Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PRIORITAS ILMU ATAS AMAL
------------------------

DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah
prioritas  ilmu  atas  amal.  Ilmu  itu harus didahulukan atas
amal, karena ilmu merupakan petunjuk  dan  pemberi  arah  amal
yang  akan  dilakukan.  Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu,
itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."

Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang  ilmu
dalam  Jami'  Shahih-nya,  dengan  judul  "Ilmu itu Mendahului
Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah  atas  buku  ini
menjelaskan  bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus
menjadi  syarat  bagi  ke-shahih-an  perkataan  dan  perbuatan
seseorang.  Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan
ilmu; sehingga ilmu itu  didahulukan  atas  keduanya.  Ilmulah
yang  membenarkan  niat  dan  membetulkan  perbuatan yang akan
dilakukan.  Mereka  mengatakan:  "Bukhari  ingin  mengingatkan
orang  kepada  persoalan  ini,  sehingga  mereka  tidak  salah
mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat  kecuali
disertai  dengan  amal  yang pada gilirannya mereka meremehkan
ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."

Bukhari mengemukakan  alasan  bagi  pernyataannya  itu  dengan
mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:

   "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
   selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas
   dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..."
   (Muhammad: 19)

Oleh karena itu,  Rasulullah  saw  pertama-tama  memerintahkan
umatnya  untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan
ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam
ayat  itu  ditujukan  kepada  Nabi  saw,  tetapi ayat ini juga
mencakup umatnya.

Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini:

   "... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
   hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28)

Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada  Allah,
dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.

Sementara   dalil   yang   berasal  dari  hadits  ialah  sabda
Rasulullah saw:

   "Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia
   akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2

Karena bila dia memahami ajaran agamanya,  dia  akan  beramal,
dan melakukan amalan itu dengan baik.

Dalil   lain   yang   menunjukkan   kebenaran   tindakan  kita
mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali
diturunkan  ialah  "Bacalah."  Dan  membaca  ialah  kunci ilmu
pengetahuan;  dan  setelah  itu  baru  diturunkan  ayat   yang
berkaitan dengan kerja; sebagai berikut:

   "Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah
   peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu
   bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4)

Sesungguhnya ilmu  pengetahuan  mesti  didahulukan  atas  amal
perbuatan,  karena  ilmu  pengetahuanlah yang mampu membedakan
antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat  manusia;
antara  yang  benar  dan yang salah di dalam perkataan mereka;
antara perbuatan-perbuatan yang  disunatkan  dan  yang  bid'ah
dalam  ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam
melakukan muamalah; antara tindakan yang  halal  dan  tindakan
yang  haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak
manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang  ditolak;
antara  perbuatan  dan  perkataan  yang bisa diterima dan yang
tidak dapat diterima.

Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita
yang   memulai   karangan   mereka  dengan  bab  tentang  ilmu
pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh  Imam  al-Ghazali
ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin.
Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh  al-Mundziri  dengan
bukunya   at-Targhib   wat-Tarhib.   Setelah  dia  menyebutkan
hadits-hadits tentang  niat,  keikhlasan,  mengikuti  petunjuk
al-Qur'an  dan  sunnah  Nabi saw; baru dia menulis bab tentang
ilmu pengetahuan.

Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan  ini  dasar  dan
porosnya  ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita
dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus
diakhirkan.  Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah,
dan melakukan tindakan yang tidak karuan.

Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin  Abd
al-Aziz,  "Barangsiapa  melakukan  suatu  pekerjaan tanpa ilmu
pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak  lebih  banyak
daripada apa yang dia perbaiki."3

Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok
kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan,  keikhlasan,
dan   semangatnya;   tetapi   mereka   tidak   mempunyai  ilmu
pengetahuan,  pemahaman  terhadap  tujuan  ajaran  agama,  dan
hakikat agama itu sendiri.

Seperti  itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu
Thalib r.a.  yang  banyak  memiliki  keutamaan  dan  sumbangan
kepada  Islam,  serta  memiliki  kedudukan  yang  sangat dekat
dengan Rasulullah  saw  dari  segi  nasab,  sekaligus  menantu
beliau   yang  sangat  dicintai  oleh  beliau.  Kaum  Khawarij
menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan
diri mereka kepada Allah SWT.

Mereka,   kaum   Khawarij   ini,   merupakan  kelanjutan  dari
orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang  pernah
dilakukan  oleh  Rasulullah  saw,  yang  berkata kepada beliau
dengan kasar dan  penuh  kebodohan:  "Berbuat  adillah  engkau
ini!"  Maka  beliau  bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang
adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak  adil,
maka engkau akan sia-sia dan merugi. "

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar
yang  disampaikan   kepada   Rasulullah   saw   ialah   'Wahai
Rasulullah,  bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah
saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni
bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"

Orang   yang  mengucapkan  perkataan  itu  sama  sekali  tidak
memahami  siasat  Rasulullah  saw   untuk   menundukkan   hati
orang-orang  yang  baru  masuk Islam, dan pengambilan berbagai
kemaslahatan  besar  bagi  umatnya,  sebagaimana  yang   telah
disyari'ahkan  oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah
saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang
diberikan  oleh  kaum  Muslimin.  Lalu bagaimana halnya dengan
harta pampasan perang?

