Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

HARI AKHIRAT                                             (2/4)
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
 
Pertama, dalam surat Ya Sin (36): 78-83 Allah berfirman,
 
   Dan dia (manusia durhaka) membuat perumpamaan bagi
   kami dan dia lupa kepada kejadiannya. Dia berkata,
   "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang
   telah hancur luluh?" Katakanlah (hai Muhammad), "Ia
   akan dihidupkan oleh yang menciptakannya kali yang
   pertama (Allah). Dia Maha Mengetahui tentang segala
   makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari
   kayu yang hijau; maka tiba-tiba kamu nyalakan (api)
   dari kayu itu (memperoleh bahan bakar darinya). Dan
   tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
   berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan itu?
   Benar. Dia berkuasa dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha
   Mengetahui. "Sesungguhnya keadaannya apabila Dia
   menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya,
   "Jadilah," maka terjadilah ia. Mahasuci Dia yang di
   tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan
   kepadaNyalah kamu dikembalikan.
 
Mari kita dengar  uraian  filosof  Muslim,  Al-Kindi,  tentang
kandungan  ayat tersebut, sebagaimana dikutip oleh Abdul-Halim
Mahmud dalam bukunya At-Tafkir Al-Falsafi Al-Islam (hlm.  73).
Menurut Al-Kindi:
 
Ayat ini menegaskan bahwa:
 
(a)Keberadaan kembali sesuatu setelah kepunahannya adalah
   bisa atau mungkin. Karena menghimpun sesuatu yang telah
   berpisah-pisah atau mengadakan sesuatu yang tadinya belum
   pernah ada, lebih mudah daripada mewujudkannya pertama kali.
   Meskipun demikian, bagi Allah tidak ada istilah "lebih mudah
   atau lebih sulit". Hakikat ini diungkapkan oleh ayat di atas
   ketika menyatakan: Katakanlah bahwa ia akan dihidupkan oleh
   yang menciptakannya kalipertama.
   
(b)Kehadiran atau wujud sesuatu dari sumber yang berlawanan
   dengannya bisa terjadi, sebagaimana terciptanya api dari daun
   hijau (yang mengandung air). Ini diinformasikan oleh ayat yang
   berbunyi: Yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau.
   
(c)Menciptakan manusia dan menghidupkannya setelah
   kematiannya, (lebih mudah bagi Allah) daripada menciptakan
   alam raya yang sebelumnya tidak pernah ada. Ini dipahami dari
   firman-Nya: Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan
   bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?
   
(d)Untuk menciptakan dan atau melakukan sesuatu, betapa pun
   besar dan agungnya ciptaan itu, bagi Tuhan tidak diperlukan
   adanya waktu atau materi. Ini jelas berbeda dengan makhluk
   yang selalu membutuhkan keduanya. Hal ini bisa dipahami dari
   firman-Nya: Jadilah, maka terjadilah ia.
 
   Manusia mana yang mampu dengan fasafah manusia,
   menghimpun (informasi) dalam ucapan sebanyak
   huruf-huruf ayat diatas, sebagaimana yang telah
   dthimpun oleh Allah untuk Rasul-Nya Saw.
 
Demikian komentar filosof Al-Kindi tentang ayat-ayat di atas.
 
Kedua,  lihat  misalnya  surat   Al-Isra'   yang   menguraikan
bagaimana  pembuktian  tentang  kepastian  hari  kiamat  -pada
akhirnya ditemukan sendiri  melalui  tuntunan  Al-Quran-  oleh
mereka  yang  tadinya  meragukannya.  Gaya  ini digunakan oleh
Al-Quran agar manusia merasa  bahwa  ia  ikut  berperan  dalam
menemukan   satu  kebenaran  dan  dengan  demikian  ia  merasa
memilikinya serta bertanggung jawab untuk mempertahankannya.
 
   (Mereka bertanya), "Apakah bila kami telah menjadi
   tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, masih
   dapat dibangkitkan kembali sebagai makhluk-makhluk
   yang baru?" Katakanlah, "Jadilah kalian batu, atau
   besi, atau apa saja yang menuntut pikiran kalian lebih
   mustahil untuk diciptakan kembali." Maka mereka akan
   bertanya, "Siapakah yang akan menghidupkan kami
   kembali?" Katakanlah, "Yang telah menciptakan kamu
   pada kali pertama." Lalu mereka akan
   menggeng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata,
   "Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah, "Boleh jadi
   (dalam waktu) dekat" (QS Al-Isra' [17]: 49-51).
 
