Fiqh Prioritas

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II. HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH PERTIMBANGAN
oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy
 
FIQH prioritas  memiliki  hubungan  yang  sangat  erat  dengan
bentuk  fiqh  lainnya, dalam beberapa hal, seperti yang pernah
kami tulis sebelumnya.
 
Ia berkaitan dengan fiqh pertimbangan (muwazanah), yang pernah
saya  bahas  dalam buku saya Prioritas Gerakan Islam. Di dalam
buku itu saya mengutip beberapa pokok  pikiran  Syaikh  Islam,
Ibn Taimiyah, yang saya pandang sangat berguna.
 
Peran  terpenting  yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan
ini ialah:
 
1) Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan
   manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
   
2) Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan,
   madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.
   
3) Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan,
   antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang
   bertentangan ini bertemu satu sama lain.
 
PERTIMBANGAN ANTARA BERBAGAI KEMASLAHATAN SATU DENGAN LAINNYA
 
Pada kategori pertama  (kemaslahatan),  kita  dapat  menemukan
kemaslahatan  yang telah ditetapkan oleh syari'ah agama, bahwa
kemaslahatan tidak  berada  pada  satu  peringkat.  Tetapi  ia
bertingkat-tingkat,  sebagaimana  peringkat  utama  yang telah
ditetapkan  oleh  para  ahli   usul   fiqh.   Mereka   membagi
kemaslahatan  itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai
berikut:   dharuriyyat,   hajjiyyat,   dan   tahsinat.    Yang
dimaksudkan  dengan  dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak
bisa hidup kecuali dengannya; dan  hajjiyyat  ialah  kehidupan
memungkinkan   tanpa   dia,  tetapi  kehidupan  itu  mengalami
kesulitan dan  kesusahan;  dan  tahsinat  ialah  sesuatu  yang
diper-gunakan  untuk  menghias dan mempercantik kehidupan, dan
seringkali kita sebut dengan kamaliyyat (pelengkap).
 
Fiqh    pertimbangan    --dan    pada     gilirannya,     fiqh
prioritas--mengharuskan kita:
 
 * Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap
   tahsinaf;
   
 * Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.
 
Pada sisi yang lain,  dharuriyyat  sendiri  terbagi-bagi  lagi
menjadi   beberapa   bagian.   Para  ulama  menyebutkan  bahwa
dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan,  akal,
dan  harta  kekayaan.  Sebagian  ulama menambahkan dharuriyyat
yang keenam, yaitu kehormatan.
 
Agama  merupakan  bagian  pertama  dan   terpenting   daripada
dharuriyyat.   Ia   harus   didahulukan  atas  berbagai  macam
dharuriyyat yang lain,  sampai  kepada  jiwa  manusia.  Begitu
pula,  jiwa  harus  diutamakan  atas  dharuriyyat yang lain di
bawahnya.
 
Dalam memberikan pertimbangan  terhadap  berbagai  kepentingan
tersebut, kita dapat mempergunakan kaidah berikut ini:
 
   Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas
   kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih
   diragukan.
   
   Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang
   kecil.
   
   Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan
   individual.
   
   Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan
   yang sedikit.
   
   Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas
   kepentingan yang sementara dan insidental.
   
   Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas
   kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
   
   Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas
   kepentingan kekinian yang lemah.
 
Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, kita dapat melihat Nabi
saw  yang  mulia memenangkan kepentingan inti dan fundamental,
serta kepentingan masa depan atas  kepentingan  yang  bersifat
formalitas  dan tidak penting, yang seringkali menipu manusia.
Rasulullah saw menerima syarat-syarat yang pada awalnya diduga
bahwa  penerimaan  itu  tidak  adil bagi kaum Muslim, sehingga
mereka harus menerima bagian yang kurang  ...  Pada  saat  itu
baginda  Nabi  saw  yang mulia menerima permintaan orang kafir
untuk  menghapuskan  "basmalah"  yang  tertulis  pada   lembar
perjanjian,   dan   sebagai   gantinya   ditulislah   "bismika
allahumma."  Selain   itu,   beliau   juga   merelakan   untuk
menghapuskan  sifat  kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi
saw yang mulia "Muhammad Rasulullah" dan  cukup  hanya  dengan
menuliskan nama beliau saja "Muhammad bin Abdullah". Semua itu
dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendapatkan ketenangan dan
perdamaian   di  balik  itu,  sehingga  memungkinkannya  untuk
menyiarkan da'wah Islam, dan mengajak raja-raja di  dunia  ini
untuk  memeluk  Islam.  Tidak  diragukan  lagi  bahwa tindakan
Rasulullah saw itu disebut di dalam al-Qur'an al-Karim  dengan
istilah  kemenangan  yang  nyata  (fath  mubin). Contoh-contoh
serupa itu banyak kita temukan pada kehidupan beliau.
 
