Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN                               (2/3)
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
 
Ibnu 'Arabi, pakar tafsir dan hukum  Islam  bermazhab  Maliki,
tidak  sependapat  dengan  mereka yang memahami kata taqshithu
pada firman Allah di atas dalam arti  berlaku  adil.  "Berlaku
adil",  tulisnya,  "adalah  wajib  terhadap  orang-orang kafir
(baik yang memerangi maupun yang  tidak)."  Kata  taqsithu  di
sini   menurutnya  adalah  "memberi  bagian  dari  harta  guna
menjalin hubungan baik".
 
Keadilan harus ditegakkan di mana pun, kapan pun, dan terhadap
siapa  pun.  Bahkan,  jika  perlu dengan tindakan tegas. Salah
satu ayat Al-Quran menggandengkan "timbangan" (alat ukur  yang
adil)   dengan  "besi"  yang  antara  lain  digunakan  sebagai
senjata. Ini untuk  memberi  isyarat  bahwa  kekerasan  adalah
salah satu cara untuk menegakkan keadilan.
 
   Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan
   membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan
   bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca
   keadilan), dan Kami ciptakan besi yang padanya
   terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi
   manusia (supaya besi itu digunakan). Allah mengetahui
   siapa yang menolong (memperguangkan nilai-nilai)
   agama-Nya dan membantu rasul-rasul-Nya, walaupun Allah
   gaib dari pandangan mata mereka [QS Al-Hadid [57]:
   25).
   
   Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah
   ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah
   satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi
   (ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang,
   sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat
   [49]: 9)
 
Lanjutan ayat ini perlu mendapat perhatian, yakni:
 
   Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah
   kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil.
   Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
   adil (QS Al-Hujurat [49]: 9)
 
Sungguh  tepat  menggandengkan   perintah   mendamaikan   pada
lanjutan  ayat  ini  dengan  "keharusan  berlaku adil". Karena
walaupun keadilan  dituntut  dalam  setiap  sikap  sejak  awal
proses  perdamaian,  tetapi  sikap  itu lebih dibutuhkan untuk
para  juru  damai  setelah  mereka  terlibat  menindak   tegas
kelompok  pembangkang. Ini karena besar kemungkinan mereka pun
mengalami kerugian, harta, jiwa, atau paling tidak harga  diri
akibat   ulah   para   pembangkang.  Kerugian  tersebut  dapat
mendorongnya untuk berlaku tidak adil,  karena  itu  ayat  ini
menekankan terhadap mereka kewajiban berlaku adil.
 
Begitu  luas  pesan keadilan Al-Quran, sehingga seseorang yang
merasa  sempit  dari  keadilan,  pasti  akan  merasakan  bahwa
ketidakadilan jauh lebih sempit.
 
KEADILAN ILAHI
 
Pembicaraan tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru.
Persoalan ini hadir sejak  manusia  mengenal  baik  dan  buruk
Pertanyaan-pertanyaan   seperti  mengapa  ada  kejahatan,  ada
penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan  menganugerahkan
si A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam
bencana? Kesemua pertanyaan itu dapat menjadi wajar.
 
Tetapi tidak mudah memahami  -apalagi  menjelaskan-  persoalan
ini  jika  dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah
satu hal yang amat  muskil,  khususnya  bila  ingin  memuaskan
semua  nalar.  Itu  sebabnya  yang merasakan Kemahabesaran dan
Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di
balik    setiap   peristiwa,   baik   yang   dinilai   sebagai
ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban  semacam
ini jelas tidak memuaskan nalar.
 
Pada  masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan:
Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti
ini  -yang  sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut
monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik  pada
penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.
 
   Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit
   dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya (QS
   Al-An'am [6]: 1)
 
Sebagian  pakar  agama  termasuk  agama  Islam   menyelesaikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan
atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling  tidak  hanya
terdapat  pada  nalar  manusia  yang memandang secara parsial.
Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa,
 
   Dialah yang membuat segala sesuatu dengan
   sebaik-baiknya (QS Al-Ahzab [32]: 7).
 
Kalau demikian, segala  sesuatu  diciptakan  oleh  Allah,  dan
segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan
adalah akibat  dari  keterbatasan  pandangan.  Segala  sesuatu
sebenarnya   tidak  buruk,  tetapi  nalar  manusia  mengiranya
demikian.
 
   Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik
   bagimu, dan bolehjadi engkau menyenangi sesuatu
   padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu
   tidak mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 216).
 
Nalar tidak dapat menembus semua  dimensi.  Seringkali  ketika
seseorang  memandang  sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya
buruk dan  jahat,  tetapi  jika  dipandang  secara  makro  dan
menyeluruh,  justru  hal  itu  merupakan  unsur  keindahan dan
kebaikan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada  tahi
lalat  di  wajah  seorang  wanita akan terlihat buruk? Tetapi,
bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru
menjadi  unsur  utama  kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya
melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan  menilainya  kejam,
tetapi   bila   Anda  mengetahui  bahwa  sang  dokterlah  yang
mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima  kasih  dan
memujinya?  Karena  itu,  jangan memandang kebijaksanaan Allah
secara mikro. Kalaupun Anda tidak  mampu  memandangnya  secara
makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu.
 