Al-Quran -yang bermaksud  melibatkan  manusia  dalam  penemuan
keyakinan   tentang   hari  kebangkitan  ini-  tidak  menjawab
pertanyaan kaum musyrik tadi degan "ya" atau "tidak".  Tetapi,
diajukan-Nya  suatu  problem  baru  yang belum terlintas dalam
benak si penanya, yaitu dengan pernyataan  yang  diperintahkan
kepada  Nabi  Saw.  untuk disampaikan seperti terbaca di atas.
Seakan-akan  penggalan  kata  tersebut  berbunyi,   "Bagaimana
seandainya   setelah   kematian  nanti  kalian  bukan  menjadi
tulang-belulang yang pernah mengalami hidup,  tetapi  batu-batu
atau  besi-besi  atau  makhluk apa saja yang sama sekali belum
pernah mengalami 'hidup' dan  menurut  kalian  lebih  mustahil
untuk dihidupkan?" Pada saat itu Al-Quran mengajak akal mereka
mengajukan pertanyaan yang  mereka  ajukan  semula,  "Siapakah
yang  akan menghidupkan itu semua kembali?" Jawabannya adalah,
"Dia  yang  pertama  kali  mewujudkannya  sebelum  tadinya  ia
tiada."  Bukankah  mewujudkan  sesuatu  yang  pernah mengalami
"hidup" lebih mudah daripada  mewujudkan  sesuatu  yang  belum
pernah berwujud sama sekali.
 
Di  sini terlihat bahwa problem yang mereka ajukan sudah tidak
berarti sama sekali. Bahkan "akal" mereka sendiri kelihatannya
telah    menyadari   kelemahan   argumen   merreka,   sehingga
menimbulkan pertanyaan baru.
 
Ketiga,  bertitik  tolak  dan  hakikat  di  atas,   seringkali
Al-Quran  menganalogikan hari kebangkitan dengan keadaan hujan
yang menimpa tanah yang gersang. Surat Al-Hajj menyeru seluruh
manusia:
 
   Wahai seluruh manusia, kalau kamu sekalian meragukan
   hari kebangkitan, maka (sadarilah bahwa) Kami
   menciptakan kamu dari tanah, kemudian nuthfah,
   kemudian 'alaqah, kemudian mudhgah (sekerat daging)
   yang sempurna penciptaannya atau tidak sempurna
   penciptaannya, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
   tetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai
   waktu yang telah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan
   kamu sebagai bayi, dan (secara berangsur-angsur) kamu
   sampai kepada (usia) kedewasaan. Di antara kamu ada
   yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan usianya
   sampai pikun, supaya (sehingga) dia tidak mengetahui
   lagi apa yang tadinya telah diketahui. Dan kamu lihat
   bumi itu tandus/mati, kemudian apabila Kami turunkan
   air (hujan) di atasnya hiduplah bumi itu dan suburlah
   ia serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
   yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya
   Allah adalah Yang Hak, Dia yang menghidupkan yang
   mati, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan hari
   kiamat pasti datang. Tidak ada keraguan atasnya dan
   Allah membangkitkan semua yang dikubur (QS Al-Hajj
   [22]: 5-7).
 
Manusia berasal dari tanah; bukankah makanannya  berasal  dari
tumbuhan-tumbuhan   dan   binatang   yang   memakan  apa  yang
terbentang  di  bumi  Allah?  Makanan  tersebut  diolah   oleh
tubuhnya,  sehingga  menghasilkan sperma. Pertemuan sperma dan
ovum menghasilkan 'alaqah' sesuatu yang bergantung di  dinding
rahim.   Kemudian   ini   melalui   tahap-tahap  seperti  yang
dikemukakan di atas, sehingga akhirnya manusia  mati  terkubur
di  bawah  tanah  atau menjadi tanah lagi. Nah apakah mustahil
yang kini menjadi tanah, hidup  lagi  dengan  kehidupan  baru?
Bukankah  sebelumnya  ia  pun  berasal  dari  tanah?  Bukankah
sehari-hari terlihat pula tanah yang gersang setelah  dicurahi
hujan  -ditumbuhi pepohonan yang hijau? Kalau demikian mengapa
meragukan kebangkitan? Demikian lebih kurang  peringatan  ayat
di atas.
 
Keempat,   kematian   sama  dengan  tidur.  Begitu  pernyataan
Al-Quran.
 
   Allah yang memegang jiwa (orang) saat kematiannya, dan
   (memegang) yang belum mati pada saat tidurnya. Maka
   Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
   kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa yang lain (yang
   tidur dengan membangunkannya) sampai waktu yang Dia
   tentukan ... (QS Al-Zumar [39]: 42).
 
