Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PRIORITAS FARDHU 'AIN ATAS FARDHU KIFAYAH

TIDAK  diperselisihkan  lagi  bahwa   perkara   fardhu   mesti
didahulukan   atas   perkara   yang  hukumnya  sunnah;  tetapi
perkara-perkara yang  fardhu  itu  sendiri  memiliki  berbagai
tingkatan.

Kita  yakin  betul  bahwa  fardhu  ain  harus didahulukan atas
fardhu kifayah. Karena fardhu  kifayah  kadangkala  sudah  ada
orang  yang melakukannya, sehingga orang yang lain sudah tidak
menanggung dosa karena tidak  melakukannya.  Sedangkan  fardhu
ain tidak dapat ditawar lagi, karena tidak ada orang lain yang
boleh  menggantikan  kewajiban  yang  telah  ditetapkan   atas
dirinya.

Banyak   hadits   Nabi   yang  menunjukkan  bahwa  kita  harus
mendahulukan fardhu ain atas fardhu kifayah.

Contoh yang paling jelas untuk  itu  ialah  perkara  yang  ada
kaitannya  dengan  berbuat  baik  terhadap  kedua orangtua dan
berperang membela agama Allah, ketika perang merupakan  fardhu
kifayah,  karena  peperangan  untuk  merebut suatu wilayah dan
bukan mempertahankan wilayah sendiri; yaitu  peperangan  untuk
merebut  suatu  wilayah  yang  diduduki oleh musuh. Kita harus
melakukan peperangan ketika tampak tanda-tanda musuh mengintai
kita  dan  hendak  merebut  wilayah yang lebih luas dari kita.
Dalam hal seperti ini hanya sebagian orang saja yang  dituntut
untuk  melakukannya, kecuali bila pemimpin negara menganjurkan
semua rakyatnya untuk pergi berperang.

Dalam peperangan seperti ini, berbakti kepada  kedua  orangtua
dan berkhidmat kepadanya adalah lebih wajib daripada bergabung
kepada  pasukan  tentara  untuk  berperang.  Dan  inilah  yang
diingatkan oleh Rasulullah saw.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin Ash
r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada  Nabi
saw.  Dia  meminta  izin untuk ikut berperang. Maka Rasulullah
saw bertanya kepadanya, "Apakah kedua orangtuamu  masih  hidup
?"  Dia  menjawab, "Ya." Rasulullah saw bersabda, "Berjuanglah
untuk kepentingan mereka." 10

Dalam riwayat Muslim disebutkan,  ada  seorang  lelaki  datang
kepada  Rasulullah  saw kemudian berkata, "Aku hendak berjanji
setia  untuk  ikut  hijrah  bersamamu,  dan  berperang   untuk
memperoleh pahala dari Allah SWT." Nabi saw berkata kepadanya:
"Apakah salah seorang di antara kedua orangtuamu masih hidup?"
Dia  menjawab,  "Ya.  Bahkan  keduanya  masih hidup." Nabi saw
bersabda, "Engkau  hendak  mencari  pahala  dari  Allah  SWT?"
Lelaki   itu  menjawab,  "Ya."  Nabi  saw  kemudian  bersabda,
"Kembalilah kepada kedua  orangtuamu,  perlakukanlah  keduanya
dengan sebaik-baiknya."

Diriwayatkan  dari  Muslim  bahwa  ada  seorang  lelaki datang
kepada Rasulullah saw seraya  berkata,  "Aku  datang  ke  sini
untuk  menyatakan  janji  setia  kepadamu untuk berhijrah, aku
telah meninggalkan kedua orangtuaku yang menangis  karenanya."
Maka  Nabi  saw bersabda, "Kembalilah kepada keduanya, buatlah
mereka  tertawa  sebagaimana  engkau  telah   membuat   mereka
menangis."

Diriwayatkan  dari  Anas r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki
datang kepada Rasulullah saw sambil berkata, "Sesungguhnya aku
sangat  ingin  ikut  dalam  peperangan, tetapi aku tidak mampu
melaksanakannya." Nabi saw bersabda, "Apakah salah seorang  di
antara  kedua  orangtuamu masih ada yang hidup?" Dia menjawab,
"Ibuku." Nabi saw bersabda, "Temuilah Allah  dengan  melakukan
kebaikan kepadanya. Jika engkau melakukannya, maka engkau akan
mendapatkan pahala yang sama  dengan  orang  yang  mengerjakan
ibadah haji, umrah, dan berjuang di jalan Allah." 2

Diriwayatkan  dari  Mu'awiyah  bin  Jahimah bahwasanya Jahimah
datang kepada Nabi saw kemudian  berkata,  "Wahai  Rasulullah,
aku ingin ikut berperang, dan aku datang ke sini untuk meminta
pendapatmu." Maka  Rasulullah  saw  bersabda,  "Apakah  engkau
masih mempunyai ibu?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah bersabda,
"Berbaktilah kepadanya, karena sesungguhnya  surga  berada  di
bawah kakinya." 13

Thabrani  meriwayatkan  hadits  itu dengan isnad yang baik, 14
dengan lafalnya sendiri bahwa  Jahimah  berkata,  "Aku  datang
kepada  Nabi  saw  untuk meminta pendapat bila aku hendak ikut
berperang. Maka Nabi saw bersabda,  'Apakah  kedua  orangtuamu
masih  ada?'  Aku  menjawab,  'Ya.'  Maka  Nabi  saw bersabda,
'Tinggallah bersama mereka, karena sesungguhnya  surga  berada
di bawah telapak kaki mereka.'"

