Hukum-hukum Zakat

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Zakat | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MEMILIH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG  PENGELUARAN  ZAKAT
PENGHASILAN PADA WAKTU DITERIMA
 
Setelah  diperbandingkan  pendapat-pendapat  di  atas dengan
alasan masing-masing, diteliti  nash-nash  yang  berhubungan
dengan   status   zakat   dalam   bermacam-macam   kekayaan,
diperhatikan hikmah dan maksud  pembuat  syariat  mewajibkan
zakat,  dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam
pada masa sekarang ini, maka saya  berpendapat  harta  hasil
usaha   seperti  gaji  pegawai,  upah  karyawan,  pendapatan
dokter, insinyur, advokat dan  yang  lain  yang  mengerjakan
profesi  tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh
dari modal yang diinvestasikan di luar  sektor  perdagangan,
seperti   pada  mobil,  kapal,  kapal  terbang,  percetakan,
tempat- tempat  hiburan,  dan  lain-lainnya,  wajib  terkena
zakat  persyaratan  satu  tahun  dan  dikeluarkan pada waktu
diterima.
 
Sebagai penjelasan dari pendapat  kami  dalam  masalah  yang
sensitif  itu,  kami  mengemukakan  beberapa butir alasan di
bawah ini,  supaya  kebenaran  dapat  jelas  yang  dikuatkan
dengan dalil:
 
1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta
   penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih
   atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum Syara'
   yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan
   para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang
   diakui kebenarannya sebagaimana telah kita terangkan.
   
2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam
   harta penghasilan: sebagian mempersyaratkan adanya masa
   setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkan satu
   tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu
   harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang Muslim.
   Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih
   baik daripada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya
   dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah- kaedah
   yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Bila kalian berbeda
   pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
   (Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa,: 59).
   
3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat
   harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih
   pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai
   menilainya sebagai dugaan-dugaan saja, merupakan
   pertentangan-pertentangan dan bagian- bagian yang saling
   bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari
   Quran atau hadis shahih atau riwayat yang ada cela
   sekalipun, maupun dari Ijmak dan Qias, dan dari pemikiran
   dan pendapat yang kira-kira dapat diterima. Saya sudah
   melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat
   antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan
   pentarjihan masing-masing mazhab. Saya menemukan pula
   berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang
   ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu,
   digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau
   tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak.
   Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam
   keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu
   dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan
   persoalan-persoalan kecil lainnya Semuanya itu membuat saya
   menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana
   dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa
   persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai
   kewajiban bagi seluruh umat.
   
4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat
   harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang
   berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang
   mempersyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat
   baik dalam Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan
   tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun.
   Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian,"
   Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan
   dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang
   beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian."
   (al-Baqarah: 267) Kata ma Kasabtum merupakan kata umum yang
   artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan, atau
   pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada
   keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat
   perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu
   memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi.
   Bila para ulama fikih telah menetapkan setahun sebagai
   syarat wajib zakat perdagangan, maka itu berarti bahwa
   antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak boleh
   dipisahkan karena laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan
   dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya
   yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
   
5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan
   landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu
   tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qias
   yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau
   sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan
   dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada
   waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun
   sebagai penyewa, sebanyak sepersepuluh atau seperdua puluh
   hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapakah kita tidak
   boleh memungut dari seorang pegawai atau seorang dokter,
   umpamanya, sebanyak seperempat puluh penghasilannya? Bila
   Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang Muslim
   dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu
   ayat, yaitu "Hai orang- orang yang beriman keluarkanlah
   sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan
   untuk kalian dari tanah," mengapakah kita membeda-bedakan
   dua masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan
   kedua-duanya adalah rezeki dan nikmat dari Allah?
   
   Benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan
   buah-buahan lebih kentara dan mensyukurinya lebih wajib,
   namun demikian tidak berarti bahwa salah satu pendapatan
   tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi tidak.
   Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syariat mewajibkan
   zakat dari hasil tanah sebesar sepersepuluh atau seperdua
   puluh sedangkan pada harta penghasilan berupa uang atau yang
   senilai dengan uang-sebanyak seperempat puluh.
   
6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta
   penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan
   pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas
   pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi
   dua golongan saja: menginvestasikan pendapatan mereka
   terlebih dahulu dalam berbagai sektor, atau berfoya-foya
   bahkan menghamburkan semua penghasilannya itu kesana-sini
   sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti
   hanya membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan
   ekonomis saja, yang membelanjakan kekayaannya seperlunya,
   tidak berlebih-lebihan tetapi tidak pula kikir, yang berarti
   mereka menyimpan penghasilan mereka sehingga mencapai masa
   zakatnya. Hal itu jauh sekali dari maksud kedatangan syariat
   yang adil dan bijak, yaitu memperingan beban orang-orang
   pemboros dan memperbuat beban orang-orang yang hemat.
   