Ketika sebagian sahabat memohon  izin  kepada  Rasulullah  saw
untuk   membunuh  para  pembangkang  itu,  beliau  yang  mulia
melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang  munculnya
kelompok orang seperti itu dengan bersabda:

   "Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian
   dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan,
   meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan
   dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan
   meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan
   amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak
   lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari
   agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari
   busurnya."

Makna ungkapan  "fidak lebih dari kerongkongan  mereka"  ialah
bahwa  hati  mereka  tidak  memahami apa yang mereka baca, dan
akal mereka  tidak  diterangi  dengan  bacaan  ayat-ayat  itu.
Mereka  sama  sekali  tidak  memanfaatkan apa yang mereka baca
itu, walaupun mereka banyak mendirikan  shalat  dan  melakukan
puasa.

Di  antara  sifat  yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok
itu ialah bahwa,

   "Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah
   berhala."4

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka  bukanlah  terletak
pada  perasaan  dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal
pikiran  dan  pemahaman  mereka.  Oleh  karena   itu,   mereka
dikatakan dalam hadits yang lain sebagai:

   "Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5

Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan  pemahaman
yang  tidak  sempurna,  tetapi  mereka  tidak mau memanfaatkan
kitab Allah padahal  mereka  membacanya  dengan  sangat  baik,
tetapi  bacaan  yang  tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin
mereka memahaminya dengan  cara  yang  tidak  benar,  sehingga
bertentangan  dengan  maksud  ayat  yang diturunkan oleh Allah
SWT.

Oleh karena itu, Imam  Hasan  al-Bashri  memperingatkan  orang
yang  tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya
dengan  ilmu  pengetahuan  dan  pemahaman.   Dia   mengucapkan
perkataan yang sangat dalam artinya,

   "Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu
   pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang
   melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang
   benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak
   memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia
   akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada
   perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak
   mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan
   beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu
   pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum
   Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka
   meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar
   dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw.
   Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya
   mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka
   lakukan itu."6

ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN
(POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan  bahwa  ilmu  pengetahuan
merupakan  syarat  bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam
bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:

   " ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
   seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada
   sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku
   bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah
   orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."
   (Yusuf: 54-55)

Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam  pekerjaan  besar  yang
ditawarkan   kepadanya,  yang  mencakup  pengurusan  keuangan,
ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu  itu.
Yang  terkandung  di  dalam  keahlian  itu  ada dua hal; yakni
penjagaan (yang lebih tepat dikatakan  "kejujuran")  dan  ilmu
pengetahuan  (yang  dimaksudkan  di  sini ialah pengalaman dan
kemampuan). Kenyataan itu sesuai  dengan  apa  yang  dikatakan
oleh  salah  seorang  anak  perempuan  Nabi  besar dalam surah
al-Qashash:

   "... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
   kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
   kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)

Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam  dunia  militer;
sebagaimana  difirmankan  oleh  Allah  SWT  ketika  memberikan
alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:

   "... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah
   memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu
   pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..."
   (al-Baqarah, 247)

Pedoman  itu  juga   sepatutnya   diberlakukan   dalam   dunia
kehakiman,  sehingga  orang-orang yang hendak diangkat menjadi
hakim  diharuskan  memenuhi   syarat   seperti   syarat   yang
diberlakukan  bagi  orang  yang hendak menjadi khalifah. Untuk
menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang  sebagai
ulama   yang  bertaqlid  kepada  ulama  lainnya.  Karena  pada
dasarnya, ilmu pengetahuan  merupakan  kebenaran  itu  sendiri
dengan  berbagai  dalilnya,  dan  bukan  ilmu pengetahuan yang
diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang  yang  bertaqlid
kepada  manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan
tindakannya, atau ada  alasannya  tetapi  sangat  lemah,  maka
orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

Keputusan  hukum  yang  diterima  dari  orang  yang  melakukan
taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang
yang  tidak  mempunyai  ilmu pengetahuan, yang sangat penting.
Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu
pengetahuan  yang  mesti  dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak,
maka dia akan membuat keputusan  hukum  berdasarkan  kebodohan
dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.

