Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

KEBANGSAAN                                               (1/3)

"Kebangsaan" terbentuk dari kata  "bangsa"  yang  dalam  Kamus
Besar    Bahasa   Indonesia,   diartikan   sebagai   "kesatuan
orang-orang yang bersamaan asal keturunan,  adat,  bahasa  dan
sejarahnya,    serta   berpemerintahan   sendőri."   Sedangkan
kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan
bangsa."

Para  pakar  berbeda  pendapat  tentang unsur-unsur yang harus
terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa.
Demikian  pula  mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang
mutlak harus terpenuLi guna  terwujudnya  sebuah  bangsa  atau
kebangsaan.  Hal  ini  merupakan kesulitan tersendiri di dalam
upaya memahami pandangan Al-Quran tentang paham kebangsaan.

Di sisi lain, paham kebangsaan --pada dasarnya-- belum dikenal
pada  masa  turunnya  Al-Quran.  Paham  ini  baru  muncul  dan
berkembang di Eropa sejak akhir  abad  ke-18,  dan  dari  sana
menyebar ke seluruh dunia Islam.

Memang,  keterikatan  kepada tanah tumpah darah, adat istiadat
leluhur, serta penguasa setempat  telah  menghiasi  jiwa  umat
manusia   sejak   dahulu   kala,   tetapi   paham   kebangsaan
(nasionalisme) dengan pengertiannya  yang  lumrah  dewasa  ini
baru dikenal pada akhir abad ke-18.

Yang  pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat
Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas,
seperti  telah  diketahui,  setelah  Revolusi  1789,  Perancis
menjadi salah  satu  negara  besar  yang  berusaha  melebarkan
sayapnya.  Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan
berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan  salah
satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir
itu beragama  Islam,  tetapi  mereka  berasal  dari  keturunan
orang-orang  Turki.  Napoleon  mempergunakan  sisi  ini  untuk
memisahkan  orang-orang  Mesir  dan  menjauhkan  mereka   dari
penguasa  dengan  menyatakan  bahwa  orang-orang Mamluk adalah
orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon
memperkenalkan  istilah Al-Ummat Al-Mishriyah, sehingga ketika
itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah
amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah

Al-Ummah  Al-Mishriyah  dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada
perkembangan   selanjutnya   lahirlah   ummah    lain,    atau
bangsa-bangsa lain.

MENEMUKAN WAWASAN KEBANGSAAN DALAM AL-QURAN

Untuk  memahami  wawasan  Al-Quran  tentang  paham kebangsaan,
salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah,  "Kata  apakah
yang   sebenarnya  dipergunakan  oleh  kitab  suci  itu  untuk
menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan? Apakah sya'b, qaum,
atau ummah?"

Kata  qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh  orang-orang  Arab
dewasa    ini   dengan   istilah   Al-Qaumiyah   Al-'Arabiyah.
Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab  Mesir  pada  1960,  dalam  buku
Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa" dengan kata ummah.

Kata   sya'b   juga  diterjemahkan  sebagai  "bangsa"  seperti
ditemukan  dalam  terjemahan  Al-Quran   yang   disusun   oleh
Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-Hujurat
(49): 13.

Apakah  untuk  memahami   wawasan   Al-Quran   tentang   paham
kebangsaan  perlu  merujuk  kepada  ayat-ayat yang menggunakan
kata-kata tersebut, sebagaimana ditempuh oleh  sebagian  orang
selama   ini?  Misalnya,  dengan  menunjukkan  Al-Quran  surat
Al-Hujurat (49): 13 yang bisa diterjemahkan:

     Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi
     menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang
     perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa
     dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal.
     Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi
     Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
     Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Apakah dari ayat  ini,  nampak  bahwa  Islam  mendukung  paham
kebangsaan karena Allah telah menciptakan manusia bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa?

Mestikah untuk mendukung atau menolak paham  kebangsaan,  kata
qaum  yang  ditemukan  dalam  Al-Quran  sebanyak  322 kali itu
ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang  sedemikian
banyak,   merupakan   bukti  bahwa  Al-Quran  mendukung  paham
kebangasaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya  dengan,
"Ya  Qaumi"  (Wahai  kaumku/bangsaku),  walaupun  mereka tidak
beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Al-Quran  surat
Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain-lain!).

Di  sisi  lain,  dapatkah  dibenarkan pandangan sebagian orang
yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan,
dengan    menyatakan   bahwa   Allah   Swt.   dalam   Al-Quran
memerintahkan Nabi Saw. untuk menyeru masyarakat tidak  dengan
kata  qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas" (wahai seluruh manusia),
serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya  dengan  "Ya
ayyuhal   ladzina   'amanu?"  Benarkah  dalam  Al-Quran  tidak
ditemukan bahwa Nabi Muhammad Saw. menggunakan kata qaum untuk
menunjuk  kepada  masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian
orang? [1]

Catatan kaki:

 [1] Pernyataan terakhir ini dapat dipastikan tidak
     benar, karena dalam Al-Quran surat Al-Furqan (25): 30
     secara tegas dinyatakan, bahwa Rasulullah saw.
     mengeluh kepada Allah, dengan mengatakan,
     "Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu
     yang tidak diacuhkan."

