Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

KEBANGSAAN                                               (2/3)

Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan  kali
kata  ummat  yang  digandengkan  dengan  kata wahidah, sebagai
sifat umat. Tidak  sekali  pun  Al-Quran  menggunakan  istilah
Wahdat  Al-Ummah  atau  Tauhid  Al-Ummah  (Kesatuan/ penyatuan
umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq,
mantan   Dekan   Fakultas   Ushuluddin  Al-Azhar  Mesir,  yang
disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409
H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan
bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa  yang  pokok
adalah persatuan, bukan penyatuan.

Perlu  pula  digarisbawahi,  bahwa  makna  umat  dalam konteks
tersebut adalah pemeluk agama Islam.  Sehingga  ayat  tersebut
pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama
yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya,  tiada  perbedaan
dalam  akidahnya,  walaupun  dapat  berbeda-beda dalam rincian
(furu')  ajarannya.   Artinya,   kitab   suci   ini   mengakui
kebhinekaan dalam ketunggalan.
 
Ini  juga  sejalan  dengan  kehendak  Ilahi,  antara lain yang
dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48:

     Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
     kamu satu umat (saja).

Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana  terpahami  dari
perandaian  kata  lauw,  yang  oleh  para  ulama  dinamai harf
imtina' limtina',  atau  dengan  kata  lain,  mengandung  arti
kemustahilan.

Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut
penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu  wadah  persatuan
saja, dan menolak paham kebangsaan.

Jamaluddin  Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan
Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya
itu  bukan  menuntut  agar  umat  Islam  berada  di bawah satu
kekuasaan,  tetapi  hendaknya  mereka  mengarah  kepada   satu
tujuan,   serta   saling  membantu  untuk  menjaga  keberadaan
masing-masing.

     Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang
     berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang
     penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105).

Kalimat "dan  berselisih"  digandengkan  dengan  "berkelompok"
untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan
yang mengakibatkan perselisihan.

Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan,
atau   ditolaknya   segala   ciri/sifat   yang  dimiliki  oleh
perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.

Kelenturan kandungan  makna  ummat  seperti  yang  dikemukakan
terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa
dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum
dan  menyerahkan  kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai umum itu.  Ini  merupakan  salah  satu
keistimewaan  Al-Quran  dan  salah  satu  faktor kesesuaiannya
dengan setiap waktu dan tempat.

Dengan demikian,  terjawablah  pertanyaan  pertama  itu  yakni
Al-Quran  tidak  mengharuskan  penyatuan seluruh umat Islam ke
dalam  satu  wadah  kenegaraan.  Sistem  kekhalifahan   --yang
dikenal  sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan
salah  satu  bentuk  yang  dapat  dibenarkan,   tetapi   bukan
satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika
perkembangan  pemikiran  manusia  atau  kebutuhan   masyarakat
menuntut  bentuk  lain,  hal  itu  dibenarkan pula oleh Islam,
selama  nilai-nilai  yang   diamanatkan   maupun   unsur-unsur
perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.

2. Asal Keturunan

Tanpa  mempersoalkan  perbedaan makna dan pandangan para pakar
tentang kemutlakan  unsur  "persamaan  keturunan",  dalam  hal
kebangsaan,  atau  melihat  kenyataan  bahwa tiada satu bangsa
yang hidup pada masa kini  yang  semua  anggota  masyarakatnya
berasal  dari  keturunan  yang  sama,  tanpa mempersoalkan itu
semua dapat ditegaskan bahwa salah satu tujuan kehadiran agama
adalah  memelihara keturunan. Syariat perkawinan dengan syarat
dan rukun-rukunnya, siapa yang boleh dan tidak boleh  dikawini
dan  sebagainya,  merupakan  salah  satu  cara  Al-Quran untuk
memelihara keturunan.

Al-Quran menegaskan bahwa Allah Swt. menciptakan manusia  dari
satu  keturunan dan bersuku-suku (demikian juga rumpun dan ras
manusia), agar mereka saling  mengenal  potensi  masing-masing
dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.

Ini  berarti bahwa Al-Quran merestui pengelompokan berdasarkan
keturunan,  selama  tidak   menimbulkan   perpecahan,   bahkan
mendukungnya demi mencapai kemaslahatan bersama.

