Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

AKHLAK                                                   (1/3)
 
Dalam Kamus Besar  Bahasa  Indonesia,  kata  akhlak  diartikan
sebagai  budi  pekerti  atau  kelakuan.  Kata  akhlak walaupun
terambil dari  bahasa  Arab  (yang  biasa  berartikan  tabiat,
perangai  kebiasaan,  bahkan  agama),  namun  kata seperti itu
tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk
tunggal  kata  tersebut  yaitu  khuluq  yang  tercantum  dalam
Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai  sebagai
konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
 
     Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi
     pekerti yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4).
 
Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis  Nabi  Saw.,
dan salah satunya yang paling populer adalah,
 
     Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
     mulia
 
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di  atas,  yakni  akhlak
sebagai  kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak
atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa  firman  Allah
berikut  ini  dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman
tersebut.
 
     Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat
     beragam (QS Al-Lail [92]: 4).
 
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau  dari  berbagai  sudut,
antara  lain  nilai  kelakuan  yang  berkaitan dengan baik dan
buruk, serta dari objeknya, yakni kepada  siapa  kelakuan  itu
ditujukan.
 
BAIK DAN BURUK
 
Para  filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan
buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni  apakah
kelakuan  itu  merupakan  hasil pilihan atau perbuatan manusia
sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?
 
Tulisan ini tidak  akan  mengarungi  samudera  pemikiran  yang
dalam lagi sering menenggelamkan itu, namun kita dapat berkata
bahwa secara nyata terlihat  dan  sekaligus  kita  akui  bahwa
terdapat  manusia  yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya.
Ini berarti bahwa manusia  memiliki  kedua  potensi  tersebut.
Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan
hal hakikat ini, antara lain:
 
     Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya
     (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS
     Al-Balad [90]: 10).
 
     ...dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya,
     maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan
     ketakwaan (QS Asy-Syams [91]: 7-8).
 
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia,  namun
ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih
dahulu menghiasi diri manusia daripada  kejahatan,  dan  bahwa
manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
 
Al-Quran   surat  Thaha  (20):  121  menguraikan  bahwa  Iblis
menggoda Adam sehingga,
 
     ... durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.
 
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis,  Adam
tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk,
dan bahwa akibat godaan itu,  ia  menjadi  tersesat.  Walaupun
kemudian  Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi
pada kesuciannya.
 
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari  persamaan
konsep-konsep  pokok  moral  pada  setiap peradaban dan zaman.
Perbedaan --jika terjadi-- terletak  pada  bentuk,  penerapan,
atau  pengertian  yang  tidak  sempurna terhadap konsep-konsep
moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa  Al-Quran.  Tidak  ada
peradaban  yang  menganggap  baik  kebohongan,  penipuan, atau
keangkuhan.  Pun  tidak  ada  manusia   yang   menilai   bahwa
penghormatan  kepada  kedua  orang-tua  adalah  buruk. Tetapi,
bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi  cara
penghormatan   kepada   keduanya   berbeda-beda   antara  satu
masyarakat  pada  generasi  tertentu  dengan  masyarakat  pada
generasi  yang  lain.  Perbedaan-perbedaan  itu selama dinilai
baik oleh masyarakat dan masih dalam  kerangka  prinsip  umum,
maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf).
 
Kembali   kepada   persoalan  kecenderungan  manusia  terhadap
kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir,
hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:
 
     Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah),
     hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang
     menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR
     Bukhari).
 
Seorang  sahabat  Nabi  Saw.  bernama  Wabishah   bin   Ma'bad
berkunjung  kepada  Nabi  Saw.,  lalu beliau menyapanya dengan
bersabda:
 
     "Engkau datang menanyakan kebaikan?" "Benar, wahai
     Rasul," jawab Wabishah. "Tanyailah hatimu! "Kebajikan
     adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang
     tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang
     mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun
     setelah orang memberimu fatwa." (HR Ahmad dan
     Ad-Darimi).
 
Dengan demikian menjadi amat wajar  jika  ditemukan  ayat-ayat
Al-Quran  yang  mengisyaratkan  bahwa  manusia pada hakikatnya
--setidaknya pada awal masa perkembangan--  tidak  akan  sulit
melakukan   kebajikan,   berbeda   halnya   dengan   melakukan
keburukan.
 
Salah satu frase dalam surat Al-Baqarah ayat 286 menyatakan,
 
     Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang
     dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang
     dilakukannya
 
Oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan  sebagai  bukti
apa  yang  disebut  di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat
bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama
adalah  terjemahan  dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan
kata iktasabat.
 