Hemat penulis untuk menemukan wawasan Al-Quran  tentang  paham
kebangsaan,  tidak  cukup  sekadar  menoleh  kepada  kata-kata
tersebut  yang  digunakan  oleh  Al-Quran,  karena  pengertian
semantiknya  dapat  berbeda  dengan  pengertian yang dikandung
oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan
dalam  Al-Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun
maknanya sekarang  telah  berubah  menjadi  mobil.  Makna  ini
tentunya  berbeda  dengan  maksud Al-Quran ketika menceritakan
ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf  a.s.  yang  membuangnya  ke
dalam  sumur  dengan  harapan  dipungut  oleh  sayyarah  yakni
kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10).

Kata qaum misalnya, pada mulanya terambil dari kata qiyam yang
berarti "berdiri atau bangkit". Kata qaum agaknya dipergunakan
untuk  menunjukkan  sekumpulan  manusia  yang  bangkit   untuk
berperang  membela  sesuatu. Karena itu, kata ini pada awalnya
hanya digunakan untuk lelaki, bukan  perempuan  seperti  dalam
firman Allah:

     Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum
     (kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan
     perempuan) mengejek (kumpulan) perempuan yang lain,
     karena boleh jadi mereka (yang diejek) lebih baik
     daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]:
     11).

Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan  dalam  Al-Quran,  itu
pun  berbentuk  plural,  dan pada mulanya mempunyai dua makna,
cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip
oleh  At-Tabarsi  dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan
arti kelompok non-Arab, sama dengan  qabilah  untuk  suku-suku
Arab.

Betapapun,  kedua  kata  yang  disebutkan  tadi, dan kata-kata
lainnya,  tidak  menunjukkan  arti  bangsa  sebagaimana   yang
dimaksud pada istilah masa kini.

Hal  yang  dikemukakan  ini,  tidak  lantas  menjadikan  surat
Al-Hujurat  yang   diajukan   tertolak   sebagai   argumentasi
pandangan  kebangsaan yang direstui Al-Quran. Hanya saja, cara
pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata  sya'b  sama
dengan bangsa atau kebangsaan.

APAKAH YANG DIMAKSUD PAHAM KEBANGSAAN?

Apakah yang dimaksud dengan paham kebangsaan?  Sungguh  banyak
pendapat  yang  berbeda  satu  dengan yang lain. Demikian pula
dengan pertanyaan yang muncul disertai jawaban  yang  beragam,
misalnya:

Apakah mutlak adanya kebangsaan, kesamann asal keturunan, atau
bahasa? Apakah yang  dimaksud  dengan  keturunan  dan  bahasa?
Apakah kebangsaan merupakan persamaan ras, emosi, sejarah, dan
cita-cita meraih masa depan? Unsur-unsur apakah yang mendukung
terciptanya kebangsaan? Dan masih ada sekian banyak pertanyaan
lain. Sehingga mungkin benar  pula  pendapat  yang  menyatakan
bahwa  paham  kebangsaan adalah sesuatu yang bersifat abstrak,
tidak dapat disentuh; bagaikan listrik, hanya diketahui gejala
dan bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya.

Pertanyaan  yang  antara lain ingin dimunculkan adalah "Apakah
unsur-unsur tersebut dapat  diterima,  didukung,  atau  bahkan
inklusif  di dalam ajaran Al-Quran? Dapatkah Al-Quran menerima
wadah  yang  menghimpun  keseluruhan  unsur   tersebut   tanpa
mempertimbangkan  kesatuan  agama? Berikut ini akan dijekaskan
beberapa konsep yang mendasari paham kebangsaan.

1. Kesatuan/Persatuan

Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran  memerintahkan  persatuan
dan  kesatuan.  Sebagaimana  secara  jelas pula Kitab suci ini
menyatakan bahwa "Sesungguhnya umatmu  ini  adalah  umat  yang
satu" (QS Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52).

Pertanyaan  yang  dapat  saja muncul berkaitan dengan ayat ini
adalah:

  a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan
     penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah
     kenegaraan?
     
  b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya
     persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang
     disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan,
     adat, bahasa, dan sejarah?

Yang  harus  dipahami  pertama  kali  adalah  pengertian   dan
penggunaan  Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51
kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda.

Ar-Raghib  Al-Isfahani  --pakar  bahasa  yang  menyusun  kamus
Al-Quran  Al-Mufradat  fi  Ghanb  Al-Quran-- menjelaskan bahwa
ummat  adalah  "kelompok  yang  dihimpun  oleh  sesuatu,  baik
persamaan  agama,  waktu,  atau tempat, baik pengelompokan itu
secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri."

Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok  dinamakan  umat,
bahkan binatang pun demikian.

     Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di
     bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan
     kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ... (0S
     Al-An'am [6]: 38).

Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran.  Ada
yang  berpendapat  minimal  empat  puluh  atau  seratus orang.
Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat  bahkan
untuk  seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau
jasa, yang biasanya hanya dimiliki  oleh  banyak  orang.  Nabi
Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat
An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.

     Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat
     dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan
     tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan
     (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120).

Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna  kata  umat  dalam
Al-Quran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada
batas  minimal  atau  maksimal  untuk  suatu  persatuan.  Yang
membatasi  hanyalah  bahasa,  yang  tidak  menyebutkan  adanya
persatuan tunggal.
 
----------------                              (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team