Kematian (1/2)

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Sebelum  membicarakan  wawasan  Al-Quran  tentang  kematian,
terlebih  dahulu  perlu  digarisbawahi  bahwa kematian dalam
pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi  sekali,  tetapi  dua
kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan
ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:
 
     "Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah
     mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan
     kami dua kali (pula), lalu kami menyadari
     dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk
     keluar (dari siksa neraka)?"
 
Kematian  oleh   sementara   ulama   didefinisikan   sebagai
"ketiadaan  hidup,"  atau  "antonim  dari  hidup."  Kematian
pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat
sebelum  Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang
kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia  yang  fana  ini.
Kehidupan  pertama  dialami  oleh  manusia pada saat manusia
menarik dan menghembuskan nafas di dunia,  sedang  kehidupan
kedua  saat  ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia
hidup kekal di hari akhirat.
 
Al-Quran  berbicara  tentang  kematian  dalam  banyak  ayat,
sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan
ayat yang berbicara  tentang  berbagai  aspek  kematian  dan
kehidupan sesudah kematian kedua.
 
KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN
 
Secara   umum  dapat  dikatakan  bahwa  pembicaraan  tentang
kematian bukan  sesuatu  yang  menyenangkan.  Namun  manusia
bahkan  ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan
hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran  pun  melukiskan
keinginan  sekelompok  manusia  untuk hidup selama itu (baca
surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil  merayu  Adam  dan
Hawa   melalui   "pintu"   keinginan   untuk   hidup   kekal
selama-lamanya.
 
     "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup)
     dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha
     [20]: 120).
 
DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM.
 
Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada  orang
yang  enggan  mati  karena ia tidak mengetahui apa yang akan
dihadapinya setelah kematian; mungkin  juga  karena  menduga
bahwa  yang  dimiliki  sekarang  lebih  baik  dari yang akan
didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa
sulit  dan  pedih  pengalaman  mati  dan  sesudah mati. Atau
mungkin karena khawatir  memikirkan  dan  prihatin  terhadap
keluarga  yang  ditinggalkan,  atau  karena tidak mengetahui
makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya
merasa cemas dan takut menghadapi kematian.
 
Dari   sini   lahir   pandangan-pandangan   optimistis   dan
pesimistis terhadap  kematian  dan  kehidupan,  bahkan  dari
kalangan para pemikir sekalipun.
 
Manusia,   melalui   nalar  dan  pengalamannya  tidak  mampu
mengetahui hakikat kematian,  karena  itu  kematian  dinilai
sebagai  salah  satu  gaib nisbi yang paling besar. Walaupun
pada  hakikatnya  kematian  merupakan  sesuatu  yang   tidak
diketahui,   namun  setiap  menyaksikan  bagaimana  kematian
merenggut nyawa yang hidup manusia semakin  terdorong  untuk
mengetahui  hakikatnya  atau,  paling tidak, ketika itu akan
terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika  ia  pun  pasti
mengalami nasib yang sama.
 
Manusia  menyaksikan  bagaimana  kematian tidak memilih usia
atau tempat, tidak  pula  menangguhkan  kehadirannya  sampai
terpenuhi  semua  keinginan.  Di  kalangan  sementara orang,
kematian menimbulkan kecemasan,  apalagi  bagi  mereka  yang
memandang  bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.
Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai  kehidupan
ini  sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,
mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan  menghindari
sedapat  mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan
jalan melakukan apa saja secara bebas  tanpa  kendali,  demi
mewujudkan  eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari
segala sesuatu? Kilah mereka.
 
Sebenarnya akal dan perasaan  manusia  pada  umumnya  enggan
menjadikan  kehidupan  atau  eksistensi mereka terbatas pada
puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa  mereka
harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia
bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian
sebagai  kepunahan  tercermin antara lain melalui penciptaan
berbagai cara  untuk  menunjukkan  eksistensinya.  Misalnya,
dengan  menyediakan  kuburan,  atau  tempat-tenapat tersebut
dikunjunginya dari saat ke  saat  sebagai  manifestasi  dari
keyakinannya  bahwa  yang telah meninggalkan dunia itu tetap
masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.
 
Hubungan antara yang hidup dan  yang  telah  meninggal  amat
berakar  pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala,
bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut  oleh
umat  manusia  dewasa  ini.  Sedemikian berakar hal tersebut
sehingga orang-orang Mesir  Kuno  misalnya,  meyakini  benar
keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik
yang dapat mengawetkan  mayat-mayat  mereka  ratusan  bahkan
ribuan tahun lamanya.
 
Konon  Socrates  pernah  berkata,  sebagaimana  dikutip oleh
Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),
 
     "Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)
     kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian,
     namun ketika aku menemukan kematian, aku pun
     menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus
     prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira
     dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati
     untuk hidup."
 