PERTIMBANGAN ANTARA KERUSAKAN DAN MADHARAT YANG SATU DENGAN
LAINNYA
 
Pada  bagian  kedua  --kerusakan  dan  Madharat--  kita  dapat
menemukan bahwa kerusakan dan madharat itu memiliki tingkatan,
sebagaimana tingkat yang terdapat pada kemaslahatan.
 
Kerusakan yang dapat merusak perkara yang termasuk dharuriyyat
adalah  berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat,
atau tahsinat.
 
Kerusakan yang  dapat  membahayakan  harta  benda  tidak  sama
tingkatannya  dengan  kerusakan  yang dapat membunuh jiwa; dan
juga tidak sama dengan kerusakan yang dapat membahayakan agama
dan aqidah.
 
Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan
dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah,
para  fuqaha  menetapkan  sejumlah  kaidah  yang baku mengenai
hukum yang penting; antara lain.
 
   "Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
   
   "Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."
   
   "Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang
   sepadan atau yang lebih besar."
   
   "Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya
   lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan"
   
   "Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak
   bahaya yang lebih besar."
   
   "Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk
   menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum."
 
PERTIMBANGAN ANTARA MASLAHAT DAN KERUSAKAN APABILA KEDUA HAL
YANG BERTENTANGAN INI BERTEMU
 
Apabila   dalam   suatu   perkara   terdapat   maslahat    dan
kerusakannya,  ada  bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus
dipertimbangkan dengan betul. Kita harus  mengambil  keputusan
terhadap  pertimbangan  yang  lebih  berat  dan  lebih banyak,
karena sesungguhnya yang lebih  banyak  itu  mengandung  hukum
yang menyeluruh.
 
Kalau  misalnya  kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih
berat dalam suatu perkara  dibandingkan  dengan  manfaat  yang
terkandung   di  dalamnya,  maka  perkara  seperti  ini  mesti
dicegah,  karena  kerusakan  lebih   banyak,   kita   terpaksa
mengabaikan  sedikit  manfaat  yang  terkandung  di  dalamnya.
Keputusan  ini  didasarkan  kepada  apa  yang  dikatakan  oleh
al-Qur'an  al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi
ketika  dia  memberikan  jawaban  terhadap  orang-orang   yang
bertanya mengenai kedua hal itu:
 
   "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
   Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
   beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
   besar danpada manfaatnya ..." (al-Baqarah: 219)
 
Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat  yang
lebih  besar,  maka  perkara  itu  boleh  dilakukan, sedangkan
kerusakan kecil yang ada padanya dapat  diabaikan.  Di  antara
kaidah penting dalam hal ini ialah:
 
   "Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan
   manfaat."
 
Kaidah ini kemudian  disempurnakan  dengan  kaidah  lain  yang
dianggap penting:
 
   "Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh,
   kemaslahatan yang lebih besar."
   
   "Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi
   kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."
   
   "Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan
   karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."
 
Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti itu memiliki arti  yang
sangat  penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam
masalah  Siyasah  Syari'ah  (politik  syari'ah),   karena   ia
merupakan  landasan  bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya
dapat dipandang sebagai fiqh prioritas.
 
BAGAIMANA MENGETAHUI KEMASLAHATAN DAN KERUSAKAN?
 
Kemaslahatan yang mesti dipelihara ialah kepentingan dunia dan
kepentingan   akhirat;   atau   kepentingan   dunia  sekaligus
kepentingan  akhirat  secara  bersamaan.  Begitu  pula  halnya
dengan    kerusakan    yang   sudah   tidak   diragukan   lagi
keberadaannya.
 
Masing-masing kemaslahatan dan kerusakan ini  dapat  diketahui
melalui  akal  pikiran,  atau  melalui  ketetapan  agama, atau
melalui keduanya sekaligus.
 
