Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PARA ULAMA YANG PUNYA KEPEDULIAN TERHADAP FIQH PRIORITAS
 
DI ANTARA ulama yang hidup  sezaman  dengan  al-Ghazali  ialah
al-'Allamah  al-Raghib  al-Isfahani  (w. 502 H.) yang memiliki
pemikiran cemerlang dalam fiqh  prioritas.  Ada  baiknya  kami
kutipkan  ucapannya  di  sini  tentang  kesibukan  orang-orang
terhadap perkara  yang  sunnah  sehingga  mereka  meninggalkan
perkara  yang  wajib.  Dia  berkata,  "Barangsiapa  disibukkan
mencari  perkara  fardhu  sehingga  dia  tidak  dapat  mencari
tambahan  (sunnah) maka dia dimaafkan. Tetapi barangsiapa yang
sibuk mencari tambahan (sunnah) dan melalaikan kewajiban, maka
sesunngguhnya dia tertipu."
 
Setelah  itu  kita  juga  menemukan seorang imam kritikus, Abu
al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597  H.)  memiliki  pengalaman  yang
sangat  luas  tentang  kritik terhadap masyarakat dan berbagai
kelompoknya yang bermacam-macam, ketimpangan dalam  memberikan
prioritas,  dan  tipu  daya  setan  atas mereka. Pemikiran ini
dapat  kita  baca  dalam   buku-buku   Talbis   Iblis;   Shayd
al-Khathir;  Dzamm al-Hawa; dan lain-lain. Di samping itu, Ibn
al-Jawzi telah memiliki kesadaran mengenai  betapa  pentingnya
memberikan  perhatian  kepada ketimpangan dalam prioritas pada
manusia  awam;  khususnya  yang  berkaitan   dengan   pengaruh
hadits-hadits  yang  lemah dan mawdhu, terhadap pola kehidupan
mereka. Sehingga  dia  mengarang  dua  buah  buku  besar  yang
berjudul   al-Mawdhu'at   dan   al-'Ilal   al-Mutanahiyah   fi
al-Ahadits al-Wahiyah.
 
Kita juga mempunyai seorang ulama yang kuat, Izzuddin bin  Abd
al-Salam  (w.  660  H.)  yang memiliki pandangan sangat tajam,
pemikiran yang menerawang jauh  dalam  fiqh  perbandingan  dan
fiqh   prioritas.   Pengaruh   pemikirannya   menyebar  kepada
masyarakat  melalui  buku  kajiannya  yang  sangat   mendasar,
Qawa'id  al-Ahkam  fi Mashalih al-Anam, yang beberapa paragraf
isinya telah kami kutip pada bab kedua buku ini.
 
IBN TAIMIYAH DAN FIQH PRIORITAS
 
Di antara imam yang memberikan petunjuknya kepada umat manusia
dan  memiliki  tonggak  yang  kuat dalam fiqh prioritas --fiqh
perbandingan-- ialah Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (w. 728  H.)
yang  kemudian  diikuti oleh muridnya, al-Muhaqqiq al-Imam Ibn
al-Qayyim (w. 751 H.)
 
Saya  telah  mengutip  dalam  sebuah  buku   saya   Awlawiyyat
al-Harakah  al-Islamiyyah,  sebanyak dua bab yang berasal dari
buku  Syaikh  al-Islam,  yang   mencerminkan   pemahaman   dan
pemikirannya  dalam  bidang  ini,  yang saya tempatkan sebagai
lampiran di akhir buku tersebut.
 
Dalam  buku-buku,  risalah,  fatwa  dan  pendiriannya,  Syaikh
al-Islam   memiliki   banyak   jasa   dan  baik  sekali  untuk
dipergunakan  sebagai  bukti  yang  sangat  memuaskan,  karena
perkara-perkara  itu  berkaitan  dengan sumber-sumber petunjuk
Ilahi dan petunjuk Nabi. Pada kesempatan ini  saya  menganggap
cukup  untuk  menyebutkan  dua buah contoh pandangan imam Ibnu
Taimiyah, semoga bermanfaat.
 
1) PERBEDAAN KEUTAMAAN AMAL KARENA PERBEDAAN KEADAAN
 
Contoh yang pertama, pernah saya sebutkan  ringkasannya  dalam
buku   saya   al-Shahwah   al-Islamiyyah   bayn   al-Juhud  wa
al-Tatharruf, yang berkaitan dengan perbedaan  keutamaan  amal
karena  perbedaan  situasi dan kondisinya, serta tenggang rasa
dengan orang-orang di sekitarnya.
 