Dari beberapa ayat Al-Quran, dapat ditarik pembenaran hal ini,
atau paling  tidak  "tiada  penolakan"  terhadapnya.  Misalnya
dalam Al-Quran surat Al-A'raf (7): 160:

     Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang
     masing-masing menjadi umat, dan Kami wahyukan kepada
     Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya, "Pukullah
     batu itu dengan tongkatmu!" Maka memancarlah darinya
     dua belas mata air...

Rasul Muhammad Saw. sendiri pernah diperintahkan oleh Al-Quran
surat  AsyS-yu'ara'  ayat  214  agar memberi peringatan kepada
kerabat dekatnya. Hal itu menunjukkan bahwa penggabungan  diri
ke dalam satu wadah kekerabatan dapat disetujui oleh Al-Quran,
apalagi menggabungkan diri pada wadah yang lebih besar semacam
kebangsaan.

Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang diprakarsai oleh Rasulullah
Saw.  ketika  beliau  baru  tiba  di   Madinah   yang   berisi
ketentuan/kesepakatan  yang mengikat masyarakat Madinah justru
mengelompokkan  anggotanya  pada   suku-suku   tertentu,   dan
masing-masing  dinamai  ummat.  Kemudian,  mereka yang berbeda
agama itu bersepakat menjalin persatuan  ketika  membela  kota
Madinah dari serangan musuh.

Nabi  Luth  a.s.  sebagaimana  dikemukakan  Al-Quran, mengeluh
karena  kaum  atau  bangsanya  tidak  menerima  dakwahnya.  Ia
mengeluh sambil berkata:

     Seandainya aku mempunyai kekuatan denganmu, atau kalau
     aku dapat berlindung niscaya aku lakukan (QS Hud [11]:
     80).

Yang dimaksud dengan "kekuatan" adalah pembela  dan  pembantu,
yang  dimaksud dengan perlindungan adalah keluarga dan anggota
masyarakat atau bangsa.

Rasulullah Saw. sendiri dalam  perjuangan  di  Makkah,  justru
mendapat  pembelaan  dari  keluarga  besar  beliau,  baik yang
percaya maupun yang tidak. Dan ketika terjadi pemboikotan dari
penduduk Makkah, mereka memboikot Nabi dan keluarga besar Bani
Hasyim. Abu Thalib yang bukan anggota masyarakat Muslim ketika
itu  dengan  tegas  berkata,  "Demi  Allah'  kami  tidak  akan
menyerahkannya (Nabi Muhammad Saw.) sampai yang terakhir  dari
kami gugur."

Sejalan  dengan  kenyataan  di  atas  Nabi Saw. pernah khutbah
dengan menyatakan:

     Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya
     selama (pembelaannya) bukan dosa (HR Abu Daud melalui
     sahabat Suraqah bin Malik).

Hanya  saja  pengelompokan  dalam  suku  bangsa  tidak   boleh
menyebabkan   fanatisme   buta,   apalagi   menimbulkan  sikap
superioritas, dan pelecehan.  Rasulullah  Saw.  mengistilahkan
hal itu dengan al-'ashabiyah.

     Bukanlah dari kelompok kita yang mengajak kepada
     'ashabiyyah, bukan juga yang berperang atas dasar
     'ashabiyah, bukan juga yang mati dengan keadaan
     (mendukung) 'ashabiyyah (HR Abu Daud dari sahabat
     Jubair bin Muth'im).

Rasulullah  Saw.  mempergunakan  ungkapan  yang   populer   di
kalangan   orang-orang  Arab  sebelum  Islam,  "Unshur  akhaka
zhalim(an) au mazhlum(an)" (Belalah saudaramu yang  menganiaya
atau  dianiaya),  sambil  menjelaskan bahwa pembelaan terhadap
orang yang melakukan penganisyaan  adalah  dengan  mencegahnya
melakukan penganiayaan (HR Bukhari melalui Anas bin Malik).