PENDAPAT IBN ABD AL-SALAM
 
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci cara  untuk  mengetahui
bemaslahan dan kerusakan, berikut peringkat-peringkatnya.
 
Dengan jelas beliau menulis dalam  bukunya,  Qawa'id  al-Ahkam
Mashalih al-Imam:
 
   "Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat
   diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar
   dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum
   ajaran agama diturunkan, orang yang berakal telah
   mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu kebaikan dan
   menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri
   manusia, menurut pandangannya merupakan sesuatu yang
   terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang dianggap
   paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan
   baik. Dan penolakan terhadap kerusakan dianggap paling
   membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik.
   Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih)
   atas kemaslahatan yang tidak diterima (marjuh) juga
   merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan
   terhadap kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan
   yang belum dianggap pasti juga merupakan sesuatu yang
   baik."
 
Orang-orang yang bijak pun sepakat dengan  pendapat  di  atas.
Begitu  pula,  berbagai  ajaran  syari'ah  mengharamkan darah,
harta kekayaan, dan kehormatan; dan menganjurkan  kepada  kita
untuk  melakukan  sesuatu  yang terbaik, baik berupa perkataan
maupun perbuatan.
 
Apabila terdapat perselisihan pendapat pada sebagian persoalan
tersebut,  maka sebetulnya perselisihan tersebut muncul ketika
ada kesamaan pertimbangan antara maslahat dan  madharat.  Pada
saat inilah orang-orang merasa bimbang mengambil keputusan.
 
Begitu  pula para dokter yang sedang menghadapi komplikasi dua
macam penyakit pada pasiennya, mereka  akan  mengambil  risiko
yang  paling  ringan,  dan mengambil keselamatan dan kesehatan
yang paling tinggi, dan tidak mengindahkan risiko yang  ringan
itu.  Akan  tetapi  mereka  akan  bimbang  manakala menghadapi
risiko dan keselamatan yang sama.  Dunia  kedokteran  bagaikan
syari'ah. Ia dibuat untuk mengambil keselamatan dan kesehatan,
menolak kerusakan dan  penyakit.  Ia  diadakan  untuk  menolak
segala  kemungkinan  buruk  yang mungkin timbul, dan mengambil
kebaikan yang mungkin dilakukan. Dan jika  penolakan  terhadap
keburukan  itu  tidak  dapat  dilakukan,  pengambilan terhadap
kebaikan  juga  tidak  dapat   dilakukan,   sehingga   tingkat
keburukan  dan kebaikan berada pada satu titik yang sama, maka
ia harus mengambil keputusan. Jika ada perbedaannya,  maka  ia
harus  memilih  pertimbangan  yang lebih berat. Dan jika tidak
ada perbedaannya,  maka  ia  tidak  dapat  melakukan  tindakan
apa-apa.  Yang menetapkan aturan syari'ah ini adalah juga yang
menetapkan  aturan  dalam  dunia  kedokteran.  Dua  dunia  ini
sama-sama   diletakkan   untuk   mengambil  kemaslahatan  bagi
hamba-hamba-Nya dan menyingkirkan kerusakan dari mereka.
 
Kalau dalam dunia keagamaan, kita tidak boleh  melangkah  maju
dalam  mengambil  kemaslahatan ketika dua tangan timbangan itu
seimbang; maka di dalam dunia kedokteran keputusan pengambilan
kemaslahatan  juga  tidak  boleh melangkah maju sebelum muncul
tanda yang memberatkan salah satu tangan timbangan.  Begitulah
seharusnya  kita  mengambil keputusan pada persoalan yang baik
dan yang lebih baik; pada persoalan yang rusak dan yang paling
rusak.  Demikianlah semestinya kaidah yang harus diberlakukan;
karena hanya  orang-orang  bodoh  saja  yang  menyimpang  dari
aturan  yang  berlaku  seperti  itu.  Kita  diharamkan memakan
binatang sembelihan dari orang-orang kafir. Namun ada sebagian
orang  yang  menyangka  bahwa  kemaslahatan  itu terdapat pada
binatang yang disembelih, sehingga pandangan seperti ini tidak
benar. Sebenarnya, dia mendahulukan kemaslahatan pada binatang
yang  rendah  nilainya  atas  binatang  yang,   lebih   tinggi
nilainya.  Kalau  orang ini mau melepaskan diri dari kebodohan
dan hawa nafsunya, maka mereka akan  mendahulukan  yang  lebih
baik  atas  yang  rendah  nilainya.  Mereka akan membuang yang
lebih jelek dan mengambil yang ielek:
 