Syaikh  al-Islam  berkata,  "Satu  amalan  boleh   jadi   kita
dianjurkan  untuk  mengerjakannya  dalam satu waktu, dan boleh
jadi pula kita dianjurkan  untuk  meninggalkannya,  tergantung
kepada  kemaslahatan  yang timbul ketika kita mengerjakan atau
meninggalkannya,  berdasarkan  dalil-dalil   syari'ah   agama.
Seorang  Muslim  kadangkala  mesti  meninggalkan  sesuatu yang
dianjurkan  manakala  sesuatu  itu  apabila  dikerjakan   akan
menimbulkan  kerusakan  dan  tidak  mendatangkan kemaslahatan.
Sebagaimana  yang  pernah  dilakukan  oleh  Nabi  saw.  Beliau
meninggalkan   pembangunan  Baitullah  di  atas  fondasi  yang
didirikan oleh Ibrahim, sambil berkata kepada 'Aisyah,  'Kalau
bukan  karena  kaummu  baru saja meninggalkan zaman jahiliyah,
niscaya akan kuhancurkan Ka'bah  dan  akan  kubangun  di  atas
tanah  dengan dua pintu. Satu pintu untuk masuk dan satu pintu
lagi  untuk  pintu  keluar.'  Hadits  ini   disebutkan   dalam
as-Shahihain. Nabi meninggalkan niatnya ini karena ada sesuatu
yang lebih utama darinya. Yaitu  seandainya  niat  ini  beliau
lakukan,  sedangkan kaum Muslim Quraisy baru saja meninggalkan
zaman jahiliyah, niscaya perbuatan  itu  akan  membuat  mereka
menjauh  dari  Islam. Sehingga menghindari kerusakan yang akan
terjadi  lebih  diutamakan   atas   kemaslahatan   yang   akan
diperoleh.
 
Oleh  sebab  itu,  Imam  Ahmad  dan ulama lainnya lebih senang
melakukan  sesuatu  yang  lebih  utama,  jika  perbuatan   itu
dianggap  dapat  tetap  menjaga keutuhan persatuan umat Islam.
Menurutnya, memisalkan  shalat  witir  dianggap  lebih  utama;
yaitu  dengan  melakukan  salam  pada dua rakaat yang pertama,
kemudian baru melakukan shalat satu  rakaat  pada  salam  yang
kedua;  jika  dia  menjadi  imam pada suatu kaum yang memiliki
pandangan  memisahkan  witir.  Misalnya   tidak   memungkinkan
baginya    untuk    memisahkan    witir,    dan    dia   terus
menyambungkannya, maka kemaslahatannya sendiri  dapat  dicapai
tetapi  orang-orang  merasa benci untuk shalat di belakangnya.
Begitu  pula  halnya  dengan  orang  yang  berpandangan  bahwa
membaca  basmalah  dengan suara pelan lebih utama, atau dengan
suara keras yang lebih  utama,  tergantung  kepada  kebanyakan
ma'mumnya.  Dalam  hal  ini  harus ada sesuatu yang diutamakan
sehingga  kemaslahatan  dan  menjaga  persatuan  tetap   dapat
dijalankan.
 
Begitu  pula  halnya  apabila  kita  mengerjakan  sesuatu yang
berbeda  tetapi  lebih  utama,  untuk  memberikan   penjelasan
terhadap  sunnah  dan  mengajarkannya  kepada orang yang belum
mengetahuinya, merupakan sesuatu yang  baik.  Seperti  membaca
doa iftitah, ta'awwudz, atau basmalah dengan suara keras, agar
diketahui oleh manusia bahwa perbuatan itu  merupakan  sesuatu
yang  disyari'ahkan  di  dalam  shalat, sebagaimana dijelaskan
oleh sebuah hadits  shahih  bahwa  Umar  bin  Khattab  membaca
iftitah  dengan suara keras. Dahulu Umar bin Khattab melakukan
takbiratul-ihram, kemudian mengucapkan, "Mahasuci Engkau wahai
Allah  dan  Maha  Terpuji,  yang  nama-Mu  membawa berkah, dan
kesungguhan-Mu  yang  Maha  Tinggi,  dan  tiada  Tuhan  selain
Engkau."  Al-Aswad  bin Yazid berkata, "Aku shalat di belakang
Umar lebih  dari  tujuh  puluh  kali  shalat.  Dia  bertakbir,
kemudian  dia  mengucapkan  doa  tersebut."  Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya.  Dan  oleh  sebab  itu,  doa  iftitah
tersebut sangat populer di kalangan masyarakat sehingga mereka
dapat melakukan hal yang sama. Begitu pula yang dilakukan oleh
Ibn  Umar  dan  Ibn ,Abbas, kedua orang ini mengeraskan bacaan
ta'awwudz, dan tidak sedikit sahabat yang  mengeraskan  bacaan
basmalah.   Dan   menurut   para   imam   jumhur,  yang  tidak
berpandangan mengeraskan basmalah dalam shalat, bahwa hal  itu
dilakukan  agar  semua  orang mengetahui bahwa bacaan basmalah
adalah sesuatu yang disunnahkan di dalam  shalat.  Sebagaimana
diriwayatkan  dalam  sebuah  hadits  shahih  bahwa  Ibn  Abbas
melakukan perbuatan itu agar masyarakat  mengetahui  bahwa  ia
adalah  sesuatu yang sunnah. Oleh sebab itu, ada dua pandangan
besar yang berkaitan dengan shalat jenazah.
 
