Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

JIHAD                                                    (1/2)
 
Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap
manusia.
 
     Allah mengilhami jiwa manusia dengan kedurhakaan dan
     ketakwaan.
 
Begitu firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 8, yang artinya
diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan.
 
Seperti  itu  jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri
dari    banyak    individu.    Keburukan    mendorong     pada
kesewenang-wenangan,  sedangkan  kebajikan  mengantarkan  pada
keharmonisan.  Saat  terjadi  kesewenang-wenangan,   kebajikan
berseru   dan   merintih   untuk   mencegahnya.  Dari  sanalah
perjuangan,  baik  di  tingkat  individu  maupun  di   tingkat
masyarakat dan negara. Demikian itulah ketetapan ilahi.
 
     Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala
     yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.
     Sekiranya hendak membuat suatu permainan, tentulah
     Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki
     berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya).
     Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang
     batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan
     serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagi
     kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak).
     (QS Al-Anbiya' [21]: 16-18)
 
Islam datang membawa  nilai-nilai  kebaikan  dan  menganjurkan
manusia  agar  menghiasi  diri  dengannya, serta memerintahkan
manusia agar memperjuangkannya hingga  mengalahkan  kebatilan.
Atau  seperti  bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada
yang batil hingga mampu menghancurkannya.  Tapi  hal  itu  tak
dapat    terlaksana   dengan   sendirinya,   kecuali   melalui
perjuangan.  Bumi   adalah   gelanggang   perjuangan   (jihad)
menghadapi   musuh.  Karena  itu,  al-jihad  madhin  ila  yaum
al-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat).
 
Istilah Al-Quran  untuk  menunjukkan  perjuangan  adalah  kata
jihad.   Sayangnya,  istilah  ini  sering  disalahpahami  atau
dipersempit artinya.
 
MAKNA JIHAD
 
Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat  puluh  satu
kali  dengan berbagai bentuknya. Menurut ibnu Faris (w. 395 H)
dalam bukunya Mu'jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang
terdiri   dari  huruf  j-h-d,  pada  awalnya  mengandung  arti
kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya."
 
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti "letih/sukar."
Jihad  memang  sulit  dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad berasal dari  akar  kata  "juhd"  yang
berarti  "kemampuan". Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan
harus  dilakukan  sebesar  kemampuan.  Dari  kata  yang   sama
tersusun  ucapan  "jahida  bir-rajul"  yang artinya "seseorang
sedang mengalami ujian". Terlihat bahwa  kata  ini  mengandung
makna  ujian  dan  cobaan,  hal yang wajar karena jihad memang
merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.
 
Makna-makna   kebahasaan   dan   maksudnya   di   atas   dapat
dikonfirmasikan  dengan  beberapa ayat Al-Quran yang berbicara
tentang jihad. Firman Allah  berikut  ini  menunjukkan  betapa
jihad merupakan ujian dan cobaan:
 
     Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
     belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara
     kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali
     'Imran [3]: 142).
 
Demikian terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang  ditetapkan
Allah  untuk  menguji  manusia. Tampak pula kaitan yang sangat
erat dengan  kesabaran  sebagai  isyarat  bahwa  jihad  adalah
sesuatu  yang  sulit,  memerlukan  kesabaran  serta ketabahan.
Kesulitan  ujian  atau  cobaan  yang  menuntut  kesabaran  itu
dijelaskan  rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat
214:
 
     Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
     belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang
     dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu?
     Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta
     diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan
     orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah
     datangnya pertolongan Allah?" ingatlah pertolongan
     Allah amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214).
     
     Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu
     dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
     jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
     kepada orang-orang yang bersabar (QS Al-Baqarah [2]:
     155).
 
Jihad juga mengandung  arti  "kemampuan"  yang  menuntut  sang
mujahid   mengeluarkan   segala  daya  dan  kemampuannya  demi
mencapai tujuan. Karena  itu  jihad  adalah  pengorbanan,  dan
dengan  demikian  sang  mujahid  tidak menuntut atau mengambil
tetapi memberi semua yang  dimilikinya.  Ketika  memberi,  dia
tidak   berhenti   sebelum   tujuannya   tercapai   atau  yang
dimilikinya habis.
 
     Orang-orang munafik mencela orang-orang Mukmin yang
     memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga
     orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk
     disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan
     mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah
     akan membalas penghinaan mereka, dan bayi mereka siksa
     yang pedih (QS Al-Tawbah [9]: 79).
     
Jihad merupakan aktivitas yang  unik,  menyeluruh,  dan  tidak
dapat dipersamakan dengan aktivitas lain --sekalipun aktivitas
keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai
dengan  jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat
rayuan  nafsu  yang  selalu  mengajak  pada  kedurhakaan   dan
pengabaian tuntunan agama.
 
     Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
     orang-orang yang melaksanakan haji dan mengurus Masjid
     Al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman
     kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan
     Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak
     memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS Al-Tawbah
     [9]: 19).
     
     Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak,
     saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga, harta
     kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
     khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal
     yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan
     Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
     tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.
     Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
     fasik." (QS Al-Tawbah [9]: 24).
 
Karena itu, seorang Mukmin pastilah mujahid, dan  tidak  perlu
menunggu  izin  atau  restu  untuk  melakukannya.  Ini berbeda
dengan orang munafik. Perhatikan dua ayat berikut:
 
     Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
     kemudian tidak meminta izin kepadamu (Muhammad Saw.)
     untuk berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka.
     Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa (QS
     Al-Tawbah [9]: 44).
     
     Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang)
     bergembira di tempat mereka di belakang Rasul, mereka
     tidak senang untuk berjihad dengan harta dan diri
     mereka di jalan Allah ... (QS Al-Tawbah [9]: 81).
 
Mukmin  adalah  mujahid,  karena  jihad  merupakan  perwujudan
identitas kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan,
 
     Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
     untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya)
     (QS A1-Ankabut [29]: 6).
 
Maka, jangan menduga yang meninggal  di  medan  juang  sebagai
orang-orang  mati, tetapi mereka hidup memperoleh rezekinya di
sisi  Allah  Swt.  (baca  QS  3:  169).  Karena  jihad  adalah
perwujudan  kepribadian,  maka  tidak  dibenarkan adanya jihad
yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila jihad
dipergunakan  untuk  memaksa  berbuat kebatilan, harus ditolak
sekalipun diperintahkan oleh kedua orangtua.
 
     Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad
     (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk
     mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada
     bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu
     telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh
     dipersekutukan dengan sesuatu pun), jangan taati
     mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik
     ... (QS Luqman [31]. 15).
 
Mereka yang berjihad pasti  akan  diberi  petunjuk  dan  jalan
untuk mencapai cita-citanya.
 
     Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan
     Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS
     Al-Ankabut [29]: 69).
 
Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad
harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa,
pujian, apalagi keuntungan  duniawi.  Berulang-ulang  Al-Quran
menegaskan redaksi fi sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran
surat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan:
 
     Berjihad di (jalan) Allah dengan jihad
     sebenar-benarnya.
 
Kesimpulannya, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan.  Jihad
tidak  mengenal  putus  asa,  menyerah,  kelesuan,  tidak pula
pamrih. Tetapi jihad tidak  dapat  dilaksanakan  tanpa  modal,
karena  itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki
dan tujuan yang ingin dicapai.  Sebelum  tujuan  tercapai  dan
selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut.
 
Karena  jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak
mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti  imbalan
selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi
Allah. Jihad menjadi  titik  tolak  seluruh  upaya;  karenanya
jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari upaya
mewujudkan jati diri yang bermula  dari  kesadaran.  Kesadaran
harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaan.
Karena  itu  mujahid  bersedia  berkorban,  dan  tak   mungkin
menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa.
 
MACAM-MACAM JIHAD
 
Seperti   telah   dikemukakan,  terjadi  kesalahpahaman  dalam
memahami istilah jihad. Jihad biasanya  hanya  dipahami  dalam
arti  perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini mungkin
terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada  saat-saat
perjuangan  fisik. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad
adalah perjuangan  fisik/perang,  tetapi  harus  diingat  pula
bahwa  masih  ada  jihad yang lebih besar daripada pertempuran
fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.  ketika  beliau  baru
saja kembali dari medan pertempuran.
 
     Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad
     terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
 
Sejarah  turunnya  ayat-ayat  A1   Quran   membuktikan   bahwa
Rasulullah  Saw.  telah diperintahkan berjihad sejak beliau di
Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata  untuk
membela  diri  dan  agama.  Pertempuran  pertama dalam sejarah
Islam baru  terjadi  pada  tahun  kedua  Hijrah,  tepatnya  17
Ramadhan dengan meletusnya Perang Badr.
 
Surat  Al-Furqan  ayat  52 yang disepakati oleh ulama turun di
Makkah, berbunyi:
 
     Maka jangan kamu taati orang-orang kafir, dan
     berjihadlah melawan mereka menggunakan Al-Quran dengan
     jihad yang besar.
 
Kesalahpahaman itu disuburkan juga oleh terjemahan yang kurang
tepat terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad
dengan anfus dan harta benda. Kata anfus sering  diterjemahkan
sebagai  jiwa  Terjemahan  Departemen  Agama  RI  pun demikian
(lihat  misalnya  ketika  menerjemahkan  QS  8:  72,  49  :15;
walaupun  ada juga yang diterjemahkan dengan diri [QS 9: 88]).
Memang, kata anfus dalam Al-Quran memiliki  banyak  arti.  Ada
yang diartikan sebagai nyawa, di waktu lain sebagai hati, yang
ketiga bermakna jenis, dan ada pula  yang  berarti  "totalitas
manusia" tempat terpadu jiwa dan raganya, serta segala sesuatu
yang tidak dapat terpisah darinya.
 
Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan  Allah
dan  masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Jadi tidak salah
jika kata itu dalam konteks jihad dipahami  sebagai  totalitas
manusia,   sehingga   kata   nafs   mencakup   nyawa,   emosi,
pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan  waktu  dan  tempat  yang
berkaitan  dengannya,  karena  manusia  tidak dapat memisahkan
diri dari kedua hal  itu.  Pengertian  ini,  diperkuat  dengan
adanya   perintah   dalam   Al-Quran   untuk   berjihad  tanpa
menyebutkan nafs atau harta benda  (antara  lain  QS  Al-Hajj:
78).
 
Pakar  Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus A1-Qurannya
Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa  jihad  dan
mujahadah  adalah  mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan
musuh. Jihad terdiri dari tiga  macam:  (1)  menghadapi  musuh
yang  nyata,  (2)  menghadapi  setan, dan (3) menghadapi nafsu
yang terdapat dalam diri masing-masing.  Ketiga  hal  di  atas
menurut Al-Isfahani dicakup oleh Firman Allah:
 
     Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad
     (QS Al-Hajj [22]: 78).
 
     Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang
     berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di
     jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah (QS
     Al-Baqarah [2]: 218).
 
Rasulullah Saw. bersabda, "Jahiduw ahwa akum  kama  tujahiduna
'ada  akum" (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau
berjihad menghadapi musuhmu).  Dalam  kesempatan  lain  beliau
bersabda,  "Jahidu  Al-kuffar  ba  aidiykum  wa  al-sinatikum"
(Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir  dengan  tangan  dan
lidah kamu).
 
Pada  umumnya,  ayat-ayat  yang  berbicara tentang jihad tidak
menyebutkan objek  yang  harus  dihadapi.  Yang  secara  tegas
dinyatakan  objeknya  hanyalah berjihad menghadapi orang kafir
dan munafik sebagaimana disebutkan  Al-Quran  surat  At-Taubah
ayat 73 dan At-Tahrim ayat 9.
 
     Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir
     dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah
     terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam
     dan itu adalah seburuk-buruk tempat.
 
Tetapi ini tidak berarti bahwa  hanya  kedua  objek  itu  yang
harus  dihadapi  dengan  jihad,  karena  dalam  ayat-ayat lain
disebutkan  musuh-musuh  yang  dapat   menjerumuskan   manusia
kedalam  kejahatan,  yaitu  setan  dan  nafsu manusia sendiri.
Keduanya pun harus dihadapi dengan perjuangan.
 
     Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
     sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu (QS
     Al-Baqarah [2]: 168).
 
Hawa nafsu pun diperingatkan  agar  tidak  diikuti  sekehendak
hati.
 
     Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti
     hawa nafsunya, tanpa petunjuk dan Allah? (QS
     Al-Qashash [28]: 50).
 
Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya:
     
     Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena
     sesungguhnya (hawa) nafsu selalu mendorong kepada
     kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS
     Yusuf [12]: 53)
 
Jelaslah, paling tidak  jihad  harus  dilaksanakan  menghadapi
orang-orang kafir, munafik, setan, dan hawa nafsu.
 
Dapat  dikatakan  bahwa  sumber  dari  segala kejahatan adalah
setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika
manusia  tergoda  oleh  setan,  ia menjadi kafir, munafik, dan
menderita penyakit-penyakit hati, atau  bahkan  pada  akhirnya
manusia  itu  sendiri  menjadi  setan.  Sementara setan sering
didefinisikan sebagai "manusia atau jin  yang  durhaka  kepada
Allah serta merayu pihak lain untuk melakukan kejahatan."
 
Menghadapi   mereka   tentunya   tidak  selalu  harus  melalui
peperangan atau kekuatan fisik. Tapi pada saat yang sama perlu
diingat  bahwa  hal  ini sama sekali bukan berarti bahwa jihad
fisik tidak diperlukan lagi --sebagaimana  pandangan  kelompok
Qadiyaniah dari aliran Ahmadiah.
 
Seluruh  potensi  yang ada pada manusia harus dikerahkan untuk
menghadapi musuh, tetapi  penggunaan  potensi  tersebut  harus
juga disesuaikan dengan musuh yang dihadapi.
 
BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH
 
Allah  Swt.  memerintahkan  untuk  mempersiapkan  kekuatan dan
mengatur strategi menghadapi  musuh  sebelum  berjihad.  Salah
satu   hal   yang   membantu   tercapainya  kemenangan  adalah
pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan musuh,  serta  tipu
dayanya.   Karena   itu   pula   Al-Quran  banyak  menguraikan
sifat-sifat setan,  nafsu  manusia,  orang  kafir,  dan  orang
munafik.
 
Al-Quran  dan  hadis  Nabi  Saw. juga memberi petunjuk tentang
cara  menghadapi  setan  dan  nafsu  manusia,  serta  petunjuk
mengenai batasan-batasan jihad dengan menggunakan senjata.
 
----------------                              (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team