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir  Al-Manar  menyatakan  kata
iktasabat,  dan  semua  kata  yang berpatron demikian, memberi
arti adanya  semacam  upaya  sungguh-sungguh  dari  pelakunya,
berbeda  dengan  kasabat  yang  berarti dilakukan dengan mudah
tanpa  pemaksaan.  Dalam  ayat  di  atas,  perbuatan-perbuatan
manusia  yang  buruk  dinyatakan  dengan  iktasabat, sedangkan
perbuatan yang  baik  dengan  kasabat.  Ini  menandakan  bahwa
fitrah   manusia  pada  dasarnya  cenderung  kepada  kebaikan,
sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya
dengan  keburukan  yang  harus dilakukannya dengan susah payah
dan keterpaksaan (ini tentu pada  saat  fitrah  manusia  masih
berada dalam kesuciannya).
 
Potensi  yang  dimiliki  manusia  untuk melakukan kebaikan dan
keburukan,  serta  kecenderungannya   yang   mendasar   kepada
kebaikan,   seharusnya   mengantarkan  manusia  memperkenankan
perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya  sesuai  dengan
fithrah  (asal  kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum
(30): 30 dinyatakan,
 
     Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
     (Al1ah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan
     manusia menurut fithrah itu.
 
Di  sisi  lain,  karena  kebajikan  merupakan  pilihan   dasar
manusia,  kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban,
sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:
 
     Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah
     engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu
     (QS Al-Isra' [17]: 14).
 
PERTANGGUNGJAWABAN
 
Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia  untuk
memilih  kedua  jalan  yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri
yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya.  Manusia  tidak
boleh  membebani  orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga
dosa orang lain dipikulkan ke  atas  pundaknya.  Tetapi  dalam
Al-Quran  surat  Al-An'am  ayat  164 dinyatakan bahwa tanggung
jawab tersebut baru  dituntut  apabila  memenuhi  syaratsyarat
tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.
 
     Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
     orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami
     mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15).
 
     Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
     kemampuannya... (QS Al-Baqarah [2]: 286)
 
Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik paling  tidak
dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
 
  1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan
     apa yang tidak diketahui atau tidak mampu
     dilakukannya.
 
  2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa
     yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut
     diketahuinya.
 
Di  sisi  lain,  ditemukan  ayat-ayat  yang  menegaskan  bahwa
pertanggungjawaban  tersebut  berkaitan  dengan perbuatan yang
disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak.
 
Al-Quran secara tegas menyatakan:
 
     Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas
     sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia
     akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang
     disengaja oleh hatimu... (QS Al-Baqarah [2]: 225).
 
     ...tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak
     menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka
     tidak ada dosa baginya... (QS Al-Baqarah [2]: 173).
 
Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi  kemampuan
untuk  memilih,  maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat
dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat  dan  kehendak
seseorang  mempunyai  peran yang sangat besar dalam nilai amal
sekaligus dalam pertanggungjawabannya.
 
     Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia
     beriman, dia mendapatkan kemurkaan Allah, kecuali
     orang-orang yang dipaksa kafir sedang hatinya tetap
     tenang dalam keimanan... (QS An-Nahl [16]: 106) .
 
Al-Quran surat Al-Isra ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang
anak agar menghormati kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia
mereka sudah tua (karena ketika telah uzur boleh  jadi  mereka
melakukan  hal-hal  yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata
uf (cis),  dan  harus  memilih  kata-kata  yang  baik,  sambil
merendahkan  diri  kepada  keduanya.  Ayat  ini disusul dengan
firman-Nya:
 
     Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika
     seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan
     memaaafkan sikap dan ke1akuan yang telah kamu lakukan
     dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di
     luar kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha
     Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra'
     [17]: 25).
 
TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK
 
Tolok ukur kelakuan baik dan  buruk  mestilah  merujuk  kepada
ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan
ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa  yang  dinilai  baik  oleh
Allah,  pasti  baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin Dia menilai kebohongan  sebagai  kelakuan  baik,
karena kebohongan esensinya buruk.
 
Di  sisi  lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia
memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat  Thaha
(20): 8 menegaskan:
 
     (Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai
     Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QS
     Thaha [20]: 8).
 
Rasulullah  Saw.  juga  memerintahkan  umatnya  agar  berusaha
sekuat   kemampuan  dan  kapasitasnya  sebagai  makhluk  untuk
meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya,
 
     Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
 
----------------                              (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team