Pertama, kelompok yang tidak memandang bahwa di  dalam  shalat
itu ada bacaan, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama salaf,
dan ini merupakan mazhab Abu Hanifah.
 
Kedua, kelompok yang memandang bahwa bacaan  di  dalam  shalat
itu  merupakan  sesuatu  yang  sunnah.  Dan  ini adalah mazhab
Syafi'i dan Ahmad; berdasarkan hadits Ibn Abbas dan lain-lain.
 
Kemudian ada kelompok lain lagi yang mengatakan  bahwa  bacaan
di  dalam  shalat  itu adalah wajib sebagaimana kewajiban yang
berlaku di dalam shalat.
 
Sebagian kelompok lainnya mengatakan, "Bacaan  ayat  al-Qur'an
itu  hukumnya sunnah, dan tidak wajib." Pendapat ini merupakan
pendapat  yang  moderat  dibandingkan  dengan  tiga   pendapat
sebelumnya.  Karena  sesungguhnya para ulama salaf mengerjakan
ini dan yang lainnya  mengerjakan  itu.  Dan  kedua  perbuatan
mereka  sangat  masybur  di  kalangan  mereka.  Dahulu  mereka
melakukan shalat  jenazah  dengan  bacaan  dan  tanpa  bacaan,
sebagaimana  mereka  kadang-kadang mengeraskan bacaan basmalah
dan kadangkala tidak mengeraskannya. Kadangkala mereka membaca
doa iftitah dan kadangkala tidak membacanya. Kadangkala mereka
mengangkat kedua tangan pada tiga tempat, dan kadangkala tidak
mengangkatnya.  Kadangkala  mereka mengucapkan dua salam dalam
shalat, tetapi kadangkala mereka hanya mengucapkan  satu  kali
salam  saja. Kadangkala mereka membaca bacaan di belakang imam
dengan  hati,  tetapi  kadang-kadang  mereka  tidak   membaca.
Kadangkala  mereka  bertakbir empat kali dalam shalat jenazah,
kadang-kadang  membaca  takbir  lima  kali.  Bahkan  ada  yang
bertakbir  sebanyak  tujuh kali. Semua perbuatan ini dilakukan
oleh para sahabat r.a.
 
Begitu pula riwayat yang menyatakan  bahwa  di  kalangan  para
sahabat ada yang melakukan adzan lagi, dan ada pula yang tidak
melakukannya. Mereka juga ada yang  mengganjilkan  iqamat  dan
ada pula yang menggenapkannya. Kedua hal ini merupakan riwayat
yang berasal dari para sahabat Nabi saw.
 
Ketiga hal ini, walaupun salah satu di  antaranya  lebih  kuat
daripada  yang  lain,  seandainya  ada yang melakukan pendapat
yang tidak kuat, maka  dia  dianggap  melakukan  sesuatu  yang
boleh  dilakukan.  Dan  kadangkala  sesuatu  yang  tidak  kuat
menjadi lebih kuat  melihat  kepada  kemaslahatan  yang  dapat
diperoleh;   sebagaimana   meninggalkan   suatu  perkara  yang
dianggap kuat dinilai lebih baik karena ada kemaslahatan  yang
ada di balik itu.
 
Perkara  seperti  ini dapat berlaku dalam semua amalan. Karena
sesungguhnya amalan yang termasuk lebih penting, kadang-kadang
menempati  suatu kondisi lain yang lebih penting lagi. Seperti
shalat merupakan sesuatu yang lebih penting  daripada  membaca
al-Qur'an,  dan membaca al-Qur'an lebih utama daripada dzikir,
dan dzikir lebih utama daripada doa. Kemudian  shalat  setelah
shalat  Subuh  dan shalat Asar merupakan sesuatu yang dilarang
padahal bacaan al-Qur'an, dzikir, dan doa  diperbolehkan  pada
waktu-waktu itu. Begitu pula bacaan al-Qur'an pada waktu ruku'
dan sujud itu dilarang, sehingga zikir pada saat  seperti  itu
dianggap  lebih  utama  daripadanya. Dan doa pada akhir shalat
setelah melakukan  tasyahud  dipandang  lebih  utama  daripada
dzikir.
 
Dan  kadang-kadang  ada  sesuatu  perbuatan  yang tidak begitu
diutamakan  tetapi  ia  dapat  menjadi  lebih   utama   ketika
dilakukan  oleh  orang  tertentu, karena orang itu tidak dapat
melakukan  sesuatu  yang  lebih   utama   daripada   perbuatan
tersebut,  atau  karena  kecintaan, kesenangan, perhatian, dan
faedah yang diperoleh dari sesuatu perbuatan yang tidak begitu
diutamakan  itu  lebih  banyak,  sehingga  perbuatan  tersebut
menjadi lebih utama baginya, karena adanya peningkatan amalan,
kecintaan,  kemauan,  dan  manfaat.  yang  diperkirakan  dapat
diperoleh. Seperti yang terjadi pada orang sakit,  yang  hanya
mau meminum obat kesukaannya dan bermanfaat bagi kesehatannya,
tetapi tidak mau meminum obat  yang  tidak  disukai,  walaupun
obat yang terakhir ini dianggap lebih utama.
 
