Fiqh Prioritas

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

FIQH PRIORITAS DALAM WARISAN PEMIKIRAN KITA

BARANGSIAPA yang mau menelusuri warisan  pemikiran  umat  yang
sangat  kaya  ini,  maka  dia  akan  menemukan para ulama yang
memberikan  perhatian  besar  terhadap  fiqh   prioritas   dan
mewaspadai  kelalaian  terhadapnya, dalam berbagai bentuk yang
tersebar   di   dalam   sumber-sumber   rujukan   Islam   yang
bermacam-macam;   yang   dapat  ditelusuri  dalam  baris-baris
berikut ini.

MENGENAI HARAMNYA ORANG YANG SEDANG IHRAM MEMBUNUH LALAT

Barangkali  pertama-lama  kita  patut   memberikan   perhatian
terhadap  persoalan  ini.  Yaitu  riwayat yang shahih, berasal
dari Abdullah bin Umar r.a. yang  diriwayatkan  oleh  Ibn  Abu
Nu'aim  yang  berkata,  "Ada  seorang lelaki datang kepada Ibn
Umar dan pada saat itu saya sedang duduk. Lelaki itu  bertanya
kepadanya  tentang  darah  nyamuk."  Dalam  riwayat  yang lain
disebutkan: "Lelaki itu bertanya  kepadanya  tentang  haramnya
membunuh  lalat."  Maka  Ibn  Umar berkata kepadanya: "Berasal
dari manakah engkau ini?" Lelaki itu menjawab,  "Berasal  dari
Irak."  Ibn  Umar  berkata lagi: "Ha, lihatlah lelaki ini. Dia
bertanya tentang darah nyamuk, padahal mereka  telah  membunuh
anak  Rasulullah saw!! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah
saw bersabda,  ,Kedua  anak  ini  --al-Hasan  dan  al-Husain--
merupakan   hiburanku  di  dunia."  Dalam  riwayat  yang  lain
disebutkan: "Penduduk Irak  bertanya  tentang  lalat,  padahal
mereka telah membunuh cucu Rasulullah saw..." 1

Al-Hafiz  Ibn Hajar ketika memberikan penjelasan hadits ini di
dalam Fath al-Bari mengatakan, "Ibn Umar  meriwayatkan  hadits
ini  dengan  penuh  keheranan  terhadap semangat penduduk Irak
yang menanyakan perkara kecil, tetapi mereka melanggar perkara
yang besar." 2

Ibn  Battal berkata, "Ada satu pelajaran yang dapat kita ambil
dari hadits tersebut, yaitu bahwa seseorang harus mendahulukan
perkara   agama   yang  lebih  penting  bagi  dirinya.  Karena
sesungguhnya  Ibn  Umar  tidak  senang  terhadap  orang   yang
bertanya  kepada  dirinya  tentang  darah  nyamuk, padahal dia
meninggalkan istighfar  dari  dosa  besar  yang  dilakukannya;
yaitu dengan memberikan bantuan terhadap pembunuhan al-Husain.
Ibn Umar mencela orang tersebut,  dan  mengingatkan  peristiwa
itu  karena  besar  dan  tingginya kedudukan al-Husain di sisi
Nabi saw." 3

Ketidaksenangan Ibn Umar bukanlah terhadap orang yang bertanya
itu,  tetapi  dia  bermaksud  mengingkari trend pemikiran pada
suatu kelompok manusia yang hendak memperdalam perkara-perkara
yang kecil, dan menyibukkan diri mereka di situ, dan pada masa
yang sama mereka mengabaikan perkara-perkara yang besar.

Apa yang terjadi pada masa Ibn Umar juga terjadi pada anaknya,
Salim,  juga  dengan  penduduk Irak. Mereka bertanya kepadanya
tentang sebagian perkara kecil, padahal dalam saat  yang  sama
mereka  terjebak dalam perkara-perkara besar, yakni pembunuhan
dan penumpahan darah antara sebagian  mereka  dengan  sebagian
yang   lain.  Dia  memberikan  peringatan  yang  sangat  keras
terhadap hal itu dengan menyampaikan suatu hadits yang shahih:
"Setelab  kepergianku janganlah kamu menjadi kafir kembali, di
mana sebagian dan kamu membunuh sebagian yang lain."