Dalam  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Buraidah dari
Rasulullah saw bersabda,

   "Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di
   neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu
   seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat
   keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada
   di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang
   didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada di
   neraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran
   tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan
   hukum, maka dia berada di neraka."7

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA)

Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian  fatwa.
Seseorang  tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali
dia  seorang  yang  betul-betul  ahli  dalam  bidangnya,   dan
memahami   ajaran   agamanya.   Jika   tidak,  maka  dia  akan
mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal  yang  haram;
menggugurkan  kewajiban,  mewajibkan sesuatu yang tidak wajib,
menetapkan hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan  hal-hal  yang
disyariahkan;   mengkafirkan   orang-orang  yang  beriman  dan
membenarkan  orang-orang  kafir.  Semua  persoalan  itu,  atau
sebagiannya,  terjadi  karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi
bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan
dalam  memberikan  fatwa,  serta melanggar larangan bagi siapa
yang mau melakukannya. Hal ini dapat  kita  lihat  pada  zaman
kita  sekarang  ini, di mana urusan agama telah menjadi barang
santapan yang empuk bagi siapa  saja  yang  mau  menyantapnya;
asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis;
padahal al-Qur'an, sunnah Nabi  saw,  dan  generasi  terdahulu
umat  ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada
orang yang berani melakukan hal itu kecuali  orang-orang  yang
benar-benar  mempunyai  keahlian  di  dalam  bidangnya,  serta
memenuhi  syarat  untuk  persoalan  tersebut.   Betapa   sulit
sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu.

Sebenarnya  Nabi  saw  sangat  tidak  suka  kepada  orang yang
tergesa-gesa memberikan  fatwa  pada  zamannya.  Ada  sebagian
orang  yang  memberikan  fatwa  kepada salah seorang di antara
mereka yang terluka  ketika  mereka  berjinabat  untuk  mandi,
tanpa  mempedulikan  luka  yang  dideritanya. Sehingga hal itu
menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda,

   "Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah
   akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila
   mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau
   bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi
   orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8

Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa  yang
diberikan  oleh  mereka  sama dengan pembunuhan terhadap orang
tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga
membunuh  mereka."  Oleh  karena  itu,  fatwa yang keluar dari
kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan  pada
akhirnya,  Ibn  al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk
mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai
dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT:

   "... dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
   apa yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33)

Banyak sekali hadits, qaul  sahabat,  dan  generasi  terdahulu
umat  ini  yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang
tidak berilmu pengetahuan.

Ibn Sirin berkata, "Seorang lelaki  yang  mati  dalam  keadaan
bodoh  itu  lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata
tentang sesuatu yang  dia  tidak  mempunyai  ilmu  pengetahuan
tentang itu."

Abu Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di
antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika
hal  ini  berlaku  pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan
para pejuang Perang Badar."

Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada  zaman
kita sekarang ini?

Ibn  Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa
kepada orang ramai  tentang  apa  saja  yang  mereka  tanyakan
kepadanya, maka dia termasuk orang gila."

Abu  Bakar  berkata,  "kangit  mana yang melindungi diriku dan
bumi mana  yang  akan  menjadi  tempat  pijakanku,  kalau  aku
mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui."

Ali    berkata,    "Hatiku   menjadi   sangat   tenang   --dia
mengucapkannya sebanyak tiga kali-- bila  ada  seorang  lelaki
yang  ditanya  tentang  sesuatu  yang  dia ketahui, tetapi dia
tetap mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'"

Ibn al-Musayyab, tokoh  senior  tabi'in,  apabila  dia  hendak
memberikan  fatwa  dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan
benarkan apa yang keluar dari diriku."

Semua ini menunjukkan bahwa  kita  perlu  sangat  berhati-hati
dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh
orang-orang  yang  betul-betul  memiliki   ilmu   pengetahuan,
wawasan  yang  luas,  wara',  yang  menjaga  diri  dari setiap
kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya  sendiri  atau  hawa
nafsu orang lain.

Atas  dasar  uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para
pelajar ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada
fakultas  ini--  tergesa  gesa memberikan fatwa dalam berbagai
persoalan yang sangat pelik,  problema  yang  sangat  penting,
mendahului  para ulama besar, dan bahkan berani menentang para
imam  mazhab  besar,   para   sahabat   yang   mulia,   dengan
menyombongkan  diri  seraya  mengatakan, "Mereka orang lelaki,
dan kamipun orang lelaki."

Pertama-tama  yang  diperlukan  oleh  seseorang  yang   hendak
memberikan  fatwa  ialah  mengukur  kemampuan dirinya sendiri,
kemudian memahami berbagai tujuan syari'ah,  memahami  hakikat
dan  kenyataan  hidup.  Akan  tetapi,sangat  disayangkan bahwa
mereka tertutup  oleh  penghalang  yang  sangat  besar,  yaitu
ketertipuan  dengan  diri  mereka  sendiri. Sesungguhnya tiada
daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI)

Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang  bergelut
dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh
dunia da'wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman:

   "Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan
   orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
   Allah dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108)

Setiap juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus  melandasi
da'wahnya  dengan  hujjah  yang  nyata.  Artinya,  da'wah yang
dilakukan   olehnya   mesti    jelas,    berdasarkan    kepada
hujjah-hujjah  yang  jelas  pula.  Dia  harus  mengetahui akan
dibawa ke mana orang yang dida'wahi olehnya?  Siapa  yang  dia
ajak? Dan bagaimana cara dia berda'wah?

