orang merdeka itulah yang memiliki. Pemilikan juga merupakan salah satu karakter manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki.

Sekali lagi Islam mengakui adanya hak milik individu karena Islam adalah agama yang menghargai fithrah, kemerdekaan dan kemanusiaan.

Demikian juga bukan suatu keadilan jika engkau menahan pemberian upah kerja dan usaha seseorang, yang kemudian kamu berikan kepada orang lain yang bermalas-malasan dan pengangguran.

Akan tetapi keadilan dan kebaikan adalah hendaknya engkau membuka kesempatan untuk semuanya agar bisa bekerja dan memiliki. Apabila ternyata ada orang yang memiliki kelebihan dengan kecerdasan, kesungguhan, itqan dan sabarnya maka ia berhak untuk memperoleh imbalan yang sesuai. Allah berfirman:

"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (Ar-Rahman: 60)

"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." (Al Ahqaf: 19)

Dari sinilah Islam memperbolehkan pemilikan, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada yang berhak, tidak dipergunakan untuk yang haram dan tidak berlebihan di dalam yang mubah, tidak pelit dengan yang haq, tidak menzhalimi seseorang, serta tidak makan hak orang lain. Sebagaimana konsekuensi prinsip istikhlaf (pengamanan) dalam Islam (bukan pemilikan secara mutlak).

Barangkali contoh yang paling jelas adalah Abdur-Rahman bin 'Auf RA, salah seorang sahabat dari generasi awal Islam, juga salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga dan juga salah seorang dari enam sahabat anggota syura (Rasulullah SAW). Beliau keluar dari Makkah seperti umumnya saudara-saudaranya kaum Muhajirin, tanpa membawa rumah dan harta, kemudian Rasulullah SAW mempersaudarakan antara dia dengan Sa'ad bin Rabi'. Maka Sa'ad menawarkan kepadanya untuk dibagi dua hartanya dan separuh untuk dia. Bahkan Sa'ad juga bersedia mencerai salah satu isterinya agar dia menikahinya setelah masa 'iddah (menunggu). Menerima tawaran demikian, maka Abdur Rahman berkata kepadanya, "Semoga Allah memberkahi kamu, keluargamu dan hartamu, tolong tunjukkan kepadaku di mana pasar"

Maka pergilah Abdur Rahman ke pasar untuk mencari karunia Allah. Sebuah pasar yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Ia datang dan pergi, bekerja dengan bersungguh-sungguh dan penuh semangat. Dia adalah seorang ekonom ulung, sehingga hanya beberapa tahun saja ia telah menjadi orang yang terkaya di antara kaum Muslimin. Beliau tidak meninggal dunia kecuali dengan meninggalkan kekayaan, salah satu di antaranya ada emas yang dipotong memakai kapak, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam kitab "Thabaqat" bahwa salah satu isterinya memperoleh harta waris sebesar 80.000 dinar.

Sesungguhnya Islam tidak melarang seseorang untuk kaya, selama kekayaan itu diperoleh dengan cara yang halal, tanpa membahayakan orang lain dan ia mau menginfaqkan sebagaimana mestinya tanpa pelit dan tidak pula berlebihan.

Pada suatu hari Abdur-Rahman pernah menjual tanahnya dengan harga 40.000 dinar, kemudian ia bagi harta itu kepada kerabatnya dari Bani Zahrah, kepada fuqara' kaum Muslimin dan kepada Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi SAW).

Suatu ketika datang rombongan unta miliknya dari Syam ke Madinah dengan membawa 700 unta dengan perbekalan yang lengkap. Kemudian beliau infaqkan semuanya di jalan Allah. Sebelum beliau wafat beliau mewasiatkan 50.000 dinar untuk fi sabilillah dan untuk setiap orang dari ahli Badar mendapat 400 dinar. Sebelum ini beliau juga telah banyak berinfaq dan berkurban, terutama zakat wajib dan nafkah (pembelanjaan) wajib. Inilah harta yang baik, yang berada di tangan orang yang shalih. Itulah sebaik-baik harta dan pemegangnya adalah sebaik-baik manusia. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa beliau masuk surga dengan memakai pantat itu tidak benar."

Sesungguhnya Islam memperbolehkan tiap-tiap orang untuk memiliki, bahkan mengajak untuk memiliki dan melindungi pemiliknya. Dan semua itu dapat diwariskan kepada anak turunnya. lni semua untuk memberi semangat yang kuat kepada setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam melanjutkan usahanya, sehingga seseorang itu dapat merasakan kepemimpinan dan kemampuan, merasakan nikmatnya pemilikan dan tidak menempatkan mereka menjadi budak-budak di bawah kekuasaan penjajah asing.

Pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa kebaikan untuk ummat dan untuk perekonomian seluruhnya. Telah terbukti bahwa sesungguhnya dorongan (motivasi) individu itu mampu merealisasikan produktifitas yang cukup besar. Berbeda dengan hak milik bersama seperti yayasan atau yang lainnya, yang produktifitasnya kecil dan tidak menguntungkan, karena tidak adanya motivasi dan kekuatan pengawasan yang timbul dari hak milik secara khusus.

Hanya saja Islam memberikan syarat untuk kepemilikan pribadi, yaitu dengan dua persyaratan sebagai berikut

1. Harus terbukti bahwa harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan dengan sarana yang diperbolehkan. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka Islam tidak mengakuinya, meskipun sudah lama berada di tangan orang yang memegangnya. Inilah yang membedakan dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia yang mengakui pemilikan secara haram yaitu apabila telah lama dikuasai pada masa tertentu, misalnya 15 tahun. Adapun menurut Islam, lamanya menguasai tidak boleh menjadikan yang haram menjadi yang halal, selama keharamannya masih tetap ada dan diketahui.

2. Hendaknya pemilikan pribadi itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Apabila ternyata bertentangan maka harus dicabut dari pemiliknya secara ridha (baik-baik) atau secara paksa, tetapi tetap harus diganti secara adil. Karena kemaslahatan (kepentingan) bersama itu lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi. Pernah terjadi pada masa Umar RA, bahwa beliau ingin mengadakan perluasan Masjidil Haram, yaitu ketika jamaah banyak dan tempatnya tidak lagi memadai. Umar berkeinginan membeli sebagian rumah yang ada kebunnya, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya, dan mereka tetap tidak mau. Maka Umar mengambilnya dari mereka secara paksa dan di masukkan ke bagian masjid, kemudian nilai uangnya diletakkan di tempat penitipan Ka'bah sehingga pemiliknya mengambil uang itu setelah beberapa waktu. Ini juga pernah terjadi pada Utsman RA.

Demikian juga apabila terdesak oleh keperluan atau kepentingan untuk menentukan lokasi pembuatan rumah sakit, pabrik, bandara, sekolahan atau yang lainnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama, maka tidak boleh bagi pemiliknya untuk menolak menjualnya asal dengan harga yang wajar. Apabila ia menolak maka penguasa berhak memaksanya untuk menerima, berdasarkan keputusan pengadilan khusus yang menyelesaikan perkara antara negara dan rakyat ketika terjadi perselisihan.


Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh) oleh Dr. Yusuf Qardhawi Cetakan Pertama Januari 1997 Citra Islami Press Jl. Kol. Sutarto 88 (lama) Telp.(0271) 632990 Solo 57126

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team