Muslim meriwayatkan  dalam  kitab  al-Fitan,  dari  Salim  bin
Abdullah  bahwasanya dia berkata, "Wahai penduduk Irak, apakah
sebenarnya yang membuat kamu bertanya tentang  perkara-perkara
yang kecil, dan yang menjadikan kamu melakukan dosa besar. Aku
mendengar ayahku, Abdulla  ibn  Umar  berkata,  Aku  mendengar
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya fitnah akan muncul dari
sini --sambil tangan beliau saw menunjuk ke  arah  timur--  di
mana  dua  tanduk  setan  akan muncul dari sana." Sekarang ini
sebagian kamu membunuh sebagian yang  lain,  dan  sesungguhnya
Musa  pernah  salah  bunuh, kemudian Allah SWT berfirman, "...
dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan
kamu  dari  kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan..."

Di antara warisan fiqh prioritas dalam warisan pemikiran  kita
ialah  sebuah risalah yang sangat cemerlang, yang diriwayatkan
oleh al-hafizh Ibn 'Asakir dalam riwayat  hidup  Abdullah  bin
al-Mubarak,  dari  Muhammad  bin Ibrahim bin Abu Sukainah yang
berkata,  "Abdullah  bin   al-Mubarak   mendiktekan   kepadaku
bait-bait  syair  ini  di  Tarsus, ketika itu aku meminta izin
kepadanya untuk keluar. Dia  memperdengarkan  bait-bait  syair
itu  bersamaku kepada al-Fudhail bin 'Iyadh pada tahun seratus
tujuh puluh." Dalam riwayat yang lain  disebutkan  pada  tahun
seratus tujuh puluh tujuh.

   Wahai para ahli ibadah di al-Haramain, kalau kamu
   menyaksikan kami, maka kamu akan mengetahui bahwa
   sesungguhnya kamu bermain-main dalam ibadah. Kalau
   orang-orang membasahi pipinya dengan air mata yang
   mengucur deras, maka dengan pengorbanan kami, kami
   mengucurkan darah yang lebih deras. Kalau kuda
   orang-orang kepenatan dalam perkara yang batil, maka
   sesungguhnya kuda-kuda kami penat dalam melakukan
   penyerbuan dan peperangan di pagi hari. Bau wewangian
   menjadi milikmu, sedangkan bau wewangian kami, adalah
   debu-debu jalanan dan debu-debu itu lebih wangi. Telah
   datang kepada kami sabda Nabi kami. Sabda yang benar,
   jujur dan tidak bohong. Tidak sama debu kuda-kuda Allah
   di hidung seseorang dan asap api yang menyala-nyala;
   Inilah kitab Allah yang berbicara kepada kami, Bahwa
   orang yang mati syahid tidak diragukan lagi tidak sama
   dengan orang yang mati biasa.

Ibrahim  berkata,  "Kemudian  aku   pernah   berjumpa   dengan
al-Fudhail  bin  'Iyadh  yang  membawa  tulisan  itu di masjid
al-Haram. Ketika membacanya,  kedua  matanya  mengucurkan  air
mata   sambil  berkata,  'Abu  Abdurrahman  benar  ketika  dia
memberikan nasihat kepadaku.'", Ibrahim berkata lagi:  "Apakah
kamu  termasuk  salah  seorang  yang menulis riwayat ini?" Dia
menjawab, "Ya." Ibrahim berkata kepadanya,  "Tulislah  riwayat
tersebut  sebagai  orang yang pernah melihat peristiwa itu dan
yang  membawa  tulisan  dari  Abu  Abdurrahman  kepada   kami.
Kemudian  al-Fudhail  mendiktekan  kepada  kami:  Manshur  bin
al-Mu'tamir meriwayatkan kepada kami, dari  Abu  Shalih,  dari
Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada
Rasulullah saw,  'Wahai  Rasulullah,  ajarkan  kepadaku  suatu
amalan  yang  aku  dapat  memperoleh  pahala  orang-orang yang
berjihad  di  jalan  Allah.'  Maka  Rasulullah  saw  menjawab,
'Apakah   engkau  dapat  melakukan  shalat  dan  puasa  secara
terus-menerus?' Lelaki itu menjawab,  'Wahai  Rasulullah,  aku
terlalu   lemah  untuk  melakukan  hal  itu.'  Maka  Nabi  saw
bersabda, 'Demi yang diriku berada di tangan-Nya,  kalau  kamu
mampu  melakukan  hal  itu  maka  kamu  tidak  dapat  mencapai
angkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.  Atau  kamu
tidak  mengetahui  bahwa sesungguhnya kuda yang berperang akan
mendapatkan  pahala,  sehingga  berbagai  kebaikan  dituliskan
untuknya."