Untuk membuktikan adanya  kebangkitan,  Al-Quran  menceritakan
apa  yang dilakukan Allah terhadap seorang yang mempertanyakan
tentang  "bagaimana  kebangkitan".  Maka  ditidurkannya   yang
bersangkutan   selama   seratus   tahun,  dan  Dia  menjadikan
makanannya  tetap  utuh  tidak  rusak,  sedangkan   keledainya
menjadi tulang-belulang. (Baca QS Al-Baqarah [2]: 259)
 
Bahkan   sekelompok   pemuda   yang   beriman  -yang  terpaksa
berlindung ke sebuah gua karena  khawatir  kekejaman  penguasa
masanya-ditidurkan  selama  tiga  ratus  tahun lebih, kemudian
dibangunkan kembali oleh Allah. Kisah mereka diuraikan  secara
panjang  lebar  dalam surat Al-Kahf (18): 9-26 dan bekas-bekas
peninggalan  mereka  berupa  gua  tempat  persembunyian  telah
ditemukan  beberapa  kilometer dari kota Amman, Yordania. Kini
gua  itu  menjadi  salah  satu  objek  yang  dikunjungi   para
wisatawan dan peziarah.
 
Demikian  sedikit  dari dalil dan bukti-bukti yang dikemukakan
Al-Quran   untuk   menyingkirkan   keraguan    tentang    hari
kebangkitan.
 
KEHIDUPAN DI ALAM BARZAKH
 
Al-Quran  tidak  hanya  menjelaskan tentang hari akhir, tetapi
juga   memberikan   sekian   banyak    informasi    menyangkut
kejadian-kejadian   saat   kematian.  kehidupan  barzakh,  dan
peristiwa-peristiwa  sesudahnya.  Dengan  kematian,  seseorang
beranjak  untuk  memasuki  saat pertama dari hari akhir. Dalam
sebuah riwayat dinyatakan bahwa:
 
   Siapa yang meninggal, maka kiamatnya telah bangkit.
 
Kiamat ini dinamai "kiamat kecil". Saat itu yang  bersangkutan
dan semua yang meninggal sebelumnya hidup dalam satu alam yang
dinamai "alam barzakh". Mereka semua menanti kedatangan kiamat
besar,   yang  ditandai  dengan  peniupan  sangkakala  pertama
sebagaimana akan diuraikan nanti.
 
   ... sehingga apabila datang kematian kepada seorang di
   antara mereka (yang kafir) ia berkata: "Ya Tuhanku,
   kembalikanlah aku, agar aku berbnat amal saleh
   terhadap yang telah aku tinggalkan." (Allah
   berftrman), "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu
   hanyalah perkatan yang diucapkannya saja. Dan di
   hadapan mereka ada barzakh (pemisah) sampai hari
   mereka dibangkitkan" (QS Al-Mu'minun [23]: 99-100).
 
Dari segi bahasa,  "barzakh"  berarti  "pemisah".  Para  ulama
mengartikan  alam  barzakh  sebagai  "periode antara kehidupan
dunia dan akhirat". Keberadaan di sana memungkinkan  seseorang
untuk  melihat  kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan di sana
bagaikan keberadaan dalam suatu ruangan terpisah yang  terbuat
dari  kaca.  Ke depan penghuninya dapat melihat hari kemudian,
sedangkan ke belakang mereka melihat kita yang hidup di pentas
bumi ini.
 
Al-Quran  melukiskan  keadaan  orang-orang  kafir  ketika  itu
dengan firman-Nya:
 
   ... Fir'aun beserta kaum (pengikut)-nya dikepung oleh
   siksa yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan
   neraka pada pagi dan petang. Dan (nanti) pada hari
   terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat):
   "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang
   sangat keras" (QS Al-Mu'min [40]: 45-46).
 
Para syuhada ketika itu dilukiskan  sebagai  orang-orang  yang
hidup dan mendapatkan rezeki.
 
   Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
   yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati.
   Sebenamya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
   menyadarinya (QS Al-Baqarah [2]: 154).
   
   Jangan sekali-kali menduga yang gugur di jalan Allah
   adalah orang-orang mati. Sebenarnya mereka hidup di
   sisi Tuhan mereka dan mereka memperoleh rezeki (QS Ali
   'Imran [3]: 169).
 
