Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

HARI AKHIRAT                                             (4/4)
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
 
Betapapun,  pada  akhirnya  hanya  ada  dua tempat, surga atau
neraka. Pembahasan tentang surga dan neraka,  kita  tangguhkan
sampai  dengan  kesempatan lain. Ini disebabkan karena luasnya
jangkauan ayat-ayat Al-Quran yang membicarakannya. Bukan  saja
uraian  tentang  aneka  kenikmatan dan siksanya, tetapi sampai
kepada rincian peristiwa-peristiwa yang  digambarkan  Al-Quran
menyangkut perorangan atau kelompok, dan lain sebagainya.
 
KAPAN HARI AKHIR TIBA?
 
Al-Quran  -demikian juga hadis-hadis Nabi Saw.- yang berbicara
panjang lebar tentang hari  akhir  dari  bermacam-macam  aspek
itu,    tidak    membicarakan   sedikit   pun   tentang   masa
kedatangannya. Bahkan secara tegas dalam berbagai  ayat  serta
hadis  dinyatakan  bahwa  tidak  seorang  pun mengetahui kapan
kehadirannya.
 
   Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang
   hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka)
   dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah
   dikembalikan kesudahan (ketentuan waktunya) (QS
   Al-Nazi'at [79]: 42-44).
 
Sekian banyak ayat  Al-Quran  yang  mengandung  makna  serupa,
demikian pula hadis-hadis Nabi Saw. menginformasikannya.
 
Dalam  sebuah  hadis  dinyatakan  bahwa malaikat Jibril pernah
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. -dalam rangka mengajar umat
Islam- "Kapan hari kiamat?" Nabi Saw. menjawab: "Tidaklah yang
ditanya tentang hal itu lebih mengetabui dari yang  bertanya."
(Diriwayatkan  oleh  Muslim  melalui  sahabat  Nabi  Umar  bin
Khaththab).
 
Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa  kedatangannya
tidak lama lagi. Misalnya surat Al-Isra' ( 17): 51,
 
   "Kapankah itu (hari kiamat)?"
 
Demikian tanya kaum musyrik. Lalu Nabi Saw. diperintahkan oleh
Allah untuk menjawab:
 
   Katakanlah, "Boleh jadi ia dekat."
 
Surat Al-Qamar (54): 1 juga menyatakan bahwa:
 
   Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.
 
Dan surat Al-Anbiya' (21): 1, menyatakan:
 
   Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat)
   sedangkan mereka berada dalam kelalaian, lagi
   berpaling (darinya).
 
Nabi Saw. juga bersabda:
 
   Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku
   dengan) hari kiamat adalah seperti ini (sambil
   menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk
   dan tengah). (Diriwayatkan oleh Muslim melalui Jabir
   bin Abdillah).
 
Apakah hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan kedekatan  hari
akhirat  dari  segi waktu? Boleh jadi. Tetapi ketika itu tidak
dapat dipahami bahwa kedekatan itu  hanya  dalam  arti  besok,
seribu  atau  sepuluh  ribu tahun ke depan. Kedekatannya boleh
jadi juga jika  dibandingkan  dengan  umur  dunia  yang  telah
berlalu  sekian ratus juta tahun. Tetapi boleh jadi juga hadis
dan ayat-ayat tersebut tidak menginformasikan kedekatan  dalam
arti waktu.
 
Bila  kita cermati tentang kapan hari akhir tiba, maka jawaban
yang diperintahkan kepada Nabi  Saw.  untuk  diucapkan  adalah
"Boleh  jadi  ia  dekat."  Di  sisi  lain,  ayat  Al-Qamar dan
Al-Anbiya' di atas, yang menggunakan bentuk  kata  kerja  masa
lampau  untuk  satu  peristiwa kiamat yang belum lagi terjadi,
mengandung makna kepastian sehingga kedekatan  dalam  hal  ini
dipahami dalam arti "pasti kedatangannya". Karena "segala yang
akan datang adalah dekat, dan segala yang  telah  berlalu  dan
tidak kembali adalah jauh."
 
Agaknya   informasi  Al-Quran  tentang  kedekatan  ini,  lebih
dimaksudkan untuk menjadikan manusia  selalu  siap  menghadapi
kehadirannya.  Karena  itu pula, tidak satu atau dua ayat yang
menegaskan  bahwa  kedatangannya  sangat  tiba-tiba,   seperti
misalnya firman berikut:
 
   Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah
   yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada
   mereka secara tiba-tiba sedangkan mereka tidak
   menghindarinya? (QS Yusuf [ 12]: 107).
 
Di sisi lain, ditemukan  bahwa  yang  bertanya  tentang  waktu
kedatangannya adalah orang-orang musyrik, bukan orang beriman.
 
   Orang-orang yang tidak beriman menyangkut hari kiamat,
   meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan
   orang-orang yang beriman merasa takut akan
   kedatangannya Mereka yakin bahwa kiamat adalah benar
   (akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang
   membantah tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam
   kesesatan yang jauh (QS Al-Syura [42]: 18).
 
Ketakutan tentang hari kiamat  akan  mengantarkan  orang  yang
percaya  untuk  berbuat sebanyak mungkin amal ibadah, sehingga
mereka dapat menggapai kebahagiaan abadi di sana.
 
BUAH KEPERCAYAAN TENTANG HARI KEBANGKITAN
 
Al-Quran menghendaki agar keyakinan  akan  adanya  hari  akhir
mengantar  manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif
dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak  menghasilkan
keuntungan  materi  dalam kehidupan dunianya. Salah satu surat
yang berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107).
 
Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun
berkenaan  dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu
menyembelih seekor unta.  Suatu  ketika,  seorang  anak  yatim
datang  kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih
itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.
 
Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan:
 
   Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?
 
Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer,  diartikan
dengan  agama,  tetapi  ad-din  dapat juga berarti pembalasan.
Dengan  demikian  yukadzdzibu  biddin   dapat   pula   berarti
mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir
ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan  bahwa  Al-Quran
bila  menggandengkan  kata  ad-din  dengan  yukadzdzibu,  maka
konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan
surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.
 
Kemudian,  kalau  kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap
mereka yang enggan  membantu  anak  yatim  atau  orang  miskin
karena   menduga   bahwa   bantuannya   kepada   mereka  tidak
menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa  pada  hakikatnya
sikap  mereka  itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya
akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya  meyakini
bahwa  kalaulah  bantuan  yang diberikannya tidak menghasilkan
sesuatu  di  dunia,   maka   pasti   ganjaran   atau   balasan
perbuatannya  akan  diperoleh  di akhirat kelak? Bukankah yang
percaya   hari   kemudian   meyakini   bahwa    Allah    tidak
menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?
 
Seseorang   yarlg  kehidupannya  dikuasai  oleh  kekinian  dan
kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang  berada
di  depan  sana.  Sikap  demikian  merupakan pengingkaran atau
pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama",  lebih-lebih  lagi
dalam arti hari kemudian.
 
Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib
di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau  malaikat
tetapi  ia  berkaitan  dengan banyak hal, termasuk janji-janji
Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada  setiap  orang  yang
memberi  bantuan.  Kepercayaan  ini  mengantarkannya  meyakini
janji  Ilahi  itu,  melebihi  keyakinannya  menyangkut  segala
sesuatu  yang  didasari  oleh  perhitungan-perhitungan akalnya
semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan
bahwa    "sikap    yang    akan   diambilnya   merugikan/tidak
menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya
untuk   melakukannya   karena  yang  demikian  sejalan  dengan
keyakinannya itu.
 
   "Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda
   daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan
   sendiri."
 
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama  surat  Al-Ma'un  ini
mengajak  manusia  untuk  menyadari  salah  satu  bukti  utama
kesadaran beragama atau kesadaran  berkeyakinan  tentang  hari
akhir,  yang  tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah,
kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
 
Surat Al-Ma'un  yang  terdiri  dari  tujuh  ayat  pendek  ini,
berbicara  tentang  suatu hakikat yang sangat penting, di mana
terlihat secara tegas  dan  jelas  bahwa  ajaran  Islam  tidak
memisahkan    upacara   ritual   dan   ibadah   sosial,   atau
membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana
tergambar  dalam  ayat  di atas -menekankan bahwa ibadah dalam
pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi
sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka
pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
 
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
 
Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa  yang  mendustakan
agama/hari   kemudian   yang   dikemukakan  dalam  surat  ini)
mengagetkan jika dibandingkan dengan  pengertian  iman  secara
tradisional.  Tetapi,  yang demikian itulah inti persoalan dan
hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya  ucapan  dengan
lidah,  tetapi  ia  adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong
kepada  kebaikan  dan   kebajikan   terhadap   saudara-saudara
sekemanusiaan,  terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan
perlindungan.   Allah   tidak   menghendaki    dari    manusia
kalimat-kalimat  yang  dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya
adalah  karya-karya  nyata,  yang  membenarkan  (kalimat  yang
diucapkan  itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak
berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.
 
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
 
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang  hukum  sekitar
batas-batas  iman  dan Islam, karena batasan-batasan para ahli
itu, berkaitan dengan interaksi  sosial  keagamaan.  Sedangkan
surat  ini  (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut
pandang dan penilaian  Ilahi,  yang  tentunya  berbeda  dengan
kenyataan-kenyataan  lahiriah  yang menjadi landasan penilaian
interaksi antarmanusia.
 
Demikian surat ini menjelaskan hakikat  dan  buah  kepercayaan
tentang hari akhir.
 
Akhirnya  perlu  digarisbawahi  bahwa  perhatian Al-Quran yang
sedemikian besar  menyangkut  persoalan  hari  akhir,  membawa
berbagai  dampak  di  kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof.
Antara lain berupa kegiatan diskusi  yang  menyita  waktu  dan
energi  mereka,  khususnya  detail kebangkitan tersebut apakah
kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
 
Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang  Muslim
dituntut  oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan
setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi
dirinya  secara  sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut
-apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang  pokok
adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak
kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.
 
Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan,  bentuk,  waktu
dan  tempatnya,  maka  kesemua hal ini berada di luar tuntunan
agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan  para  filosof
dan  ulama  tentang  soal  tersebut lebih banyak didorong oleh
kepentingan  kepuasan   penalaran   akal   daripada   dorongan
kehangatan iman.
 
Wa Allahu 'Alam. []
 
Catatan kaki:
 
 1 Ada tiga kemungkinan yang dapat tergambar dalam benak bagi
   sesuatu. Pertama, mustahil wujudnya, misalnya tiga lebih
   banyak dari lima. Kedua, mungkin (boleh jadi), misalnya Si A
   kaya atau miskin, hidup atau mati. Dan ketiga, pasti wujudnya,
   itulah Allah Swt., yang mustahil tergambar dalam benak kita
   tentang ketiadaan-Nya.
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team