Kisah  di  atas  disebutkan  dalam  salah satu seminar tentang
pemikiran Islam di Aljazair, lalu  salah  seorang  tokoh  juru
da'wah  menolaknya,  dan  tidak  membenarkan  bahwa cerita itu
memiliki dasar yang benar.  Karena  bagaimana  Ibn  al-Mubarak
menamakan  ibadah di al-Haramain sebagai suatu permainan? Yang
jelas, kisah itu benar.  Ibn  'Asakir  menyebutkan  kisah  itu
berikut  sanadnya dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak,
kemudian dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, di
akhir   surat   Ali  'Imran,4  yang  mengaku  kebenaran  kisah
tersebut. Al-Hafiz al-Dzahabi juga menyebutkan  riwayat  hidup
Ibn al-Mubarak dalam ensiklopedianya, Siyar A'lam an-Nubala' 5
Dalam kisah itu tidak ada pernyataan yang bertentangan  dengan
aqidah   Islam   dan   nash-nashnya,   bahkan  Ibn  al-Mubarak
mempergunakan dalil dari al-Qur'an dan sunnah Nabi  saw  dalam
menggubah syairnya, sebagaimana dikuatkan oleh ahli ibadah dan
zuhud, al-Fudhail, yang pernah didikte oleh Ibn al-Mubarak.

Tokoh kita, al-Bahi  al-Khuli,  menyebutkannya  dalam  bukunya
yang  terkenal,  Tadzkirah  ad-Du'at,  dan memberikan komentar
atas kisah itu sebagai berikut:

   "Ibn al-Mubarak menulis perkataan.ini untuk sahabatnya,
   al-Fudhail, pada saat jihad belum menjadi fardhu ain.
   Walaupun demikian dia menilai ibadahnya sebagai suatu
   permainan, pada hal ibadah itu dilakukan di tempat yang
   paling mulia di muka bumi ini. Tahukah kamu apa yang
   akan dikatakan oleh Ibn al-Mubarak kalau jihad telah
   menjadi fadhu ain? Dan apa yang akan dikatakan olehnya
   tentang ibadah di luar masjid al-Haram?" 6

Tetap Bergaul dengan Masyrakat ketika Terjadi Kerusakan  Moral
ataukah Mengucilkan Diri dari Mereka?

Di  antara  warisan  pemikiran para ulama terdahulu yang dapat
kita  ikuti  sekarang  ini  ialah  topik  pembahasan  mengenai
persoalan  manakah  yang  lebih utama bagi seorang Muslim pada
saat  terjadinya  fitnah  dan  menyebarnya   kemaksiatan   dan
kerusakan.  Apakah dia harus ikut serta menceburkan diri dalam
masyarakat  ataukah  berusaha   untuk   memperbaikinya,   atau
memencilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri.

Orang-orarg  sufi...  kebanyakan  lebih  memilih tindakan yang
kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih  mementingkan
jalan  para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki
mereka dengan penuh  kesabaran  dalam  menerima  siksaan  yang
dilakukan oleh manusia.

Ibn Umar meriwayatkan dari Nabi saw,

   "Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan
   bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik
   daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan
   tidak bersabar atas gangguan mereka." 7

Imam Abu Hamid  al-Ghazali  dalam  buku  Ihya'-nya  memberikan
komentar  di  sekitar keuntungan dan kerugian memencilkan diri
dan tetap bergaul dengan mereka.