Atas  dasar  ini, dzikir untuk sebagian manusia dalam beberapa
waktu  adalah  lebih  baik  daripada  membaca  al-Qur'an;  dan
membaca   al-Qur'an   bagi  sebagian  orang  pada  waktu-waktu
tertentu adalah lebih baik  daripada  shalat  sunnah;  melihat
kegunaannya  dan  tidak  melihat  kepada  jenisnya  yang lebih
utama.
 
Pembahasan mengenai persoalan ini, "melebihkan sebagian amalan
atas  sebagian yang lain", jika belum dikenal adanya prioritas
di dalamnya, akan sangat beragam dan terpulang kepada  kondisi
ketika amalan itu dilakukan. Dan jika tidak ada ketergantungan
kepada  kondisi  seperti  itu,  maka   akan   terjadi   banyak
kekacauan.   Karena   ada   orang  yang  tetap  berkeras  hati
menganggap suatu perkara sebagai sesuatu yang  utama  di  mana
saja  dan  pada  keadaan  apapun,  tanpa mempedulikan keadaan,
sehingga akhirnya  dia  menjadi  pengikut  hawa  nafsunya  dan
sangat fanatik terhadap pandangannya. Sebagaimana kita temukan
orang-orang yang menganut suatu  mazhab  sehingga  dalam  satu
persoalan  dia  selalu  berpegang  kepada  mazhabnya sekaligus
menganggapnya sebagai syiar mazhabnya.
 
Di antara mereka juga ada  yang  berpandangan  terhadap  suatu
perkara  lebih  utama meninggalkan hal seperti itu. Dia selalu
berpegang kepada pandangan ini walaupun ada sesuatu yang lebih
besar  yang  harus  dia  tinggalkan  ,  misalnya  meninggalkan
hal-hal  yang  diharamkan  kepadanya.   Sehingga   orang   ini
mengikuti  hawa  nafsunya  dan  fanatik terhadap pandangannya.
Juga ada orang  yang  berpandangan  bahwa  meninggalkan  suatu
perkara  yang  dilarang  dalam  mazhabnya, harus dipertahankan
sedemikian rupa. Hal itu tentu merupakan suatu kesalahan.
 
Seharusnya kita memberikan  hak  kepada  sesuatu  yang  berhak
menerimanya,   dan  memberikan  keleluasaan  sebagaimana  yang
diberikan Allah SWT dan rasul-Nya, dan merapatkan hati manusia
yang dianjurkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya, menjalin jalinan
yang  diperintahkan  Allah  SWT  dan   Rasul-Nya,   memelihara
berbagai   kemaslahatan  yang  dicintai  oleh  Allah  SWT  dan
rasul-Nya, memelihara tujuan-tujuan syari'ah, dan  mengajarkan
bahwa  sebaik-baik  ucapan  ialah  Kalamullah, dan sebaik-baik
petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw. Dan bahwasanya Allah SWT
telah   mengutusnya   sebagai   rahmat   untuk  alam  semesta,
mengutusnya untuk kebahagian manusia  di  dunia  dan  akhirat,
dalam  segala  urusan.  Ajaran  yang bersifat global itu harus
dijelaskan   rinciannya,   sehingga   manusia   tidak    hanya
berkeyakinan  terhadap  perkara  yang  bersifat global, tetapi
tidak   meyakini   rinciannya,   baik   karena   kebodohannya,
kezalimannya   atau   karena  mengikuti  hawa  nafsunya.  Kami
bermohon kepada Allah SWT agar  Dia  memberi  petunjuk  kepada
kami  ke  jalan yang lurus, jalan orang-orang yang mendapatkan
nikmat dan karunia Allah SWT, yang  terdiri  dari  para  nabi,
orang-orang yang jujur, para syuhada', dan orang-orang shaleh,
karena mereka itulah sebaik-baiknya ikhwah (teman)."27
 
Atas  dasar  fiqh  inilah,   Imam   Hasan   al-Banna,   pernah
mengeluarkan  fatwa  ketika  dia ditanya oleh orang-orang yang
berselisih pendapat mengenai shalat tarawih: apakah  ia  harus
dilakukan  sebanyak dua puluh rakaat seperti yang dilakukan di
al-Haramain dan tempat-tempat lain, dan seperti  yang  masyhur
dalam mazhab yang empat; ataukah shalat itu dilakukan sebanyak
delapan rakaat, sebagaimana yang dianjurkan  oleh  para  ulama
salaf?  Dalam  pada  itu,  semua  penduduk  desa yang bertanya
kepada  Syaikh  al-Banna  nyaris  saling  baku  hantam  karena
persoalan ini.
 