Walaupun   Al-Quran   mengakui  adanya  kelompok  suku,  namun
Al-Quran  juga  mengisyaratkan  bahwa  sesuatu  yang  memiliki
kesamaan  sifat  dapat  digabungkan ke dalam satu wadah. Iblis
yang dalam Al-Quran surat Al-Kahf  (18):  50  dinyatakan  dari
jenis  jin.  Sesungguhnya  ia  (Iblis)  adalah dari jenis Jin,
dimasukkan Allah dalam kelompok  malaikat  yang  diperintahkan
sujud  kepada  Adam.  Karena,  ketika  itu,  Iblis begitu taat
beragama,  tidak  kalah  dari  ketaatan  para  malaikat.   Itu
sebabnya  walaupun  yang  diperintah  untuk  sujud kepada Adam
adalah para malaikat (QS Al-A'raf [7]: 11) tetapi  Iblis  yang
dari  kelompok  jin  yang  telah bergabung dengan malaikat itu
termasuk diperintah, karenanya ketika enggan  ia  dikecam  dan
dikutuk Tuhan.

Dalam  konteks  paham  kebangsaan,  Rasulullah Saw. memasukkan
sahabatnya  Salman,  Suhaib,  dan  Bilal  yang   masing-masing
berasal  dari  Persia, Romawi, dan Habasyah (Etiopia) ke dalam
kelompok orang Arab.

Ibnu 'Asakir dalam  tarikhnya  meriwayatkan,  ketika  sebagian
sahabat meremehkan ketiga orang tersebut, Nabi Saw. bersabda:

     Kearaban yang melekat dalam diri kalian bukan
     disebabkan karena ayah dan tidak pula karena ibu,
     tetapi karena bahasa, sehingga siapapun yang berbahasa
     Arab, dia adalah orang Arab.

Bahkan Salman Al-Farisi dinyatakan  Nabi  sebagai  "minna  Ahl
Al-Bait  (dari  kelompok  kita  [Ahl  Al-Bait]), karena beliau
begitu dekat secara pribadi kepada Nabi dan keluarganya, serta
memiliki pandangan hidup yang sama dengan Ahl Al-Bait.

Keterikatan kepada asal keturunan sama sekali tidak terhalangi
oleh agama,  bahkan  inklusif  di  dalam  ajarannya.  Bukankah
Al-Quran  dalam  surat  Al-Ahzab  ayat  5  memerintahkan untuk
memelihara keturunan dan  memerintahkan  untuk  menyebut  nama
seseorang bergandengan dengan nama orang tuanya?

     Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan
     (menggandengkan namanya dengan nama) bapak-bapak
     mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah (QS
     Al-Ahzab [33]: 5).

3. Bahasa

Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Rum (30):

     Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, adalah penciptaan
     langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu, dan
     warna kulitmu ...

Al-Quran demikian menghargai bahasa dan  keragamannya,  bahkan
mengakui penggunaan bahasa lisan yang beragam.

Perlu  ditandaskan  bahwa  dalam  konteks  pembicaraan tentang
paham   kebangsaan,   Al-Quran   amat    menghargai    bahasa,
sampai-sampai seperti yang disabdakan Nabi Saw.,

     Al-Quran diturunkan dalam tujuh bahasa (HR Muslim,
     At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang
     berbeda-beda tetapi dengan makna yang sama).

Pengertian "tujuh bahasa" antara lain  adalah,  tujuh  dialek.
Menurut   sekian  keterangan,  ayat-ayat  Al-Quran  diturunkan
dengan  dialek  suku  Quraisy,  tetapi  dialek  ini   --ketika
Al-Quran   turun--   belum   populer   untuk  seluruh  anggota
masyarakat.  Sehingga  apabila  ada  yang   mengeluh   tentang
sulitnya  pengucapan atau pengertian makna kata yang digunakan
oleh ayat tertentu, Allah menurunkan wahyu lagi  yang  berbeda
kata-katanya agar menjadi mudah dibaca dan dimengerti. Sebagai
contoh  dalam  Al-Quran  surat  Al-Dukhan  (44):  43-44   yang
berbunyi,  "Inna  syajarat  al-zaqqum  tha'amul  atsim, pernah
diturunkan dengan mengganti kata atsim dengan fajir,  kemudian
turun  lagi  dengan  kata al-laim. Setelah bahasa suku Quraisy
populer di kalangan seluruh masyarakat,  maka  atas  inisiatif
Utsman  bin  Affan  (khalifah ketiga) bacaan disatukan kembali
sebagaimana tercantum dalam mushaf yang dibaca dewasa ini.

----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team