   "... Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah
   disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang
   penolongpun." (ar-Rum: 29)
 
Siapa yang mendapatkan bimbingan  dari  Allah  dan  dipelihara
oleh-Nya, sehingga dia dapat melihat hal itu dengan jelas, dan
melakukan amalannya sesuai dengan pandangannya itu,  maka  dia
akan  mendapatkan  keberuntungan.  Akan  tetapi,  jumlah orang
seperti ini tidak banyak. Salah seorang penyair mengatakan:
 
   "Kami menghitung jumlah mereka sangat sedikit. Tetapi
   ternyata jumlah mereka lebih sedikit daripada yang
   sedikit itu."
 
Demikian pula orang-orang yang melakukan ijtihad  dalam  hukum
agama.  Ada  orang  yang  diberi  bimbingan oleh Allah SWT dan
dipelihara dari kesalahan,  karena  dia  mendapatkan  petunjuk
yang jelas dari-Nya, sehingga dapat melakukan yang benar. Oleh
karena itu, dia mendapatkan pahala atas niatnya dan  kebenaran
yang   dilakukannya.  Sebaliknya,  ada  orang  yang  melakukan
kesalahan  dalam  melakukan  ijtihad  itu,  maka   dia   hanya
mendapatkan  pahala  atas  niat dan ijtihad yang dilakukannya;
sedangkan kesalahannya dimaafkan. Dan yang  lebih  besar  dari
kesalahan itu ialah hal-hal yang berkaitan dengan usul fiqh.
 
Ketahuilah  bahwa sesungguhnya kemampuan untuk memilih sesuatu
yang lebih besar kemaslahatannya,  dan  menolak  sesuatu  yang
lebih besar kejelekannya sudah diberikan oleh Allah dalam diri
manusia, sebagaimana yang telah kami sebutkan di  dalam  kitab
ini.  Kalau  Anda memberikan pilihan kepada seorang anak kecil
antara dua makanan yang lezat dan lebih lezat, maka  dia  akan
memilih  yang  lebih  lezat.  Kalau  dia  diberi pilihan untuk
memilih yang baik dan yang lebih baik, maka dia  akan  memilih
yang  lebih  baik. Kalau dia diberi pilihan untuk memilih uang
kertas dan uang dirham, maka dia  akan  memilih  uang  dirham.
Kalau  dia  disuruh memilih antara uang dirham dan dinar, maka
dia akan memilih dinar. Tidak akan ada orang yang mendahulukan
yang  baik  atas yang lebih baik kecuali orang yang tidak tahu
kelebihan yang lebih baik itu, atau  orang  yang  berpura-pura
tidak melihat perbedaan antara dua tingkatan tersebut.1
 
Adapun  kemaslahatan  dan  kemudharatan  masalah akhirat hanya
dapat diketahui melalui dalil-dalil naqli.
 
Kemaslahatan dan  kerusakan  dunia  dan  akhirat  berada  pada
tingkat  yang berbeda. Ada yang berada di atasnya dan ada pula
yang di bawahnya.  Namun  ada  pula  yang  sama  tingkatannya.
Kemaslahatan  dan  kerusakan  ini terbagi lagi menjadi hal-hal
yang disepakati dan hal-hal yang tidak disepakati.
 
Setiap persoalan yang diperintahkan  kepada  kita  untuk  kita
lakukan  merupakan persoalan yang mengandung kemaslahatan bagi
dunia dan akhirat, atau salah satu di antara  kedua  hal  itu.
Dan setiap yang dilarang pasti mengandung kerusakan bagi dunia
dan  akhirat,  atau  kerusakan  pada  salah  satu  di   antara
keduanya. Perbuatan yang menghasilkan kemaslahatan yang paling
baik merupakan amalan yang paling mulia,  sedangkan  perbuatan
yang menghasilkan kerusakan yang paling buruk merupakan amalan
yang paling  hina.  Tidak  ada  kebahagiaan  yang  lebih  baik
daripada  makrifat, iman, dan taat kepada Allah SWT; dan tidak
ada kesengsaraan yang lebih buruk daripada kebodohan  terhadap
ajaran agama, kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.
 