7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta
   penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak
   bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam mewajibkan
   zakat Misalnya: Seorang petani yang menanam tanaman pada
   tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5%
   bila sudah mencapai 50 kila Mesir, berdasarkan fatwa-fatwa
   dalam mazhab-mazhab yang ada, sedangkan pemilik tanah yang
   dalam sejam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus atau
   beribu- ribu dinar berupa uang sewa tanah tersebut, tidak
   dikenakan zakat, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab
   yang ada, karena adanya persyaratan setahun bagi penghasilan
   tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir
   tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur,
   advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan
   lain-lainnya. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang
   terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak
   terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para
   ulama. Kita tidak yakin, bila mereka hidup pada zaman
   sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah
   mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah,
   seperti yang hanyak kita temukan dalam riwayat para imam .
   
8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima,
   diantaranya gaji, upah, penghasilan dari modal yang
   ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan pendapatan
   para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang
   yang berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat,
   disamping menambah perbendaharaan negara dan pemiliknya
   dapat dengan mudah mengeluarkan zakatnya. Hal itu dengan
   pemungutan zakat gaji para pegawai dan karyawan tersebut
   oleh pemerintah atau yayasan-yayasan melalui cara yang
   dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan "Penahanan pada
   Sumber," seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan
   Mu'awiyah serta Umar bin Abdul Aziz dalam, memotong
   pemberian yang mereka berikan. Maksud kata "pemberian"
   disini adalah gaji para tentara dan orang-orang yang di
   bawah kekuasaan negara pada masa itu. Abu Walid Baji
   mengatakan bahwa "Pemberian menurut syara' adalah pemberian
   dari kepala negara kepada seseorang dari Baitul-mal
   berbentuk nafkah hidup (gaji). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
   dari Hubaira bahwa Ibnu Mas'ud memotong pemberian yang
   mereka terima sebesar dua puluh lima dari tiap seribu. Hal
   itu diriwayatkan pula oleh at-Tabrani darinya juga.  Dari
   'Aun dari Muhammad, "Saya melihat para penguasa bila
   memberikan gaji, memotong zakatnya.  Dari Umar bin Abdul
   Aziz, bahwa ia mengeluarkan zakat pemberian dan hadiah.
   Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab,
   bahwa: Orang yang pertama kali memungut zakat dari pemberian
   adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan.  Tampaknya yang ia
   maksudkan adalah khalifah pertama yang memungut zakat
   pemberian, sedangkan sebenarnya sudah ada orang yang
   mengambil zakat pemberian sebelum itu, yaitu Abdullah bin
   Mas'ud sebagaimana kita jelaskan.
   
9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai
   dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan,
   kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa
   seorang Muslim, sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus
   ada dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan
   menanamkan agama tersebut menjadi sifat pribadi unsur pokok
   kepribadiannya. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang
   yang bertakwa, "Dan sebagian apa yang kami berikan kepada
   mereka, mereka nafkahkan." Allah juga berfirman, "Hai
   orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian apa-apa yang
   kami berikan kepada kalian." Untuk itu Nabi s.a.w.
   mewajibkan kepada setiap orang Muslim mengorbankan sebagian
   hartanya, penghasilannya, atau apa saja yang ia korbankan.
   
   Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Asyari dari Nabi s.a.w.:
   
   "Setiap orang Muslim wajib bersedekah." Mereka bertanya,
   "Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya? Beliau
   menjawab, "Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya,
   lalu bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau tidak punya
   pekerjaan?" Beliau bersabda, "Tolong orang yang meminta
   pertolongan." Mereka bertanya, "Bagaimana bila tidak bisa?"
   Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan
   kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya."
   
   Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang
   tersebut dari sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa
   setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja,
   berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan
   rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang
   yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan
   berusaha.
   
10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan
   lebih menguntungkan pemasukan zakat secara pasti dan
   pengelolaannya dilihat dari pihak orang yang wajib
   mengeluarkan zakat dan dari segi administrasi pemungutan
   zakat. Hal itu oleh karena bagi yang berpendapat satu tahun
   sebagai syarat zakat, menyebabkan setiap orang yang
   mendapatkan penghasilan sedikit atau banyak berupa gaji,
   honorarium atau penghasilan kekayaan tak bergerak, atau
   jenis pendapatan yang lain-harus menentukan masa jatuh
   tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya lalu bila sampai
   masa tempo setahunnya itu dikeluarkanlah zakatnya. Ini
   berarti, bahwa seorang Muslim kadang-kadang bisa mempunyai
   berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang
   diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali
   dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan
   mengatur zakat yang dengan demikian zakat tidak bisa
   terpungut dan sulit dilaksanakan.41
                                          (sebelum, sesudah)

 
---------------------------------------------------
HUKUM ZAKAT
Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Qur'an dan Hadis
Dr. Yusuf Qardawi
Litera AntarNusa dan Mizan, Jakarta Pusat
Cetakan Keempat 1996, ISBN 979-8100-34-4

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Zakat | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team