Boleh  jadi  nalar  Anda  belum puas. Sekali lagi, mengapa ada
kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda,  atau
ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?
 
Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan,
 
   "Manusia itu adalah untuk umat yang satu" (QS
   Al-Baqarah [2]: 213)
 
Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.
 
   Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
   burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
   melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu
   juga. Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab
   (pengetahuan Tuhan). Kemudian kepada Tuhanmulah mereka
   dihimpunkan (QS Al-An'am [6]: 38).
 
Jika demikian, pribadi demi pribadi secara sadar  atau  tidak,
bekerja sama dan saling menopang demi kebahagiaan bersama, dan
untuk itu ada di antara  mereka  yang  menjadi  "korban"  demi
kebahagiaan   makhluk   secara  keseluruhan.  Pengorbanan  itu
merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia.
Korban (yang mengalami "keburukan") harus ada, demi mewujudnya
kebaikan dan keindahan. Bagaimana mungkin  manusia  mengetahui
arti   berani,   jika   tidak  ada  bahaya?  Bagaimana  mereka
mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak  merasakan  sakit?  Apa
artinya  kesabaran  jika  tidak  ada malapetaka? Nah, siapakah
yang harus mengalami semua itu? Jika bukan makhluk juga?
 
Apabila  penderitaan  itu  terjadi  karena   kesalahan,   maka
setimpallah  akibat  dengan  ulahnya.  Sedangkan apabila tidak
bersalah, maka pengorbanan manusia akan  beroleh  ganjaran  di
sisi  Allah,  yakni pengampunan dosa dan ketinggian derajat di
akhirat sana (QS Al-Baqarah [2]: 155-157).
 
Patut dicatat bahwa Allah memberikan  potensi  kepada  manusia
untuk  mampu  memikul  kesedihan dan melupakannya, begitu kata
pakar psikologi dan begitu juga isyarat Al-Quran.
 
   Tidak satu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali
   dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada
   Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk
   kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala
   sesuatu (QS Al-Taghabun [64]: 11).
 
Manusia harus bekerja sama memikul bencana untuk mencapai  dan
memahami tujuan keberadaannya.
 
Anda  boleh  bertanya,  "Mengapa  kerja  sama  itu  harus ada?
Bukankah  Allah  Mahamutlak  kesempurnaan  dan   kekuasaanNya,
sehingga  Dia kuasa menciptakan alam tanpa kekurangan atau pun
tanpa kerja sama?"
 
Benar! Allah Mahamutlak kesempurnaan-Nya, karena
 
   Bagi Allahlah segala sifat yang terpuji (QS Al-A'raf
   [7]: 180).
 
Dia Mahakuasa, tiada sedikit pun kekurangan-Nya. Apakah  nalar
Anda menuntut agar Dia menciptakan suatu ciptaan yang memiliki
kesempurnaan mutlak seperti kesempurnaan-Nya?  Jika  itu  yang
diinginkan,  akan  terdapat dua Tuhan, dan ini mustahil. Bukan
saja  dari  segi   redaksional   kata   "mutlak"   (kemutlakan
mengandung  arti  kesendirian),  melainkan  juga mustahil dari
sisi keyakinan "keesaan-Nya", serta bertentangan  pula  dengan
firman-Nya,
 
   Tiada yang serupa dengan-Nya satu pun (QS [42]: 11).
 
Yakni, jangankan yang  sama  dengan-Nya,  yang  serupa  dengan
serupa-Nya pun tiada.
 
Adalah   logis   bahwa  Pencipta  harus  berbeda  dengan  yang
diciptakan. Yang diciptakan kurang sempurna dibandingkan  sang
pencipta.  Kekurangan  dan  ketidaksempurnaan itu mencakup apa
yang dinamai atau diduga sebagai keburukan. Jangan lupa  bahwa
yang  dinamakan  dan  dikeluhkan  manusia  itu  tidak mencakup
seluruh alam sebagai suatu unit dan serentak, melainkan  hanya
diderita oleh sebagian unsur-unsurnya. Bahkan sering kejahatan
yang diderita seseorang  dapat  menjadi  nikmat  bagi  dirinya
sendiri  di masa datang, atau merupakan nikmat bagi yang lain.
Harus diingat juga bahwa terdapat  banyak  makhluk  Allah  dan
sebagian   besar   tidak   diketahui  manusia,  sebab  seperti
firman-Nya,
 
   Dia menciptakan (makhluk) yang tidak kamu ketahui (QS
   Al-Nahl [16]: 8).
 