Demikian  gagasan  keabadian  hidup  manusia  hadir  bersama
manusia   sepanjang  sejarah  kemanusiaan.  Kalau  keyakinan
orang-orang Mesir Kuno mengantar  mereka  untuk  menciptakan
teknik  pengawetan  jenazah  dan  pembangunan  piramid, maka
dalam pandangan pemikir-pemikir  modern,  keabadian  manusia
dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.
 
Abdul  Karim  Al-Khatib  dalam  bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah
(I:214)  mengutip  tulisan   Goethe   (1749-1833   M)   yang
menyatakan:
 
     "Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir
     dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti
     yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah
     mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya,
     maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk
     menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan
     saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul
     beban jiwa."
 
Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini
sebagai  arena  untuk  bekerja keras, dan kematian merupakan
pintu  gerbang  menuju   kehidupan   baru   guna   merasakan
ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.
 
PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN
 
Agama,  khususnya  agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada
kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal  dari  satu
perjalanan   panjang   dalam   evolusi   manusia,   di  mana
selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam
kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.
 
Kematian  dalam  agama-agama  samawi  mempunyai peranan yang
sangat    besar    dalam    memantapkan     akidah     serta
menumbuhkembangkan   semangat  pengabdian.  Tanpa  kematian,
manusia tidak akan berpikir tentang apa  sesudah  mati,  dan
tidak  akan  mempersiapkan  diri  menghadapinya. Karena itu,
agama-agama  menganjurkan  manusia  untuk  berpikir  tentang
kematian.    Rasul   Muhammad   Saw.,   misalnya   bersabda,
"Perbanyaklah mengingat pemutus  segala  kenikmatan  duniawi
(kematian)."
 
Dapat  dikatakan  bahwa  inti  ajakan  para  Nabi  dan Rasul
setelah kewajiban percaya  kepada  Tuhan,  adalah  kewajiban
percaya akan adanya hidup setelah kematian.
 
Dari  Al-Quran  ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya
bermacam-macam   dan   bertingkat-tingkat.   Ada   kehidupan
tumbuhan,  binatang,  manusia,  jin, dan malaikat, sampai ke
tingkat tertinggi  yaitu  kehidupan  Yang    Mahahidup   dan
Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya
bahwa ada kehidupan di  dunia  dan  ada  pula  kehidupan  di
akhirat.  Yang  pertama  dinamai  Al-Quran al-hayat ad-dunya
(kehidupan yang rendah),  sedangkan  yang  kedua  dinamainva
al-hayawan (kehidupan yang sempurna).
 
     "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan
     (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]:
     64).
 
Dijelaskan pula bahwa,
 
     "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang
     akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan
     kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak
     akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77)
 
Di lain ayat dinyatakan,
 
     "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika
     dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang
     di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin
     tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan
     kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
     akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
     dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi
     dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat
     hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).
 
Betapa kehidupan  ukhrawi  itu  tidak  sempurna,  sedang  di
sanalah  diperoleh  keadilan  sejati  yang  menjadi  dambaan
setiap manusia, dan di sanalah  diperoleh  kenikmatan  hidup
yang tiada taranya.
 
Satu-satunya   jalan   untuk   mendapatkan   kenikmatan  dan
kesempurnaan itu, adalah  kematian,  karena  menurut  Raghib
Al-Isfahani:
 
     "Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh
     dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia
     menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
     perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
     sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya
     kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
     harus berpindah dan satu negen ke negen (yang
     lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."
     (Abdul Karim AL-Khatib, I:217)
 
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada
hakikatnya  adalah  kelahiran  yang  kedua. Kematian manusia
dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur.  Anak  ayam
yang   terkurung   dalam   telur,   tidak   dapat   mencapai
kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian
juga  manusia,  mereka  tidak  akan mencapai kesempurnaannya
kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
 
Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk  menunjuk
kepada   kematian,   antara  lain  al-wafat  (wafat),  imsak
(menahan).
 
Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,
 
     "Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan
     jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka
     Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan
     baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang
     yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."
 
Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai  salah
satu  isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan
menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang  lebih
mulia  dan  baik  dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah
kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta  imsak
yang berarti menahan (di sisi-Nya)?
 
Memang,  Al-Quran  juga  menyifati  kematian sebagai musibah
malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi  agaknya
istilah  ini  lebih  banyak  ditujukan  kepada  manusia yang
durhaka, atau terhadap mereka  yang  ditinggal  mati.  Dalam
arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang
yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi  mereka  yang  mati
tanpa  membawa  bekal  yang  cukup  untuk  hidup  di  negeri
seberang.
 
                                             (bersambung 2/2)


WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team