BEBERAPA TINGKAT FARDHU KIFAYAH

Saya  ingin  menjelaskan  di  sini  bahwa  sesungguhnya fardhu
kifayah juga mempunyai beberapa tingkatan. Ada fardhu  kifayah
yang  cukup  hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan ada
pula fardhu kifayah yang dilakukan oleh orang banyak. Ada pula
fardhu-fardhu  kifayah  yang  tidak  begitu  banyak orang yang
telah  melakukannya,  bahkan   tidak   ada   seorangpun   yang
melakukannya.

Pada  zaman  Imam  Ghazali, orang-orang merasa aib bila mereka
tidak menuntut ilmu pengetahuan di  bidang  fiqh,  padahal  ia
merupakan  fardhu  kifayah,  dan  pada  masa  yang sama mereka
meninggalkan wajib kifayah yang lain; seperti ilmu kedokteran.
Sehingga  di suatu negeri kadangkala ada lima puluh orang ahli
fiqh, dan  tidak  ada  seorangpun  dokter  kecuali  dari  ahli
dzimmah.  Padahal  kedokteran pada saat itu sangat diperlukan,
di samping ia juga dapat dijadikan sebagai  pintu  masuk  bagi
hukum-hukum dan urusan agama.

Oleh  karena  itu,  fardhu kifayah yang hanya ada seorang yang
telah melakukannya adalah lebih utama daripada fardhu  kifayah
yang  telah  dilakukan oleh banyak orang; walaupun jumlah yang
banyak ini belum menutup semua keperluan. Fardhu kifayah  yang
belum  cukup  jumlah  orang yang melakukannya, maka ia semakin
diperlukan.

Kadangkala fardhu kifayah dapat meningkat  kepada  fardhu  ain
untuk kasus Zaid atau Amr, karena yang memiliki keahlian hanya
dia seorang, dan dia mempunyai kemungkinan untuk melakukannya,
serta  tidak  ada  sesuatupun  yang menjadi penghalang baginya
untuk melakukannya.

Misalnya,  kalau  negara   memerlukan   seorang   faqih   yang
ditugaskan  untuk  memberi  fatwa,  dan dia seorang yang telah
belajar fiqh, atau  dia  sendiri  yang  dapat  menguasai  ilmu
tersebut.

Contoh  lainnya  ialah  guru,  khatib,  dokter,  insinyur, dan
setiap orang  yang  memiliki  keahlian  tertentu  yang  sangat
diperlukan  oleh manusia, dan keahlian ini tidak dimiliki oleh
orang lain.

Misal yang lain  ialah  apabila  ada  seorang  yang  mempunyai
pengalaman  di  bidang  kemiliteran  yang  sangat  khusus, dan
tentara  kaum  Muslimin  memerlukannya,   yang   tidak   dapat
digantikan   oleh   orang   lain,  maka  wajib  baginya  untuk
mengajukan diri melakukan tugas tersebut.

Catatan kaki:

10 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Jihad; dan Muslim dalam
   al-Birr. hadits no. 2549
   
11 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dalam al-Jihad
   (2528): Ibn Majah (2782); dan disahihkan oleh Hakim.
   4:152-153, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
   
12 Al-Mundziri berkata dalam kitab ar-Targhib wat-Tarhib: "Abu
   Ya'la dan Thabrani meriwayatkan dalam as-Shaghir dan
   al-Awsath, dengan isnad yang baik, Maimun bin Najih yang
   dikuatkan oleh Ibn Hibban, dan rawi-rawi yang masyhur
   (al-Muntaqa, 1474). Al-Haitsami mengatakan: "Orang-orang yang
   meriwayatkannya adalah shahih, selain Maimun bin Najih tetapi
   telah dikuatkan oleh Ibn Hibban." (Al-Majma', 8:138)
   
13 Diriwayatkan oleh Nasai dalam al-Jihad. 6: 111; Ibn Majah
   (2781); Hakim men-shahih-kannya dan disepakati oleh
   al-Dzahabi. 4:151.
   
14 Begitulah yang dikatakan aleh al-Mundziri (lihat
   al-Muntaqa, 1475); al-Haitsami berkata: "Orang-orang yang
   meriwayatkan hadits ini semuanya tsiqat." (Al-Majma', 8:138)
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team