Syaikh  al-Banna  memberikan  pandangan  kepada  mereka  bahwa
sesungguhnya shalat tarawih itu hukumnya sunnah dan  persatuan
umat   Islam  itu  hukumnya  wajib.  Lalu,  bagaimana  mungkin
orang-orang  itu  mengabaikan  sesuatu   yang   fardhu   untuk
melakukan  perkara  yang  hukumnya  sunnah.  Kalau mereka akan
shalat di rumah-rumah mereka tanpa  melakukan  permusuhan  dan
pergaduhan,  tentu  hal itu akan lebih baik dan dianggap lebih
benar.
 
2) PERTENTANGAN ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
 
Contoh kedua sebagaimana yang  saya  sebutkan  dalam  lampiran
kedua  buku  saya,  yang  terdapat  di  akhir  buku Awlawiyyat
al-Harakah   al-Islamiyyah,   dengan   sub-judul   "Pembahasan
Menyeluruh tentang Benturan antara Kebaikan dan Keburukan."
 
Syaikh   Islam,   Ibn   Taimiyah   pernah   membahas   tentang
pertentangan antara kebaikan dan keburukan sebagai berikut:
 
   "Kalau kebaikan itu betul-betul mendatangkan manfaat
   sekaligus wajib dikerjakan, dan jika ia ditinggalkan
   akan mengandung bahaya, tetapi pada saat yang sama
   dalam keburukan juga terhadap bahaya, sedangkan dalam
   perkara yang makruh ada sebagian kebaikan, maka
   pertentangan itu dapat terjadi antara dua kebaikan
   yang tidak mungkin digabungkan antara keduanya.
   Sehingga kebaikan yang dianggap lebih baik harus
   didahulukan atas kebaikan yang kurang baik. Atau,
   pertentangan itu juga bisa terjadi antara dua
   keburukan yang tidak mungkin dihindarkan keduanya,
   sehingga harus dipilih keburukan yang lebih ringan
   bahayanya. Selain itu, pertentangan juga dapat
   terjadi antara kebaikan dan keburukan yang keduanya
   tidak dapat dipisahkan karena kebaikan itu, jika
   dilakukan akan mendatangkan keburukan, atau jika
   keburukan itu ditinggalkan akan mengakibatkan
   ditinggalkannya kebaikan. Sehingga untuk kasus
   seperti ini harus dipilih yang lebih baik di antara
   manfaat kebaikan dan bahaya keburukan."
 
Yang pertama  adalah  seperti  sesuatu  yang  wajib  dan  yang
dianjurkan.  Misalnya  fardhu  'ain  dan  fardhu  kifayah; dan
mendahulukan pembayaran  utang  atas  shadaqah  yang  hukumnya
sunnah.
 
Sementara  yang  kedua  adalah  seperti mendahulukan pemberian
nafkah kepada keluarga atas pemberian nafkah untuk  perjuangan
yang   belum  sampai  kepada  fardhu  'ain.  Dan  mendahulukan
pemberian nafkah kepada kedua orangtua atas jihad; sebagaimana
disebutkan  dalam sebuah hadits shahih, "Perbuatan apakah yang
paling mulia?" Nabi menjawab, "Shalat  tepat  pada  waktunya."
Saya  berkata, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbuat baik
kepada kedua orangrua." Saya berkata, "Lalu apa lagi?"  Beliau
menjawab,  "Berjuang  di jalan Allah." Mendahulukan jihad atas
haji,  sebagaimana  disebutkan  dalam  al-Qur'an  dan  Sunnah,
merupakan  pendahuluan fardhu 'ain atas fardhu 'ain yang lain,
mendahulukan  sesuatu  yang  dianjurkan  atas   sesuatu   yang
dianjurkan  lainnya.  Begitu  pula  halnya dengan mendahulukan
bacaan al-Qur'an atas dzikir karena keduanya sama-sama  amalan
hati  dan  lisan;  dan mendahulukan shalat atas kedua hal itu,
karena shalat juga merupakan amalan  hati.  Jika  tidak,  maka
dzikir dengan pemahaman dan getaran hati akan didahulukan atas
bacaan  al-Qur'an  yang  tidak  melampaui  batas  tenggorokan.
Pembahasan seperti ini akan menjadi sangat luas sekali.
 
Ketiga,  ialah  seperti  mendahulukan  wanita  yang  berhijrah
dengan perjalanan tanpa mahram atas  tetapnya  wanita  itu  di
kawasan  musuh  (dar  al-harb); sebagaimana dilakukan oleh Umm
al-Mu'minin Kultsum, di mana ada sebuat  ayat  al-Qur'an  yang
diturunkan mengenai dirinya.
 