Topik  lainnya  yang  juga  menjadi  pembahasan  mereka  ialah
tentang  dunia  dan kekayaannya. Manakah yang lebih utama kita
menggeluti  dunia  dan  kemewahannya,  ikut  serta   melakukan
kesibukan dalam urusan dunia bersama mereka dan ikut merasakan
kenikmatannya  dengan  tetap  memperhatikan  batas-batas  yang
ditetapkan  oleh  Allah  SWT;  ataukah  kita  memalingkan diri
darinya dan menjauhinya, serta menjauhi orang kaya,  perhiasan
dunia, dan harta kekayaannya?

Kebanyakan  orang sufi lebih memilih tindakan yang kedua, akan
tetapi ulama rabbani yang benar  dari  ulama  umat  ini  lebih
memilih tindakan yang pertama; sebagaimana yang dilakukan oleh
para nabi. Seperti Nabi Yusuf, Dawud, dan Nabi Sulaiman, serta
para  tokoh  senior  sahabat  Rasulullah  saw, seperti Utsman,
Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Sa'ad, dan lain-lain

Al-Allamah Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) menolak sikap
para  sufi yang mencela dunia secara mutlak, dan menganggapnya
sebagai  suatu  keburukan  dan  bencana,   serta   tidak   mau
memilikinya  dan  mencarinya  walaupun kekayaan itu halal. Ibn
al-Jawzi dalam buku  kritiknya,  Talbis  Iblis,  mempergunakan
dalil  yang  berasal  dari  al-Qur'an,  sunnah Rasulullah saw,
petunjuk para sahabat, dan kaidah-kaidah syari'ah agama.

MENINGGALKAN LARANGAN ATAU MELAKUKAN KETAATAN?

Di antara warisan itu ada juga pembahasan tentang manakah yang
lebih  utama  dan  diprioritaskan  di sisi Allah, meninggalkan
larangan dan yang diharamkan ataukah mengerjakan  perintah-Nya
dan mentaati-Nya?

Sebagian   ulama   mengatakan,  "Meninggalkan  larangan  lebih
penting  daripada  melakukan  perintah."  Mereka  mengeluarkan
pernyataan itu berdasarkan dalil hadits shahih yang disepakati
keshahihannya,   yang   disebutkan   oleh   al-Nawawi    dalam
al-Arbain-nya, dan.juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam
Jami'-nya; yaitu:

   "Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah
   dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu
   perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan
   kemampuanmu." 8

Dari hadits  tersebut  dapat  dipahami  bahwa  larangan  lebih
diutamakan   daripada   perintah,  karena  sesungguhnya  dalam
larangan tidak  dikenal  adanya  keringanan  (rukhshah)  dalam
suatu  perkara,  sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan
orang yang hendak mengerjakannya.  Pendapat  ini  diriwayatkan
dari Imam Ahmad

Pendapat  ini  serupa  dengan  pendapat  sebagian  ulama  yang
mengatakan, "Amal kebajikan  dilakukan  oleh  orang  baik  dan
orang  yang  durhaka, sedangkan kemaksiatan tidak ditinggalkan
kecuali oleh orang yang jujur."9

Diriwayatkan  dari  Abu  Hurairah  r.a.  bahwasanya  Nabi  saw
bersabda kepadanya,

   "Hindarilah perkara-perkara yang diharamkan, niscaya
   engkau akan menjadi manusia yang paling baik dalam
   beribadah." 10

'Aisyah  r.a.  berkata,  "Barangsiapa  yang  ingin   menyaingi
kebaikan  orang yang selalu bersungguh-sungguh, maka hendaklah
dia  menahan  diri  dari  berbagai  dosa."  Diriwayatkan  dari
'Aisyah secara marfu'. 11

Al-Hasan berkata, "Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan
oleh seorang hamba kepada Tuhannya yang  lebih  baik  daripada
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT."