Oleh  karena  itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu
orang  yang  berilmu,  beramal,   dan   mengajarkan   ilmunya;
sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT:

   "... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu
   menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan
   taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan
   al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya."
   (Ali 'Imran: 79)

Ibn Abbas memberikan penafsiran atas  kata  "rabbani"  sebagai
para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9

Ada  yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah
orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum  ilmu
itu menjadi besar.

Yang  dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan
persoalannya jelas.  Sedangkan  ilmu  besar  ialah  ilmu  yang
pelik-pelik.  Ada  pula  yang  mengatakan  bahwa rabbani ialah
orang  yang  mengajarkan  ilmu-ilmu   yang   parsial   sebelum
ilmu-ilmu   yang  universal,  atau  ilmu-ilmu  cabang  sebelum
ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu  pengantar  sebelum  ilmu-ilmu
yang inti.10

Yang  dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran
itu dilakukan secara bertahap,  dengan  memperhatikan  kondisi
dan   kemampuan   orang   yang   diajarnya,   sehingga   dapat
ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Persoalan yang perlu diperhatikan  oleh  orang  yang  bergerak
dalam bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan
pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan
jalan   yang   susah;   memberikan  kabar  gembira  dan  tidak
menakut-nakuti mereka;  sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah
hadits   yang  disepakati  ke-shahih-annya  oleh  Bukhari  dan
Muslim,

   "Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar
   gembira dan jangan membuat mereka lari."11

Al-Hafizh ketika memberikan  penjelasan  terhadap  hadits  ini
mengatakan,

   "Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati
   hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak
   melakukan da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada
   awal mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya
   kecaman terhadap orang yang suka melakukan
   kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara
   bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap
   awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan
   bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang
   lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit
   demi sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang
   dilakukan dengan keras dan kasar." 12

Yang  dimaksudkan  dengan  perkataan  ,mempermudah,  di   situ
bukanlah  terbatas  pada orang-orang yang hampir dekat hatinya
dengan Islam,  sebagaimana  yang  dijelaskan  oleh  al-Hafizh,
tetapi   ia   berlaku   lebih   umum  dan  permanen.  Misalnya
mempermudah jalan bagi orang  yang  hendak  melakukan  taubat,
atau  kepada  setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti
orang yang sakit atau  sudah  tua  usianya,  atau  orang  yang
berada di dalam keadaan yang mendesak.

Di  antara  keharusan  yang  berlaku di dalam ilmu pengetahuan
ialah upaya untuk mencari  ilmu-ilmu  agama  sejauh  kemampuan
yang  dimiliki  oleh  seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan
otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan  tersebut.  Dia  tidak
boleh   mengucapkan  sesuatu  yang  tidak  cocok  dengan  akal
pikirannya, sehingga hal itu  malah  berbalik  menjadi  fitnah
bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal
ini Ali r.a.  berkata,  "Berbicaralah  kepada  manusia  sesuai
dengan  kadar  pengetahuan  mereka.  Tinggalkan apa yang tidak
cocok dengan akal pikiran mereka.  Apakah  engkau  menghendaki
mereka  mengatakan  sesuatu  yang  bohong  terhadap  Allah dan
rasul-Nya?" 13

Ibn Mas'ud r.a.  berkata,  "Engkau  tidak  layak  menyampaikan
sesuatu  yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka.
Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada  sebagian
orang itu."14.

Catatan Kaki:

 1 Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz,
   sebagai hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih
   benar digolongkan kepada hadits mauquf.
   
 2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet.
   Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama.
   
 3 Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd
   al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah
   
 4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa
   al-Marjan fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya
   hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir,  Abu Sa'id,  Ali,
   dan Sahal bin Hunaif (638-644).
   
 5 Hadits Ali, Ibid.

 6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar
   al-Sa'adah,  h. 82
   
 7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim;
   sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan
   Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami'
   as-Shaghir. (4446) dan (4447).
   
 8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan
   oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat
   Shahih al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363).
   
 9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar
   pada bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam
   Fath-nya, "Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad
   hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad
   hasan yang berbeda." 1: 161
   
10 al-Fath, 1: 162
   
11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana
   disebutkan di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan
   
12 al-Fath, 1: 163
   
13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara
   mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)
   
14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara
   mauquf atas Ibn Mas'ud. Ibid.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team