   "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
   berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
   maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka..."
   (al-Mumtahanah: 10)
 
Begitu  pula  persoalan  yang  berkaitan  dengan   peperangan.
Sesungguhnya  kita  dilarang  membunuh  orang-orang yang tidak
ikut berperang, seperti para wanita, anak-anak dan  lain-lain.
Akan tetapi kadang-kadang kita terpaksa membunuh mereka karena
tidak sengaja, misalnya  kalau  kita  melemparkan  granat  dan
melancarkan  serangan  di waktu malam, maka kita diperbolehkan
melakukannya --tentu  saja  dengan  perhitungan  yang  matang.
Sebagaimana yang pernah terjadi dalam sunnah Rasulullah ketika
mengepung Thaif dan melempari mereka dengan manjanik. Di  sana
terdapat  orang-orang  musyrik,  sehingga  pelemparan manjanik
yang dimaksudkan untuk melenyapkan  fitnah  tersebut  terpaksa
membunuh orang-orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh.
 
Begitu pula halnya dengan orang yang dijadikan sebagai "tameng
hidup" oleh musuh, seperti yang disebutkan oieh  para  fuqaha.
Karena  sesungguhnya  peperangan  adalah  untuk  menyingkirkan
fitnah orang-orang kafir, tetapi tindakan ini  mesti  disertai
dengan risiko yang tingkatnya berada di bawah bahaya tersebut.
Oleh sebab itu, para fuqaha sepakat bahwa jika  tidak  mungkin
melenyapkan  fitnah  tersebut  dari  umat Islam kecuali dengan
mengorbankan umat Islam yang menjadi "tameng hidup"  tersebut,
maka kita diperbolehkan untuk mengorbankan mereka. Akan tetapi
jika bahaya itu tidak  begitu  besar  tetapi  bahaya  tersebut
tidak  dapat  disingkirkan  kecuali  dengan mengambil tindakan
tersebut,  maka  ada  dua  pandangan  yang  berkaitan   dengan
membunuh "tameng hidup" itu.
 
Keempat,   adalah   seperti   makan  bangkai  binatang  ketika
seseorang  berada  di  dalam  kesempitan.  Dia  harus  memakan
makanan  yang  tidak  baik  itu,  karena  kemaslahatanya telah
tampak. Sebaliknya, ialah  seperti  obat  yang  buruk,  karena
bahayanya  dipandang  lebih  kuat  daripada  manfaatnya  untuk
menyembuhkan penyakit, sementara  ada  obat  lain  yang  dapat
menggantikannya;  sebab  kesembuhan itu hanya diyakini berasal
dari obat yang baik. Dan begitu  pula  halnya  meminum  khamar
sebagai obat: tidak boleh dilakukan.
 
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa keburukan boleh dilakukan
dalam  dua  kondisi.  Pertama,   ketika   kita   menyingkirkan
keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, di
mana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan  keburukan  yang
kedua  itu.  Kedua,  ketika  kita melakukan keburukan itu kita
dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada  tidak
melakukannya. Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu
dapat  kita  tinggalkan  dalam  dua  kondisi:   Apabila   kita
melakukan   kebaikan  itu  akan  melepaskan  kesempatan  untuk
memperoleh kebaikan yang lebih  baik  daripada  kebaikan  yang
pertama.  Atau,  apabila  kita  melakukan  kebaikan  itu, akan
mendatangkan  atau  menambah  bahaya  yang   mengancam   kita.
Pembahasan ini berkaitan dengan pertimbangan agama.
 
Ada lagi hukum yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban karena
adanya bahaya di dunia, dan bolehnya melakukan perkara-perkara
yang   diharamkan  untuk  keperluan  dunia,  seperti  bolehnya
berbuka puasa karena sedang bepergian,  dan  gugurnya  hal-hal
yang  dilarang  dalam  ihram  dan  rukun  shalat karena sakit.
Perkara-perkara ini termasuk dalam bab lain, yaitu keleluasaan
agama  dan menghapus kesusahan yang banyak sekali aturannya di
dalam syari'ah. Persoalan ini berbeda  dengan  persoalan  yang
kita  bicarakan  sebelumnya, di mana syari'ah tidak memberikan
aturan  yang  berbeda-beda  walaupun  kasusnya   berbeda-beda,
tetapi  tetap  di dalam pandangan akal. Sebagaimana dikatakan:
"Orang  yang  berakal  itu  bukanlah  orang  yang   mengetahui
kebaikan dari kejelekan, tetapi orang yang berakal ialah orang
yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang  baik  dan
mengetahui yang terburuk di antara dua hal yang buruk."
 
   "Sesungguhnya orang yang berakal itu apabila
   mendapati dua penyakit dalam tubuhnya, maka dia akan
   mengobati yang lebih berbahaya."
 
Begitulah yang seharusnya diberlakukan dalam semua persoalan.
 
Oleh sebab itu, dalam pandangan manusia, turunnya hujan ketika
musim  kering merupakan rahmat bagi mereka. Tidak adanya hujan
sama sekali lebih berbahaya bagi mereka. Sehingga mereka lebih
menguatkan  adanya  penguasa walaupun zalim daripada tidak ada
penguasa sama sekali. Sebagaimana dikatakan:
 
   "Enam puluh tahun dengan penguasa yang zalim adalah
   lebih baik daripada satu malam tanpa penguasa."
 