Sebetulnya,  riwayat  yang  menyebutkan keutamaan meninggalkan
hal-hal  yang   haram   atas   perbuatan   ketaatan   hanyalah
dimaksudkan  dalam ketaatan untuk perkara-perkara yang sunnah.
Jika tidak, maka sesungguhnya jenis amalan  yang  wajib  lebih
utama  daripada  jenis meninggalkan hal-hal yang haram. Karena
memang amalan itulah yang dimaksudkan, sedangkan hal-hal  yang
haram  itu  dituntut  ketidakberadaannya;  dan  oleh sebab itu
tidak  memerlukan  niat.  Berbeda  dengan  amalan  yang   bila
ditinggalkan  bisa menyebabkan kekufuran; seperti meninggalkan
tauhid, meninggalkan seluruh atau sebagian  rukun  Islam.  Hal
ini akan berbeda dengan melakukan perbuatan terlarang, di mana
perbuatan itu sendiri  tidak  mengandung  kekufuran.  Hal  ini
dibuktikan  dengan ucapan Ibn Umar, "Sesungguhnya menolak satu
daniq  (1/6  dirham)  yang  haram  itu  lebih  baik   daripada
menafkahkan seratus ribu daniq di jalan Allah SWT.

Diriwayatkan  dari  sebagian  ulama  salaf: "Meninggalkan satu
daniq yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah lebih aku sukai
daripada lima ratus kali melakukan ibadah haji."

Maimun  bin  Mihran  berkata,  "Mengingat  Allah  dengan lidah
adalah  baik,  dan  lebih  utama  lagi  jika   seorang   hamba
mengingat-Nya  saat  hendak  melakukan  maksiat  kemudian  dia
mencegah diri dari melakukannya."

Ibn al-Mubarak berkata, "Penolakanku terhadap satu dirham yang
berasal   dari   syubhat  adalah  lebih  aku  cintai  daripada
bershadaqah seratus ribu dan  seratus  ribu,  sehingga  sampai
enam ratus ribu."

Umar bin Abd al-Aziz berkata, "Ketaqwaan itu bukan berjaga dan
beribadah di malam hari, atau berpuasa  di  siang  hari,  atau
kedua-duanya  sekaligus;  akan  tetapi  ketaqwaan  itu  adalah
menunaikan apa yang difardhukan Allah SWT dan meninggalkan apa
yang  diharamkan  Allah  SWT.  Jika setelah itu masih ada lagi
amalan yang dapat dikerjakan, maka  ia  adalah  kebaikan  yang
ditambahkan kepada kebaikan."

Dia  juga  mengatakan,  "Aku  senang  kalau  aku  tidak  dapat
melakukan shalat selain shalat lima waktu  dan  shalat  witir;
dapat  menunaikan zakat kemudian setelah itu tidak bershadaqah
dengan satu dirham pun; berpuasa Ramadhan dan  tidak  berpuasa
satu  hari  pun  setelah  itu;  melakukan ibadah haji kemudian
tidak melakukan haji lagi selamanya sesudah itu;  lalu  dengan
sisa   kekuatanku,  diriku  ini  berniat  melakukan  apa  yang
diharamkan oleh Allah kepadaku, tetapi aku dapat mencegahnya."

Kesimpulan pendapat mereka ialah bahwa menjauhi  hal-hal  yang
diharamkan  --walaupun jumlahnya sangat sedikit-- adalah lebih
utama daripada memperbanyak  ketaatan  yang  hukumnya  sunnah.
Karena  sesungguhnya  menjauhi  larangan  hukumnya  fardhu dan
memperbanyak ketaatan dalam hal yang sunnah hukumnya sunnah.

Kelompok ulama khalaf mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda,  'Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah
dia; dan apabila aku  memerintahkanmu  tentang  suatu  perkara
maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu,' adalah karena
mentaati Allah SWT dalam suatu perkara tidak  dapat  dilakukan
kecuali  dengan  melakukan  amalan,  dan amalan itu bergantung
kepada adanya beberapa syarat dan  sebab;  sedangkan  sebagian
sebab  itu ada yang tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu,
Rasulullah saw  mengaitkannya  dengan  kemampuan?  sebagaimana
Allah SWT mengaitkan perintah-Nya untuk melakukan taqwa dengan
kemampuan.