Konon pengetahuan manusia baru  dapat  menjangkau  sekitar  3%
dari seluruh alam raya ini.
 
Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan
manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti  itu,  karena
ini  bertentangan  dengan  makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud
dan  kekuasaan-Nya  tidak  dapat  tercermin  kecuali   melalui
ciptaan-Nya?
 
Boleh  jadi  Anda  berkata  bahwa yang dikemukakan di atas ini
adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan  dari  sudut
pandang  rahmat  dan  nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan
ini, "tidak menciptakan sama sekali  justru  jauh  lebih  baik
daripada  menciptakan  sesuatu  yang disertai dengan kepedihan
dan kejahatan?"
 
Barangkali demikian. Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta
dan   memelihara   hak  atas  berlanjutnya  eksistensi,  tidak
mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat  sewaktu
terdapat   kemungkinan   eksis  atau  potensi  untuk  mencapai
kesempurnaan" (seperti makna keadilan Ilahi  yang  dikemukakan
sebelum ini), jauh lebih baik.
 
Jika  seperti  itu  adanya,  persoalan  keadilan  Ilahi  bukan
problem nalar, melainkan problem  rasa,  sebagai  akibat  dari
keinginan  manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk
diri, keluarga, atau jenisnya  saja,  hingga  melupakan  pihak
lain.  Jika  problemnya  demikian, yang mampu menanggulanginya
adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat
besar.
 
KEADILAN SOSIAL
 
Al-Quran   menetapkan   bahwa   salah   satu  sendi  kehidupan
bermasyarakat adalah keadilan. Tidak lebih dan  tidak  kurang.
Berbuat   baik  melebihi  keadilan  --seperti  memaafkan  yang
bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas--  akan  dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
 
Memang  Al-Quran  memerintahkan  perbuatan  adil dan kebajikan
seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh  (kamu)
berlaku  adil  dan  berbuat  kebajikan" (QS Al-Nahl 116]: 90),
karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi
keadilan.  Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih
utama daripada kedermawanan atau ihsan.
 
Ihsan  adalah  memperlakukan  pihak  lain  lebih   baik   dari
perlakuannya,   atau   memperlakukan   yang   bersalah  dengan
perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan  hal-hal
yang  baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya
jika dilakukan pada tingkat masyarakat.
 
Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu  pada
tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan
pada  tempatnya."  Jika  hal  ini  menjadi   sendi   kehidupan
bermasyarakat,  maka  masyarakat  tidak akan menjadi seimbang.
Itulah sebabnya, mengapa Nabi  Saw.  menolak  memberikan  maaf
kepada  seorang  pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau
pemilik harta telah memaafkannya.
 
Shafwan bin Umayyah  dicuri  pakaiannya  oleh  seseorang.  Dia
menangkap  pencurinya  dan  membawanya kepada Nabi Saw. Beliau
memerintahkan  memotong   tangan   pencuri,   tetapi   Shafwan
memaafkan, maka Nabi Saw. bersabda.
 
   "Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya
   kepadaku" (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan
   An-Nasa'i).
 
Hidup  adalah  perjuangan.  Yang  baik  dan  bermanfaat   akan
bertahan,   sedang   yang   buruk  akhirnya  hancur.  Demikian
ketetapan Ilahi.
 
   Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak
   ada harganya, sedangkan yang memben manfaat bagi
   manusia itulah yang tetap bertahan di bumi.
   Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS
   Al-Raid [13]: 17).
 
Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan
kemampuan  para  rasul  pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253).
Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu  tidak  boleh
mengakibatkan  pertentangan.  Sebaliknya,  perbedaan itu harus
mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak.
Demikian  kandungan  makna  firman-Nya  pada  surat Al-Hujurat
(49): 13.
 
Dalam  surat  Az-Zukhruf  (43):  32   tujuan   perbedaan   itu
dinyatakan:
 
   Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
   telah menentukan di antara mereka (melalui
   sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami
   telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
   lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling
   menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan
   masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
   mereka kumpulkan.
 
Setiap anggota masyarakat dituntut  untuk  fastabiqul  khairat
(berlomba-lombalah  di  dalam  kebajikan)  (QS Al-Baqarah [2]:
148).  Setiap  perlombaan  menjanjikan   "hadiah".   Di   sini
hadiahnya    adalah   mendapatkan   keistimewaan   bagi   yang
berprestasi.  Tentu  akan  tidak  adil  jika   peserta   lomba
dibedakan  atau  tidak  diberi  kesempatan  yang sama. Tetapi,
tidak adil juga bila setelah  berlomba  dengan  prestasi  yang
berbeda,  hadiahnya  dipersamakan,  sebab  akal  maupun  agama
menolak hal ini.
 
   Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak
   berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang
   berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.
   Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan
   harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk
   (tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan
   kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan
   baik... (QS Al-Nisa' [4]: 95).
   
   Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang
   yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar [39]: 9).
 
----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team