Setelah itu, penguasa akan disiksa karena melakukan permusuhan
dan   melanggar   hak-hak   mereka.  Akan  tetapi  saya  ingin
mengatakan, "Kalau yang  memegang  kekuasaan  adalah  penguasa
untuk  seluruh wilayah, atau sebagian wilayah, seperti imaroh,
dan  pendidikan,  kemudian  dia   tidak   mampu   melaksanakan
kewajiban   dan   meninggalkan   larangan,   akan  tetapi  dia
melakukannya dengan tidak sengaja dan  di  luar  kemampuannya,
maka  dia  boleh bahkan wajib memegang kekuasaan tersebut. Dan
bahkan  wajib  melakukannya.  Karena  kekuasaan   yang   dapat
menghasilkan    berbagai   kemaslahatan,   seperti   melakukan
peperangan terhadap musuh, membagi barang pampasan, menegakkan
hukum  agama,  mengamankan  negara, maka sesungguhnya memegang
kekuasaan itu hukumnya wajib. Akan tetapi, manakala  kekuasaan
itu   dipegang  oleh  orang  yang  tidak  berhak  memegangnya,
sehingga ia mengambil sesuatu  yang  tidak  halal,  memberikan
sebagian  hak  kepada orang yang seharusnya tidak menerimanya,
tetapi hal ini  tidak  dapat  dihindarkan,  maka  perkara  ini
termasuk  dalam  pembahasan  "sesuatu yang tidak akan sempurna
suatu  kewajiban  atau  perkara  sunnah  kecuali   dengannya".
Sehingga  memegang  kekuasaan  itu hukumnya bisa menjadi wajib
atau  sunnah  apabila  keburukannya  lebih  sedikit   daripada
kebaikannya.  Bahkan,  kalau  kekuasaan  itu  tidak  wajib dan
mengandung kezaliman, sehingga orang yang  memegang  kekuasaan
itu  melakukan kezaliman sampai diganti oleh orang yang hendak
memperingan  kezaliman  dan  orang  yang  memegang   kekuasaan
tersebut.  Pada  hakikatnya  kita  harus  memilih  resiko yang
paling ringan, dan ini dianggap sebagai tindakan  yang  paling
baik.
 
Pembahasan  ini  berkisar  pada  perbedaan niat dan tujuannya.
Oleh sebab itu, barang siapa  dimintai  bantuan  oleh  seorang
zalim   yang   berkuasa,  kemudian  dia  diberi  harta  benda,
sedangkan orang yang  dimintai  bantuan  ini  dapat  mengambil
tindakan  yang netral antara yang menzalimi dan yang dizalimi,
dan dapat mencegah terjadinya  kezaliman  yang  lebih  banyak,
kemudian  dengan  cara  seperti  itu dapat mencegah terjadinya
kezaliman tersebut, maka dia dianggap sebagai orang yang baik.
Akan  tetapi,  apabila dia menjadi penengah dan malah membantu
orang yang zalim itu, maka dia  dianggap  sebagai  orang  yang
buruk.
 
Hanya  saja,  kebanyakan  kasus  yang terjadi terpulang kepada
rusaknya  niat  dan  tindakan  orangnya.  Yaitu   niat   untuk
memperoleh kekuasaan dan harta kekayaan; dan tindakannya dalam
melakukan hal-hal yang  diharamkan  dan  meninggalkan  hal-hal
yang  diwajibkan.  Persoalannya sudah bukan lagi pada benturan
dan  mencari  sesuatu  yang   lebih   bermanfaat   dan   lebih
bermaslahat.
 
Kemudian,  masalah  yang berkaitan dengan kekuasaan, sekalipun
hukumnya boleh, mustahab, atau  wajib,  tetapi  kekuasaan  itu
untuk  orang  lain  dapat  menjadi  lebih  wajib,  atau  lebih
dianjurkan, sehingga untuk hal ini harus  didahulukan  sesuatu
yang  lebih  baik  di  antara dua kebaikan, baik yang hukumnya
wajib atau mustahab.
 
Termasuk di dalam kategori ini ialah tindakan Yusuf al-Shiddiq
untuk menguasai perbendaharaan negara milik raja Mesir. Bahkan
Yusuf sendiri yang meminta  kepadanya  untuk  menjadi  penjaga
kekayaan  negara,  padahal raja dan kaumnya adalah orang-orang
kafir. Allah SWT berfirman:
 
   "Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan
   membawa keterangan-keterangan tetapi kamu senantiasa
   dalam keraguan tentang apa yang dibawanya
   kepadamu..." (al-Mu'min: 34)
   
   "Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik,
   tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu alaukah Allah
   yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah
   yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama
   yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya..."
   (Yusuf: 39)
 