   "Maka bertagwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu
   ..." (at- Taghabun: 16)
   
   "... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
   Allah, (bagi) orang yang mampu melaksanakannya" (Ali
   Imran: 97)

Sedangkan tuntutan pada larangan ialah  meniadakan  perbuatan.
Itulah  hukum asalnya. Maksudnya hendaklah perbuatan itu tidak
ada untuk selama-lamanya. Sehingga tidak dikenal  di  dalamnya
kemampuan  untuk  tidak  dapat  melakukannya Sehubungan dengan
masalah itupun ada beberapa pandangan. Kekuatan yang mendorong
kepada   perbuatan   maksiat  itu  bisa  jadi  kuat,  sehingga
seseorang  tidak  memiliki  kesabaran  untuk   mencegah   diri
darinya,     padahal     dia    memiliki    kemampuan    untuk
melakukannya.Sehingga  pencegahan  untuk  kasus  seperti   ini
memerlukan  usaha  keras,  dan barangkali melebihi usaha dalam
memberikan semangat  kepada  jiwa  seseorang  untuk  melakukan
ketaatan.  Oleh  sebab  itu, banyak sekali orang yang berusaha
keras  melakukan  ketaatan,  tetapi  dia  tidak   kuat   untuk
meninggalkan  perkara-perkara  yang  diharamkan.  Umar  pernah
ditanya tentang suatu umat Islam yang sangat mudah digoda oleh
kemaksiatan   tetapi   mereka   tidak   melakukan  kemaksiatan
tersebut. Dia menjawab, "Mereka adalah suatu umat Muslim  yang
hati  mereka  diuji  oleh  Allah  SWT  dalam ketaqwaan. Mereka
berhak memperoleh ampunan dan pahala yang besar." 12

Yazid bin Maisarah berkata bahwa  Allah  SWT  berfirman  dalam
sebagian  kitab  suci-Nya  yang  lain,  "Wahai pemuda yang mau
meninggalkan  nafsu  syahwatnya,   yang   menghabiskan   waktu
remajanya  untuk-Ku, engkau di sisi-Ku adalah seperti sebagian
malaikat-Ku." 13

Dia juga berfirman,  "Alanglah  dahsyatnya  nafsu  syahwat  di
dalam  tubuh  manusia.  Ia  bagaikan  api  yang membakar. Maka
bagaimana  mungkin  orang  yang  tak  berpagar  dapat  selamat
darinya?" 14

Kesimpulannya,   sesungguhnya  Allah  tidak  memberikan  beban
kepada para hamba-Nya  untuk  melakukan  amal  perbuatan  yang
tidak  mampu  mereka lakukan. Dan banyak sekali amal perbuatan
yang tidak dibebankan lagi kepada mereka oleh Allah SWT  hanya
karena  ada  kesulitan,  sebagai  keringanan  dan  rahmat bagi
mereka. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan larangan, maka
tidak  ada  seorangpun yang dimaafkan apabila dia melakukannya
dengan kekuatan nafsu  syahwatnya.  Bahkan,  Allah  memberikan
beban   kepada   mereka   untuk  meninggalkannya  bagaimanapun
keadaannya. Allah membolehkan seseorang untuk memakan  makanan
yang  diharamkan  ketika  dia  berada di dalam keadaan darurat
untuk mempertahankan hidup, dan bukan  untuk  bersenang-senang
dan  memuaskan  nafsu  syahwatnya.  Atas dasar itu, kita dapat
mengetahui kebenaran  apa  yang  dikatakan  oleh  Imam  Ahmad:
"Sesungguhnya  larangan  itu  lebih  berat daripada perintah."
Diriwayatkan  dari  Nabi  saw,  dari  Tsauban,  dan  lain-lain
bahwasanya beliau bersabda,

   "Istiqamahlah terus, tetapi kamu tidak akan
   mendapatkannya." 15

Yakni tidak akan dapat mencapai derajat kesempurnaan.

Diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 282. Darimi, 1: 168 dari  al-Walid
bin  Muslim:  "Ibn  Tsauban  memberitahukan kepada saya, bahwa
Hisan  bin  'Athiyah  memberitahu  saya  bahwa   Abu   Kabsyah
al-Saluli berkata bahwasanya dia mendengar Tsauban berkata..."

KAYA DISERTAI SYUKUR ATAUKAH MISKIN DISERTAI SABAR?

Di antara pembahasan yang termasuk di dalam fiqh  pertimbangan
atau  fiqh  prioritas  ialah  apa yang dibahas oleh para ulama
terdahulu di sekitar pertanyaan ini, "Manakah yang lebih utama
dan  lebih  banyak  pahalanya,  kaya  tetapi bersyukur ataukah
miskin tetapi bersabar? Dengan kata lain: "Menjadi orang  yang
kaya   tetapi  bersyukur  atau  menjadi  orang  miskin  tetapi
bersabar?"

Jawaban atas pertanyaan itu bermacam-macam. Ada  yang  memilih
pernyataan pertama dan ada juga memilih yang kedua.

Bagi   saya,   setelah  menghayati  nash-nash  yang  berkaitan
dengannya dan melakukan  kajian  perbandingan  atas  nash-nash
tersebut,  maka  saya  memilih  pernyataan bahwa menjadi orang
kaya tetapi mau bersyukur adalah lebih  utama.  Untuk  menjadi
orang  kaya  tetapi  mau  bersyukur  adalah sesuatu yang tidak
mudah, sebagaimana dugaan orang banyak. Allah SWT berfirman:

   "... Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
   berterima kasih... (Saba': 13)

Allah SWT berfirman menirukan apa yang  dikatakan  oleh  Iblis
terlaknat:

   "... Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
   bersyukur (taat). (al-A'raf: 17)
   
Rasulullah saw pernah memohon kekayaan kepada Allah  SWT,  dan
memohon perlindungan dari-Nya untuk dijauhkan dari kemiskinan.

Rasulullah saw berdoa,

   "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk,
   ketaqwaan, kesucian diri, dan kekayaan." 16
   
   "Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
   kemiskinan, kepapaan, dan kehinaan. Dan aku berlindung
   kepada-Mu dari kezaliman orang dan menzalimi orang." l7
   
   "Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
   kemiskinan, kekufuran, kefasikan, perpecahan, dan
   kemunafiqan." 18
   
   "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
   kelaparan, karena sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk
   sahabat." 19

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Sa'ad,

   "Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa,
   kaya, dan tidak menonjolkan dirinya." 20

Rasulullah saw bersabda kepada Amr'

   "Wahai Amr, sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki
   oleh orang yang shaleh." 21

Hadits  "Orang-orang  kaya  meraih  tingkat  yang   tinggi..."
menunjukkan   bahwa   orang-orang   kaya  apabila  mereka  mau
bersyukur kepada nikmat Allah,  dan  menunaikan  haknya,  maka
mereka    akan    mendapatkan   kesempatan   untuk   melakukan
amalan-amalan  fardhu  yang   tidak   dapat   dilakukan   oleh
orang-orang  miskin.  Oleh  karena  itu  dalam  hadits  pernah
disebutkan, "Itulah kelebihan yang diberikan  oleh  Allah  SWT
kepada  siapa  saja yang dikehendakiNya." (Bukhari, 843, 6329,
dan Muslim, 595)

Allah SWT telah  memuji  rasul-rasul-Nya  yang  mulia,  karena
mereka mau bersyukur kepadaNya. Seperti syaikh para rasul, Nuh
a.s., yang dipujiNya dalam firman-Nya:

   " ... Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yang
   banyak bersyukur. (al-Isra': 3)

Dan Ibrahim bapak para nabi dan umat Islam ketika dipuji  oleh
Allah SWT:

   "(lagi) mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah
   memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus."
   (an-Nahl: 121)

Dan juga nikmat-Nya yang diberikan kepada nabi Dawud dan  nabi
Sulaiman,

   "...Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur
   kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku
   yang berterima kasih." (Saba': 13)

Dan juga dikisahkan tentang Sulaiman a.s. yang berkata  ketika
dia telah mendengar perbincangan yang dilakukan oleh semut.