Sementara orang memahami "ketidakmatian atau kehidupan mereka"
dalam  arti  keharuman  dan  kelanggengan nama mereka di dunia
ini. Kalau demikian, mengapa surat Al-Baqarah [2]: 154 di atas
menyatakan   "tetapi   kamu   tidak   menyadarinya"?  Bukankah
keharuman nama  itu  kita  sadari?  Kemudian  apakah  ganjaran
"kekekalan  nama"  ini  merupakan suatu keistimewaan? Bukankah
ada yang gugur  dan  dikenal  namanya  secara  harum,  padahal
hakikatnya  ia  tidak  dinilai  Allah  sebagai  syuhada karena
kematiannya  bukan  fi  sabilillah?  Apakah  dengan   demikian
dipersamakan  antara  yang  baik dan yang buruk? Di sisi lain,
bagaimana pula halnya dengan para syuhada yang  tidak  dikenal
dan alangkah banyaknya mereka. Bukankah Allah menyatakan bahwa
mereka hidup dan mendapat rezeki? Kalau  demikian  apa  rezeki
mereka   yang   tidak   dikenal   itu?   Apakah  mereka  tidak
mendapatkannya? Kalau demikian di mana keadilan Ilahi?
 
Cukup banyak ayat yang dapat dijadikan titik pijak bagi adanya
apa  yang  dinamai kehidupan di alam barzakh. Bacalah misalnya
surat  Al-Baqarah  (2):  28,  Al-Mu'min  (40):  11,  dan  lain
sebagainya.  Memang  ada juga yang berpegang pada surat Ya Sin
[36]: 52  yang  menceritakan  ucapan  orang-orang  kafir  saat
ditiupnya sangkakala pertama yaitu:
 
   Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari
   tempat tidur kami?
 
Mereka menyatakan bahwa ayat ini menginformasikan  bahwa  kaum
kafir ketika itu merasa diri mereka tidur dan terhentak bangun
dengan  tiupan  sangkakala.  Jadi,  dalih  mereka  selanjutnya
adalah  "Kalau memang mereka tidur dan terhentak dengan tiupan
sangkakala, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa ada kehidupan
di alam barzakh? Atau ada siksa dan nikmat kubur?"
 
Hemat   penulis,  pandangan  ini  bisa  dipertimbangkan  untuk
diterima  jika   ayat   tersebut   berkata:   "Siapakah   yang
membangkitkan kami dari tidur kami?" Tetapi, redaksinya adalah
"dari tempat tidur kami"  yakni  kubur.  Di  sisi  lain  harus
dipahami  bahwa  kubur yang dimaksud di sini bukannya sebidang
tanah tempat jasad mereka dikuburkan, tetapi  satu  alam  yang
kita  tidak tahu persis bagaimana keadaannya. Kalaulah ayat di
atas dianggap "tidak jelas maknanya"  atau  yang  diistilahkan
oleh  para  ulama  dengan mutasyabih, maka ayat-ayat lain yang
maknanya cukup jelas (muhkam) seperti sekian banyak ayat  yang
telah  disinggung  sebelum  ini  -dapat  menjadi patokan untuk
memahaminya.
 
Hadis-hadis Nabi pun -dengan  kualitas  yang  beraneka  ragam-
amat banyak yang berbicara tentang alam barzakh, sehingga amat
riskan  untuk  menolak  keberadaan  alam  itu   hanya   dengan
menggunakan  satu atau dua ayat yang sepintas terlihat berbeda
dengan keterangan-keterangan tersebut. Ketika putra Nabi  yang
bernama Ibrahim meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda:
 
   Sesungguhnya ada yang menyusukannya di surga (HR
   Bukhari).
 
Imam Ahmad ibn Hanbal, Ath-Thabarani, Ibnu Abi  Ad-Dunya,  dan
Ibnu   Majah  meriwayatkan  melalui  sahabat  Nabi,  Abu  Said
Al-Khudri, bahwa Nabi Saw. bersabda:
 
   Sesungguhnya yang meninggal mengetahui siapa yang
   memandikannya, yang mengangkatnya, yang mengafaninya,
   dan siapa yang menurunkannya ke kubur.
 
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa,
 
   Apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka
   diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang tempat
   tinggalnya (kelak di hari kiamat). Kalau dia penghuni
   surga, maka diperlihatkan kepadanya (tempat) penghuni
   surga; dan kalau penghuni neraka, maka diperlihatkan
   (tempat) penghuni neraka. Disampaikan kepadanya bahwa
   inilah tempatmu sampai Allah membangkitkanmu ke sana
   (HR Bukhari).
 
----------------                              (bersambung 3/4)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team