Telah diketahui bersama bahwa mereka adalah orang-orang  kafir
yang telah memiliki adat istiadat dan tradisi tersendiri dalam
menyimpan dan membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki  oleh
raja,  kerabatnya,  tentara  dan  rakyatnya.  Dan sudah barang
tentu adat istiadat dan tradisi itu tidak berjalan pada  garis
yang  ditentukan  oleh para nabi dan keadilan mereka. Yusufpun
menyadari  bahwa  ia  tidak   bisa   melakukan   segala   yang
diinginkannya,  sesuai dengan pandangan yang didasarkan ajaran
agama  Allah;  karena  kaumnya  tidak   menyambut   apa   yang
diserukannya.  Akan  tetapi  dia  melakukan  apa  yang mungkin
dilakukannya,  yaitu  keadilan  dan  kebajikan.  Sehingga  dia
memperoleh  kekuasaan  melalui  penghormatan  kaum mu'min, dan
keluarganya, yang tidak mungkin dia peroleh melalui jalan yang
lain. Semua ini termasuk dalam firman Allah SWT:
 
   "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
   kesanggupanmu..." (at-Taghabun: 16)
 
Oleh sebab itu, apabila ada dua kewajiban yang  tidak  mungkin
digabungkan,  maka harus didahulukan yang lebih kuat di antara
kedua kewajiban tersebut; yang pada hakikatnya  bukan  berarti
kita meninggalkan kewajiban.
 
Begitu  pula halnya apabila ada dua perkara haram yang bertemu
dan tidak mungkin kita meninggalkan perkara haram  yang  lebih
besar kecuall dengan melakukan perkara haram yang lebih kecil,
maka melakukan perbuatan  haram  yang  lebih  kecil  itu  pada
hakikatnya  tidak  dianggap  melakukan  perbuatan  yang haram;
walaupun orang menamakannya  dengan  "meninggalkan  kewajiban"
atau  "melakukan  perbuatan haram". Dalam hal ini ada ungkapan
yang  paling  pas  untuk  dikatakan:  "Meninggalkan  kewajiban
karena ada suatu uzur, dan melakukan sesuatu yang haram karena
ada kemaslahatannya, atau dalam keadaan  darurat,  atau  untuk
menahan sesuatu yang lebih diharamkan."
 
Pembahasan  yang  berkaitan dengan masalah pembenturan seperti
ini sangat luas, terutama pada  masa  dan  tempat  yang  tidak
banyak  dipengaruh  ajaran  Nabi  saw  dan  para  khalifahnya.
Masalah seperti ini akan banyak sekali dijumpai di  masyarakat
tersebut.  Semakin  lemah  pengaruh  Islam,  maka akan semakin
bertambah permasalahannya. Hal inilah yang banyak  menimbulkan
fitnah  di  antara  umat. Karena sesungguhnya apabila kebaikan
bercampur dengan keburukan, maka akan terjadi  kerancuan.  Ada
umat   Islam   yang   melihat  kepada  pelbagai  kebaikan  dan
menguatkannya  walaupun  di  dalam  kebaikan   itu   tersimpan
berbagai  keburukan  yang  besar.  Ada  pula  umat  Islam yang
melihat kepada pelbagai keburukan dan memegang erat  pandangan
tersebut,  walaupun  dia  harus mengorbankan berbagai kebaikan
yang besar. Sedangkan orang-orang yang moderat akan  memandang
dari dua sudut tersebut.
 
Oleh  sebab  itu, orang yang alim harus melihat dan menghayati
semua persoalan ini. Karena kadang-kadang  sebagian  kewajiban
--sebagaimana yang telah saya jelaskan di muka-- dapat berubah
menjadi pemaafan dalam persoalan amar ma'ruf dan nahi mungkar,
dan bukan penghalalan atau pengharaman. Seperti, memerintahkan
suatu ketaatan dengan melakukan kemaksiatan yang lebih  besar,
sehingga  tidak  memerintahkan  ketaatan  itu dianggap sebagai
penjagaan terhadap  terjadinya  suatu  kemaksiatan.  Contohnya
adalah melaporkan orang yang berbuat dosa kepada penguasa yang
zalim, sehingga bila hal itu dilakukannya, maka  penguasa  itu
akan  menyiksanya  secara  berlebihan, dan melebihi batas dosa
yang telah dilakukan olehnya. Contoh  lainnya  ialah  melarang
suatu  kemungkaran  dengan  meninggalkan  perbuatan  baik yang
lebih  besar  manfaatnya  daripada  meninggalkan   kemungkaran
tersebut;   sehingga  larangan  itu  tidak  dihiraukan  karena
mengandung risiko meninggalkan  apa  yang  diperintahkan  oleh
Allah  SWT  dan  rasul-Nya,  di  mana  perkara ini lebih besar
manfaatnya   daripada   sekadar    meninggalkan    kemungkaran
tersebut."28
 
Catatan kaki:
 
27 Majmu, Fatawa Syaikh al-Islam, 24: 195-196
 
28 Ringkasan Kumpulan Fatwa Syaikh al-Islam,
   Ibn Taimiyah, 20: 48-61
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team