   "... Ya Tuhan, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
   nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan
   kepada dua orang ibu bapakku..." (an-Naml:19)

Begitu pula kisah tentang Yusuf a.s.

   "... Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telah
   menganugerahkan kepadaku, sebagian kerajaan dan telah
   mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi..." (Yusuf:
   101)

Dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada rasul-Nya  yang
terakhir.

   "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
   lalu Dia memberikan kecukupan." (ad-Dhuha: 8)
   
   "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu
   menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (ad-Dhuha: 11)

Serta  kenikmatan  yang  diberikan-Nya  kepada  para   sahabat
Rasulullah saw.

   "Dan ingatlah hai para muhajirin ketika kamu masih
   berjumlah sedikit, lagi tertindas di maka bumi
   (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik
   kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah)
   dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan
   diberi-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu
   bersyukur." (al-Anfal: 26).

Catatan kaki:

 1 Diriwayatkan oleh Ahmad melalui dua jalan, 5675,
   5568, yang di-shahih-kan oleh Syaikh Syakir dalam
   duatempat. Bukhari meriwayatkannya dalam dua tempat
   jua, dalam al-Manaqib (3573) dan dalam al-Adab
   al-Mufrad (5994), Bukhari dan Fath al-Bari.
   
 2 al-Fath, 7: 95, Penerbit Dar al-Fikr yang dicetak
   dari al-Salafiyyah.
   
 4 Lihat Tafsir Ibn Katsir. cet. Isa al-Halabi. 1:447
   
 5 Lihat Siyar A'lam al-Nabala', 8: 364, 365.
   
 6 Tadzkirah al-Du'at, h. 212.
   
 7 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
   al-Mufrad; Tirmidzi, dan Ibn Majah sebagaimana yang
   disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir, 6651.
   
 8 Muttafaq Alaih' diriwayatkan oleh Bukhari (7288); dan
   Muslim (1337).
   
 9 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari ucapan Sahl bin
   Abdullah at-Tasturi, dalam al-Hilyah, 10: 211
   
1O Sabda Nabi saw ini merupakan potongan daripada
   hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, 2: 310; Tirmidzi
   (2305); yang dianggap hadits gharib oleh Tirmidzi. Akan
   tetapi ada isnad lain dari Ibn Majah (4217) Yang
   menguatkan hadits tersebut; Baihaqi dalam al-Zuhd
   (818); Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 10: 365; yang
   dianggap sebagai hadits hasan oleh al-Bushiri dalam
   Misbah al-Zujajah.
   
11 Diriwayatkan oleh Abu Ya'la (4950). Di dalam
   sanad-nya terdapat Suwaid bin Sa'id, dan Yusuf bin
   Maimun. Keduanya orang yang lemah.
   
12 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Zuhd, sebagaimana
   yang termuat dalam Tafsir Ibn Katsir, 7: 248; dari
   Mujahid, dari Umar, tetapi dia tidak mendengarkannya
   darinya, sehingga riwayat ini dianggap munaqathi'
   
13 Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, 5: 237
   
14 al-Hilyah, 5: 241
   
15 Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 276,
   277, 282; Darimi, 1: 168; Ibn Majah, 288 dari Salim bin
   Abu Ja'd, dari Nauban, yang di-shahih-kan oleh Hakim,
   1: 130 dan disepakati okh al-Dzahabi.
   
16 Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah
   dari Ibn Mas'ud, Shahih. al-Jami', as-Shaghir, 1275
   
17 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai, Ibn Majah, Hakim
   dari Abu Hurairah r a ( al-Jami', as-Shaghir, 1287)
   
18 Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi di dalam
   al-Du'a,dari Anas, ibid., 1285
   
19 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah
   dari Abu Hurairah r.a., ibid., 1283
   
20 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dari Sa'ad bin Abi
   Waqqash.
   
21 Diriwayatkan oleh Ahmad dan di-shahih-kan oleh
   Hakim, Ibn Hibban, dari Amr bin Ash.
 
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team