Pahala  yang  diterima  di  akhirat kelak juga berbeda menurut
tingkatan kemaslahatannya. Dan siksa yang  akan  diberikan  di
akhirat  juga  akan  dilihat  menurut  tingkat  kerusakan yang
dilakukan. Sebagian besar tujuan ajaran yang terdapat di dalam
al-Qur'an  al-Karim ialah menyuruh kita mengambil kemaslahatan
dengan segala hal yang berkaitan dengannya, dan mencegah  kita
untuk   melakukan   kerusakan   dan   hal-hal  yang  berkaitan
dengannya. Tidak ada penisbatan kemaslahatan dan kerusakan  di
dunia  terhadap  kemaslahatan dan kerusakan di akhirat. Karena
sesungguhnya kemaslahatan di  akhirat  kelak  pahalanya  ialah
surga   yang  abadi  dan  keridhaan  Allah,  dengan  memandang
keharibaan-Nya. Betapa nikmatnya kenikmatan  yang  abadi  ini.
Sedangkan  kerusakan  di  akhirat balasannya ialah neraka yang
abadi  dan  kemurkaan  Allah,   dengan   tidak   berkesempatan
memandang  keharibaan-Nya. Betapa sengsaranya siksa yang pedih
dan abadi ini.
 
Kemaslahatan itu ada  tiga  macam:  kemaslahatan  yang  mubah,
kemaslahatan yang sunat, dan kemaslahatan yang wajib.
 
Sedangkan  kerusakan itu ada dua macam: kerusakan yang makruh,
dan kerusakan yang haram.
 
CARA MENGETAHUI KEBAIKAN DAN KERUSAKAN DI DUNIA DAN DI AKHIRAT
--------------------------------------------------------------
 
KEBAIKAN dan kerusakan di dunia dan  di  akhirat  hanya  dapat
diketahui  melalui syari'ah agama. Jika ada hal-hal yang masih
belum diketahui, maka harus  dicari  dari  dalil-dalil  agama;
yaitu  dari  al-Qur'an al-Karim, Sunnah Rasulullah saw, ijma',
qiyas yang benar dengan cara  pengambilan  dalil  yang  sahih.
Sedangkan   kemaslahatan  dunia  dan  hal-hal  yang  berkaitan
dengannya  dapat  diketahui  dengan  kepentingan,  pengalaman,
kebiasaan,  dan dugaan yang benar. Jika ada sesuatu yang masih
belum diketahui maka harus dicari dalilnya. Oleh  karena  itu,
orang   ingin   mengetahui   kesesuaian,   kemaslahatan,   dan
kerusakannya, maka dia harus  membandingkan  antara  keduanya,
mana  yang  diterima  dan  mana  yang tidak diterima, kemudian
mengajukannya kepada akal pikirannya jika syari'ah agama belum
mengeluarkan  ketetapan  atas  persoalan  itu; dan selepas itu
dibangunlah hukum-hukum atasnya. Hampir tidak ada  hukum  yang
keluar dari aturan seperti ini, kecuali hal-hal yang berkaitan
dengan peribadatan terhadap Allah  yang  dilakukan  oleh  para
hambaNya.  Dengan  cara  seperti  itulah,  kebaikan amalan dan
keburukannya dapat diketahui. Padahal sesungguhnya tidak wajib
bagi  Allah  untuk  mengambil  kemaslahatan yang baik, menolak
masalah yang buruk, sebagaimana  tidak  wajib  bagi-Nya  untuk
mencipta,  memberi  rizki,  memberi  beban  kewajiban, memberi
pahala  dan  memberi  siksa.  Pengambilan   kemaslahatan   dan
penolakan   atas   hal-hal   yang   buruk   merupakan  sejenis
kekuasaan-Nya atas para hamba-Nya.
 
TUJUAN PENULISAN BUKU QAWA'ID AL-AHKAM
 
Imam Ibn Abd al-Salam memberikan penjelasan  berkenaan  dengan
tujuan  penulisan  bukunya,  "Tujuan  penulisan buku ini ialah
untuk  memberikan   penjelasan   tentang   pelbagai   kebaikan
melakukan  ketaatan,  mu'amalah,  dan tindak laku yang lainnya
agar  supaya  hamba-hamba  Allah  SWT  berupaya   mencapainya;
memberikan  penjelasan  mengenai buruknya penentangan terhadap
ajaran Allah, agar mereka menghindari  tindakan  seperti  itu;
memberikan  penjelasan  mengenai  baiknya berbagai ibadah agar
mereka  melakukannya;   penjelasan   mengenai   didahulukannya
sebagian   kemaslahatan   atas   sebagian   yang   lain,   dan
diakhirkannya sebagian kerusakan  atas  kerusakan  yang  lain;
serta   penjelasan  mengenai  perbuatan  yang  dilakukan  oleh
manusia yang dia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.
Syari'ah  agama  ini  secara  keseluruhan  mengandung berbagai
macam kemaslahatan; baik berupa penolakan  terhadap  kerusakan
atau  pengambilan  kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman
Allah: "Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan
yang  datang  setelah  panggilan  ini,  pasti  Anda tidak akan
menemukan  kecuali  kebaikan  yang  dianjurkan  olehnya,  atau
keburukan  yang  Anda dilarang melakukannya, atau kedua-duanya
sekali.  Allah  telah  menjelaskan  dalam  Kitab-Nya  mengenai
sebagian  hukum  berkenaan  dengan  kerusakan  yang  sekaligus
menganjurkan kepada kita untuk menjauhinya, serta  hukum-hukum
yang berkaitan dengan kemaslahatan yang sekaligus menganjurkan
kepada kita untuk melakukannya."2
 
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH TUJUAN SYARI'AH
 
Fiqh  Prioritas  juga  berkaitan  erat  dengan   Fiqh   Tujuan
Syari'ah.  Semua  orang  sepakat  bahwa  hukum-hukum  syari'ah
secara menyeluruh memiliki alasan, dan  juga  terdapat  tujuan
tertentu yang ada di balik bentuk lahiriah hukum syari'ah yang
harus  dilaksanakan  itu;  karena   sesungguhnya   di   antara
nama-nama Allah ialah al-Hakim (Maha Bijaksana) , yang disebut
di dalam al-Qur'an al-Karim lebih dari  sembilan  puluh  kali.
Allah  yang  Maha  Bijaksana tidak akan membuat syari'ah agama
tanpa tujuan, sebagaimana Dia tidak akan  menciptakan  sesuatu
dengan sia-sia.
 
Bahkan,   bentuk  ibadah  mahdhah  (ibadah  yang  murni)  juga
mempunyai tujuan-tujuan tertentu,  yang  kadang-kadang  alasan
ibadah itu disebutkan oleh al-Qur'an:
 
Shalat  misalnya,  adalah  untuk  mencegah  perbuatan keji dan
mungkar  (al-'Ankabut:  45);  zakat  untuk  membersihkan   dan
menyucikan   diri   manusia   (at-Taubah:103);   puasa   untuk
menjadikan manusia bertaqwa (al-Baqarah, 183); dan ibadah haji
untuk  menyaksikan  berbagai  manfaat, dan menyebut nama Allah
(al-Hajj, 28).
 
Di antara pemahaman terbaik kita terhadap ajaran  agama  Allah
ialah  bila  kita  mengetahui tujuan pemberian beban kewajiban
yang mesti kita lakukan, sehingga kita dapat mewujudkan tujuan
tersebut,  dan  tidak  memaksa  diri  kita dan juga orang lain
untuk melakukan sesuatu yang  tidak  berkaitan  dengan  tujuan
syari'ah.
 
Dari  uraian ini saya tidak melihat alasan yang jelas mengenai
pemaksaan pentingnya mengeluarkan zakat  fitrah  dalam  bentuk
makanan  sebagaimana  yang kita saksikan di setiap tempat pada
zaman kita sekarang ini, di kota maupun di  desa.  Pengeluaran
zakat    fitrah   dalam   bentuk   makanan   bukanlah   tujuan
satu-satunya, tetapi tujuan sebenarnya ialah  mencukupi  orang
fakir miskin pada hari yang sangat mulia ini agar mereka tidak
meminta-minta  dan  berkeliling  menengadahkan  tangan  kepada
orang lain.
 
Saya  juga  tidak  melihat  alasan  yang jelas makna pemaksaan
pelemparan jumrah dalam  ibadah  haji  sebelum  tergelincirnya
matahari, walaupun pada saat itu para jamaah sangat ramai, dan
ratusan orang mati terinjak kaki, seperti  yang  terjadi  pada
musim  haji  tahun  yang  lalu.  Di dalam syari'ah agama tidak
ditunjukkan bahwa perkara  ini  merupakan  tujuan  yang  mesti
dicapai,  tetapi tujuannya ialah mengingat Allah SWT, dan yang
diminta ialah yang mempermudah cara  pelaksanaan  ibadah  haji
itu, sehingga tidak menyakitkan.
 
Yang  terpenting  di sini ialah, membedakan antara tujuan yang
tetap dan cara pelaksanaan yang berubah-ubah. Untuk  hal  yang
pertama  kita  umpamakan  seperti  besi yang sangat keras, dan
untuk hal  yang  kedua  kita  umpamakan  seperti  sutera  yang
lembut.  Persoalan  ini  telah  kami jelaskan dalam buku kami,
Kayfa Nata'amal ma'a as-Sunnah an-Nabawiyyah.3
 
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH NASH
 
Tidak diragukan lagi bahwa fiqh  prioritas  memiliki  hubungan
yang  erat dengan fiqh nash syari'ah yang bersifat parsial. Di
mana nash yang parsial  ini  berkaitan  dengan  tujuan  secara
umum,  kaidah-kaidah  umum,  sehingga  yang  parsial ini dapat
dikembalikan kepada yang umum, dan sebaliknya, masalah-masalah
cabang dapat dikembalikan kepada yang pokok.
 
Yang  paling penting di sini ialah membedakan antara nash yang
bersifat qath'i dan nash yang  bersifat  zhanni,  antara  nash
yang  muhkam  dan nash yang mutasyabih. Nash yang zhanni mesti
dipahami berdasarkan yang qath'i,  dan  nash  yang  mutasyabih
mesti dipahami dalam kerangka nash yang muhkam.
 
Fiqh  seperti  ini sangat penting sekali untuk memahami Sunnah
Nabi,  karena  seringkali  terjadi  pencampuradukan  pemahaman
antara Sunnah Nabi dan al-Qur'an; karena kedudukan Sunnah Nabi
sebagai penjelas dan pemerinci  al-Qur'an  al-Karim,  sehingga
dia  banyak  masuk  kepada hal-hal yang parsial dan pada tahap
pelaksanaannya. Selain ibu, di dalam Sunnah Nabi juga terdapat
penetapan  syari'ah  (tasyri'),  yang melupakan masalah pokok;
dan juga ada perkara yang sifatnya bukan  penetapan  syari'ah,
misalnya  hadits yang berkaitan dengan pengawinan pohon kurma.
Disamping itu, dalam Sunnah Nabi juga ada  penetapan  syari'ah
yang  bersifat  langgeng (kontinyu) dan ada pula yang sifatnya
insidental; ada penetapan syari'ah yang bersifat umum, dan ada
pula  yang  bersifat  khusus. Di mana untuk berbagai persoalan
tersebut telah banyak dirinci oleh para ulama yang lain.
 
Saya  sendiri  telah  menjelaskan  masalah   tersebut   ketika
berbicara  tentang  Salah  Satu  Sisi Penetapan Syari'ah dalam
Sunnah, yang dimuat  dalam  majalah  Markaz  Buhuts  as-Sunnah
was-Sirah;  dan  juga  dalam  buku  saya sendiri as-Sunnah...,
Mashdar li  al-Ma'rifah  wa  al-Hadharah.4  Bagi  peminat  dua
masalah  ini  dapat  merujuk  kepada  dua buah sumber tersebut
untuk kajian yang lebih mendalam.
 
Catatan Kaki:
 
1 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1:5-7.
 
2 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1:5-11.
 
3 Baca bagian yang membicarakan "Perbedaan antara Cara yang
  Berubah-ubah dan Tujuan sunnah yang tetap."
 
4 Diterbitkan oleh Markaz Buhuts as-Sunnah wa al-Sirah
  al-Nabawiyyah, Universitas Qatar.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team